Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

pilotproject715Avatar border
TS
pilotproject715
Dituduh PKI, Harta Dirampas Negeri Sendiri
Dituduh PKI, Harta Dirampas Negeri Sendiri


Mereka yang tak terafiliasi dengan PKI tapi menolak tunduk pada rezim otoriter Orde Baru tetap dirampas hak-haknya. Rumah pribadi dirampas, kewarganegaraan dicabut, bahkan dilarang berkomunikasi dengan keluarga.


Nunik Siti Sukrisno masih ingat betul rasa manis mangga Indramayu yang tumbuh di halaman rumahnya yang luas di Menteng, Jakarta Pusat. Dulu keluarganya sering bermain di area kebun binatang yang terletak persis di depan gang. Kini kebun binatang itu telah dipindahkan ke daerah Ragunan dan digantikan oleh kompleks Taman Ismail Marzuki. Hanya kenangan yang masih membekas. Sebab, pada era Orde Baru, rezim Soeharto merampasnya.

"Tanah yang dirampas sama Soeharto itu 1.000 meter persegi, besar sekali,” kata Siti saat berbincang dengan reporter detikX.

Rumah yang ia huni bersama keluarganya itu memiliki tiga bangunan utama. Salah satu bangunan disewakan kepada para mahasiswa. Rumah tersebut dulu dibeli orang tuanya dari seorang perempuan Belanda pascakemerdekaan.

Ayah Siti adalah Sukrisno, salah satu pendiri dan pentolan Kantor Berita Antara. Atas prestasinya, Sukrisno diangkat menjadi Duta Besar Indonesia untuk Rumania pada 1961. Selanjutnya, pada 1964, ia dipindahtugaskan ke Vietnam oleh Presiden Sukarno. Saat meletus peristiwa G30S 1965, Sukrisno masih bertugas di Vietnam. Sedangkan keluarganya menetap di Tanah Air.

Di Indonesia, ketika peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu 1965 meletus, Siti masih berusia 12 tahun. Saat itu, militer mulai mengambil alih kekuasaan dan memburu mereka yang dianggap terafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), Sukarno, maupun yang menolak kepemimpinan Soeharto. Kabar mengenai pembantaian di pelosok-pelosok kampung terhadap mereka yang dituduh PKI merembes hingga Jakarta dan sampai di telinga Siti yang masih beliau. Menyisakan trauma.

"Karena situasinya waktu itu, karena kelihatannya militer itu sangat kejamlah, gitu ya. Nangkepin dan bunuhin orang-orang yang dianggap kiri gitu ya. Terus kami nggak tahu gimana caranya menghadapi situasi ini. Karena kita baru saja dari Rumania."

"Karena situasinya waktu itu, karena kelihatannya militer itu sangat kejamlah, gitu ya. Nangkepin dan bunuhin orang-orang yang dianggap kiri gitu ya. Terus kami nggak tahu gimana caranya menghadapi situasi ini. Karena kita baru saja dari Rumania," tuturnya.

Di tengah situasi tersebut, seorang jenderal TNI, kawan ayah Siti, memberi tahu bahwa mereka sekeluarga harus segera mengungsi ke luar negeri. Tersiar kabar, keluarga Siti akan menjadi target pembersihan yang dilakukan militer karena dianggap sebagai bagian dari pemerintahan Sukarno. Padahal ayah Siti tidak berafiliasi dengan PKI.

Pada 1966, akhirnya Siti bersama ibu dan saudara-saudaranya menyusul sang ayah ke Vietnam. Malang, tak lama setelah itu, Vietnam dilanda konflik dan perang. Siti akhirnya diungsikan ke China. Sedangkan ayahnya masih menetap di Vietnam.

Di Vietnam, ayah Siti sempat mengirim surat kepada Presiden Soeharto. Surat itu berisi permintaan dan saran dari Sukrisno untuk menghentikan pembantaian di luar hukum terhadap orang-orang yang dianggap berafiliasi dengan PKI. Menurut Sukrisno, jika dianggap bersalah, para anggota PKI bisa diseret ke pengadilan sebelum akhirnya menerima hukuman.

Surat itu ditanggapi dengan murka Soeharto. Melalui Menteri Luar Negeri saat itu, Adam Malik, Sukrisno diminta menghadap ke Jakarta untuk menerima ‘briefing’. Namun Sukrisno menolak panggilan tersebut. Ia tahu, jika datang ke Jakarta, sama saja dengan menyerahkan nyawa secara cuma-cuma. Ia pun beranjak ke China menyusul keluarganya. Sejak saat itu, paspor keluarga Sukrisno dicabut dan mereka dipaksa menanggalkan kewarganegaraan Indonesia. Baik Siti maupun ayahnya tak diperbolehkan menginjakkan kaki di Indonesia.

Pada 1980, Sukrisno beranjak ke Belanda karena situasi yang kian panas di China. Keluarga mendapat status eksil dan berhak atas perlindungan pemerintah Belanda. Walaupun demikian, Sukrisno menolak diberi paspor Belanda. Pada 1992, Siti, yang telah memperoleh paspor Belanda, menyempatkan diri ke Indonesia. Di Tanah Air, ia memperoleh kabar menyakitkan. Rumah pribadi keluarganya ternyata telah lama dirampas oleh pemerintah yang berkuasa saat itu.

Pada 5 Agustus 1966, Panglima Pangdam V Djajakarta sekaligus Penguasa Pelaksanaan Dwikora Daerah Djajakarta Raja (Pepelrada) Soetopo Yoeono mengeluarkan surat perintah penyitaan aset berupa rumah milik Sukrisno. Surat tersebut juga menjelaskan nantinya rumah itu akan ditempati oleh seorang perwira TNI bernama Letkol Suwandi. Saat perampasan terjadi, rumah yang terletak di Jalan Kebon Binatang I Nomor 3 itu (saat ini Jalan Cikini I Nomor 3) dihuni oleh kerabat Sukrisno bernama Agus. Rumah tersebut memang sengaja dititipkan kepada keluarga Agus agar tetap terawat selama ditinggal ke luar negeri.

"Bapak saya tidak terima, bapak saya bilang sama saya, 'Saya tidak rela, ini kan setengah mampus saya kerja buat rumah itu'. Rumahnya bekas rumahnya orang Belanda, saya lihat itu ya berkas-berkasnya," ujarnya.

Menurut penelusuran Siti, rumah tersebut sempat akan dijual oleh kesatuan militer. Namun, karena tidak laku, rumah tersebut dikelola oleh negara. Akhirnya, saat Ali Sadikin menjadi Gubernur DKI Jakarta, rumah di Cikini itu diserahkan kepada Pemerintah Provinsi Bali. Hingga saat ini, rumah itu masih digunakan sebagai kantor Badan Penghubung Pemprov Bali di Jakarta.

Baik Siti maupun Sukrisno berkali-kali berusaha meminta kembali rumah mereka. Bahkan Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, sebelum menjadi presiden, sempat membantu upaya pengembalian rumah tersebut. Saat itu, Gus Dur membantu pemulihan aset beberapa eksil. Memang sejumlah eksil berhasil memperoleh kembali aset-asetnya. Namun tidak dengan keluarga Sukrisno. Sampai akhir hayatnya, ia tak pernah lagi menginjakkan kaki di rumah yang ia beli dengan susah payah tersebut.
Dituduh PKI, Harta Dirampas Negeri Sendiri

"Terus terang saja ya, sebagai tamatan dokter Belanda, nggak butuh uang itu (aset rumah), uang saya sudah cukup banyak. Tapi saya ingat omongan bapak saya, mengatakan ini rumah didapat dengan susah payah. Bapak saya nggak rela rumah itu dirampas gitu aja. Jadi saya teruskan usahanya," ujarnya.

Demi mengembalikan rumah itu, Siti bersurat kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Jokowi beberapa kali. Namun tak ada satu pun surat itu yang berbalas. Siti juga pernah menceritakan masalah tersebut ke Duta Besar Indonesia untuk Belanda I Gusti Agung Wesaka Puja. Menghadap Dubes, ia membawa berkas-berkas lengkap terkait rumah itu. Dubes tersebut pun menyanggupi untuk membantu Siti memperoleh kembali rumahnya. Namun hingga kini, tak ada kabar kelanjutan dari upaya itu.

Paling baru, pada Agustus 2023, Siti sempat bertemu dengan Menko Polhukam Mahfud Md dan Menkumham Yasonna Laoly di Belanda. Kepada keduanya, ia meminta agar dibantu agar rumahnya dapat kembali. Menurut Siti, Yasonna tidak menolak upaya itu. Ia hanya menyampaikan akan mencatat dan membicarakan perihal tersebut dengan Mahfud.

"Yasonna Laoly sudah tahu, dia bilang ya, ngomong akan dibicarakan dengan Mahfud Md. Itu dia ngomongdengan saya," jelasnya.

Keluarga Sukrisno bukan satu-satunya. Pada 1966, militer melakukan banyak perampasan aset para korban yang dibunuh, disiksa, diusir, atau dihilangkan secara paksa. Bahkan menurut Siti, rekan-rekan ayahnya yang beretnis Tionghoa juga diusir dan aset-asetnya dirampas. Pepelrada Jawa Barat pada 7 April 1966 bahkan mengeluarkan surat edaran untuk menutup sekolah-sekolah Tionghoa atau yang mereka sebut sebagai sekolah asing, walaupun sekolah-sekolah itu tak terkait sama sekali dengan peristiwa G30S.

Koordinator Pelayanan Komunikasi Masyarakat Wilayah IV Direktorat Jenderal Hak Asasi Manusia Zuliansyah, yang kini menjabat Kepala Divisi Pelayanan Hukum dan Hak Asasi Manusia Kantor Wilayah Papua, mengatakan terkait aset-aset tersebut memang perlu didiskusikan. Pemerintah menilai aset-aset itu perlu dipulihkan.

"Kalau dilihat sejarahnya, memang benar itu aset dia, itu bisa dikembalikan ke WNA tersebut tapi tidak dalam bentuk tanah milik," kata Zuliansyah ketika ditemui reporter detikX di kantor Dirjen HAM.

Ia menekankan fungsi Dirjen HAM adalah mendorong agar hak individu bisa dikembalikan dengan diberi layanan kewarganegaraan melalui Kementerian Hukum dan HAM. Ini sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2023 dan Keppres Nomor 4 Tahun 2023.

"Kalau sudah bersurat, nanti pasti kami lanjuti, dan kami lemparkan ke forum. Nanti kami pelajari dahulu dan kami diskusikan," ucapnya.

Dituduh PKI, Harta Dirampas Negeri Sendiri

detik.com
sahabat.006
aldonistic
rinandya
rinandya dan 9 lainnya memberi reputasi
10
1.3K
80
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
671.9KThread41.5KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.