Perppu Bisa Jadi Pedang Bermata Dua
Kebijakan pengupahan, yang di dalamnya mencakup upah minimum, memegang peran sentral dalam perkembangan pasar kerja. Ketentuan formula perhitungan di Perppu Cipta Kerja dikhawatirkan jadi ’pedang bermata dua’.
30 Januari 2023 06:27 WIB
Penumpang kereta komuter yang mayoritas merupakan pekerja keluar dari Stasiun Sudirman, Jakarta, Rabu (4/1/2022). Terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menuai polemik.
Editor: MUKHAMAD KURNIAWAN
Penghitungan dan penetapan upah minimum setiap tahunnya kerap memicu polemik. Aturan terbaru penetapan upah minimum yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang atau Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja pun dinilai bisa menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, formula pengupahan yang diatur dalam perppu bisa menguntungkan pekerja, tetapi juga membawa ketidakpastian bagi iklim berusaha ataupun nasib pekerja.
Dalam Perppu Cipta Kerja, aturan penetapan upah minimum yang sebelumnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja diubah. Perppu mengubah Pasal 88D bahwa formula penghitungan upah minimum mempertimbangkan variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu.
Sebelumnya, UU Cipta Kerja tidak mengatur tentang variabel ”indeks tertentu” dalam penetapan upah minimum. Upah minimum sebelumnya ditentukan berdasarkan pertumbuhan ekonomi atau inflasi serta dengan mempertimbangkan variabel batas atas dan batas bawah upah minimum.
Menurut dosen Hukum Perburuhan Universitas Gadjah Mada, Nabiyla Risfa Izzati, aturan pengupahan di Perppu Cipta Kerja dapat menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, formula upah minimum dengan menggunakan variabel ”indeks tertentu” itu lebih menguntungkan bagi pekerja dibandingkan dengan formula lama yang ada di UU Cipta Kerja.
Ia mengatakan, jika variabel indeks tertentu itu disamakan dengan aturan di Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 18 Tahun 2022 yang mempertimbangkan adanya
”koefisien alfa” dengan rentang 0,1–0,3, itu bisa membuka ruang negosiasi antara pemerintah daerah dan dewan pengupahan dalam proses penetapan upah minimum. Ruang dialog ini yang sebelumnya ditutup dalam UU Cipta Kerja karena perhitungan upah minimum hanya terpaku pada data makro dari Badan Pusat Statistik (BPS).
Sejumlah simulasi penghitungan upah minimum juga menunjukkan, formula pengupahan dengan menggunakan koefisien alfa itu dapat menghasilkan persentase kenaikan upah minimum yang lebih tinggi ketimbang formula lama di UU Cipta Kerja.
”Rumus dengan koefisien alfa itu sebenarnya baik karena bisa membuka ruang negosiasi. Sebelumnya, kan, sudah dikunci dengan formula. Dewan pengupahan ibarat hanya jadi ’kalkulator’ yang tugasnya menghitung berdasarkan rumus, padahal seharusnya mereka bisa bernegosiasi,” kata Nabiyla, Kamis (26/1/2023).
Meski demikian, ia menyoroti adanya peraturan lanjutan di Pasal 88F yang mengatur bahwa dalam keadaan tertentu, pemerintah dapat menetapkan formula penghitungan upah minimum yang berbeda dari ketentuan yang ada di Pasal 88D. Hal ini, ujarnya, bisa membawa ketidakpastian bagi pekerja ataupun pengusaha.
”Ini seolah memberikan cek kosong bagi pemerintah pusat untuk sewaktu-waktu bisa mengubah formula upah minimum, yang tidak bisa diprediksi arahnya akan seperti apa. Ini problematik dari sisi dampak kepastian hukumnya ataupun dari segi substansi yang malah mementahkan pasal di atasnya,” ujar Nabiyla.
Ia menyarankan aturan di perppu itu dapat direvisi, yakni dengan menghapus Pasal 88F agar tidak bertentangan dengan Pasal 88D dan menimbulkan ketidakpastian lebih lanjut.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad berpendapat, jika variabel ”indeks tertentu” itu mengacu pada koefisien alfa seperti di Permenaker No 18/2022, pemerintah perlu menjabarkannya. Dengan demikian, meskipun ruang negosiasi dibuka, tetap ada acuan yang jelas dalam penentuan rentang koefisien alfa tersebut. Keterlibatan buruh dan pelaku usaha juga diperlukan dalam penyusunan peraturan teknis itu agar formula pengupahan yang ada menjadi kesepakatan bersama.
Kader dan simpatisan Partai Buruh melakukan aksi unjuk rasa di sekitar Patung Kuda Arjuna Wijaya, Jakarta Pusat, Sabtu (14/1/2023). Para buruh, antara lain, menyuarakan penolakan terhadap Perppu No 2 /2022 tentang Cipta Kerja.
Polemik tahunan
Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar dan Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) Elly Rosita memiliki pandangan senada.
”Kami menduga, penambahan frasa ’indeks tertentu’ di Perppu Cipta Kerja sebagai bentuk kesadaran pemerintah bahwa formula perhitungan upah minimum di Pasal 26 PP No 36/2021 tidak mampu mendukung daya beli pekerja dan keluarganya,” ujar Timboel. Pada tahun 2022, kenaikan rata-rata upah minimum sebesar 1,09 persen dan tergerus inflasi yang mencapai 5,51 persen secara tahunan (year on year).
Penambahan frasa ”indeks tertentu” dan pemerintah bisa menetapkan formula berbeda dalam kondisi tertentu menimbulkan ketidakpastian penghitungan upah minimum. Timboel juga memandang langkah seperti itu justru semakin berpotensi mengulang konflik tahunan tentang upah minimum.
”Bagi KSBSI yang terpenting sesungguhnya adalah aturannya berkeadilan dan meningkatkan pelindungan dan kesejahteraan buruh,” ujar Elly.
Sementara itu, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menyampaikan, di tataran internasional hanya mengenal dua metode penghitungan upah minimum, yakni memakai standar living cost dan makroekonomi. Usulannya, penghitungan upah minimum kembali ke dasar hukum internasional, seperti inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan kebutuhan hidup layak (KHL). ”Jangan kembali ke rezim upah murah,” ujar Said, Jumat (27/1/2023), di Jakarta.
Koordinator Divisi Advokasi dan Pendampingan Hukum Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (Sindikasi) Setyo A Saputro, Kamis (26/1/2023), berpendapat, ada aturan lain di dalam Perppu Cipta Kerja yang berdampak pada penerimaan upah dan kerja layak. Misalnya, menyoal ketentuan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) yang masih sama dengan UU Cipta Kerja. Dalam PP No 35/2021, turunan UU Cipta Kerja, PKWT dapat dibuat untuk paling lama lima tahun. Hal seperti ini dinilai merugikan pekerja karena berpotensi menyebabkan ketidakpastian yang berdampak ke perolehan upah.
Baik UU maupun Perppu Cipta Kerja mengubah ruang lingkup kebijakan pengupahan di Pasal 88 Ayat (3) UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Sebelumnya, dalam UU Ketenagakerjaan, kebijakan pengupahan terdiri atas 11 item, antara lain upah minimum, upah lembur, upah, struktur dan skala pengupahan, serta upah untuk pembayaran pesangon.
Kini, jenis kebijakan pengupahan hanya melingkupi tujuh item. Jenis kebijakan untuk pembayaran pesangon dihapus. Tidak ada penjelasan memadai mengapa ada pemangkasan.
”Penetapan kebijakan upah, termasuk upah minimum, seharusnya memperhatikan kondisi riil pekerja,” kata Setyo.
Daya saing
Saat dikonfirmasi, Deputi Bidang Pengembangan Iklim Penanaman Modal Kementerian Investasi Yuliot mengatakan, aturan pengupahan yang baru di Perppu Cipta Kerja dibutuhkan untuk meningkatkan daya saing berusaha Indonesia di mata investor, khususnya sektor padat karya. Menurut dia, investasi padat karya sampai sekarang masih minim karena pelaku usaha menilai ketentuan pengupahan di Indonesia belum cukup kompetitif, khususnya di wilayah basis industri padat karya.
Oleh karena itu, pemerintah mengeluarkan aturan baru di Pasal 88F bahwa pemerintah bisa sewaktu-waktu mengubah formula penetapan upah minimum sesuai kondisi perekonomian tertentu.
”Kita harus menjaga daya saing kita. Jangan sampai upah minimum naik signifikan, sementara kenaikan harga produksi di tingkat pelaku usaha mencapai 10 persen dan mereka hanya bisa menaikkan harga jual produk 5 persen. Kalau pengusaha tidak bisa bertahan, mereka bisa realokasi ke luar daerah, bahkan luar negeri. Itu yang harus kita jaga agar jangan sampai terjadi,” katanya.
---------------------
Tujuan penerbitan Perppu Cipta Kerja adalah untuk menciptakan dan meningkatkan lapangan kerja seluas-luasnya.
---------------------
Adapun Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kemenaker Indah Anggoro Putri menegaskan, tujuan penerbitan Perppu Cipta Kerja adalah untuk menciptakan dan meningkatkan lapangan kerja seluas-luasnya. Perppu ini juga sudah menjamin setiap warga negara memperoleh pekerjaan serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
”Ketentuan detail formula perhitungan upah minimum akan diatur dalam revisi PP No 36/2021. Formula lebih adaptif. Kalau ada ketentuan pemerintah pusat dapat menetapkan formula berbeda di kondisi tertentu, maka kondisi tertentu itu bisa sasar suatu daerah yang terkena bencana, misalnya,” kata Indah.
Dari kanan, Ketua Bidang Perdagangan Apindo Benny Sutrisno, Ketua Apindo Anton Supit, Wakil Ketua Umum Apindo Shinta Kamdani, Ketua Pengupahan Apindo Aloysius Budi, dan Ketua Komite Regulasi Apindo Myra Hanartani saat mengikuti diskusi di Kantor Redaksi <i>Kompas</i>, Jakarta, Selasa (13/12/2022).
Dari kanan, Ketua Bidang Perdagangan Apindo Benny Sutrisno, Ketua Apindo Anton Supit, Wakil Ketua Umum Apindo Shinta Kamdani, Ketua Pengupahan Apindo Aloysius Budi, dan Ketua Komite Regulasi Apindo Myra Hanartani saat mengikuti diskusi di Kantor Redaksi Kompas, Jakarta, Selasa (13/12/2022).
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W Kamdani, saat dihubungi terpisah, berpendapat, kebijakan upah minimum sebaiknya tetap sesuai filosofi sebagai jaring pengaman. Dalam konferensi pers, Selasa (3/1/2023), Apindo menyatakan bahwa formula penghitungan upah minimum yang mempertimbangkan pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu akan memberatkan dunia usaha. Formula seperti itu juga berpotensi menyebabkan penyusutan penyerapan tenaga kerja karena upah minimum Indonesia berpeluang menjadi tertinggi di ASEAN dalam lima tahun mendatang.
Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia M Arsjad Rasjid PM berpendapat, seiring ditetapkannya Perppu No 2/2022, hubungan industrial antara pelaku usaha dan tenaga kerja dapat ditingkatkan menjadi lebih harmonis. Menurut dia, iklim ketenagakerjaan yang kondusif merupakan salah satu faktor dalam menarik investor selain kepastian hukum.
Gugatan
Sejalan dengan dinamika kritik formula upah minimum, sejumlah serikat kerja sudah mengajukan gugatan uji formil ataupun uji materi perppu.
KSBSI termasuk dalam serikat pekerja/buruh yang mengajukan uji formil dan uji materi Perppu Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi. Di luar KSBSI, terdapat setidaknya 13 serikat pekerja yang Rabu (25/1/2023) mendaftarkan permohonan uji formil perppu itu ke Mahkamah Konstitusi. Bersamaan dengan langkah tersebut, Perppu Cipta Kerja sudah dibicarakan di Badan Legislatif DPR dan akan dibahas dalam rapat paripurna.
Elly menambahkan, seandainya DPR akhirnya menyetujui perppu, KSBSI juga akan kembali melakukan judicial review. KSBSI tetap berharap, pemerintah dan DPR memiliki niat baik memperbaiki materi kluster ketenagakerjaan ke arah yang berkeadilan. (AGE/MED/JUD)
Sumber