Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

mabdulkarimAvatar border
TS
mabdulkarim
Semua masyarakat harus suarakan pelanggaran HAM di Tanah Papua

Semua masyarakat harus suarakan pelanggaran HAM di Tanah Papua
September 30, 2023
Writer: Theo Kelen | Editor: Aryo Wisanggeni G
HAM
Direktur Aliansi Demokrasi untuk Papua atau ALDP, Latifah Anum Siregar (kanan) saat menjadi pemantik diskusi peluncuran film di Rumah Studi Duta Damai St Nicholaus, Abepura, Kota Jayapura, Provinsi Papua, pada Rabu (27/9/2023). – Jubi/ Angela Flassy
Jayapura, Jubi – Direktur Aliansi Demokrasi untuk Papua atau ALDP, Latifah Anum Siregar mengatakan semua masyarakat yang berada di Tanah Papua harus menyuarakan pelanggaran Hak Asasi Manusia atau HAM. Hal itu disampaikan Anum sebagai salah satu pemantik diskusi peluncuran film dokumenter Jubi di Rumah Studi Duta Damai St Nicholaus Keuskupan Agung Merauke, Kota Jayapura, Papua, pada Rabu (27/9/2023) malam.
Jubi Documentary pada akhir September meluncurkan lima film dokumenter tentang Tanah Papua. Kelima film dokumenter itu berjudul Saat Mikrofon Menyala, Pepera 1969: Integrasi yang Demokratis? Mutiara Hitam Jenderal Lapangan, Sa Punya Nama Pengungsi dan Suara dari Lembah Grime. Kelima film dokumenter itu diluncurkan di Jayapura, Yogyakarta, dan Jakarta.

Anum mengatakan film dokumenter bukan menjadi ruang entertainment. Ia mengatakan melalui film ini menjadi ruang kerja semua orang secara khusus untuk menyuarakan pelanggaran HAM di Tanah Papua.

“Film ini bukan jadi ruang entertaiment [d imana] kita nonton dan selesai. Apa yang kita lihat dari film ini harus jadi ruang kerja kita, terutama buat adik mahasiswa,” ujar Anum.

Ia mengatakan pelanggaran HAM di Tanah Papua tanggungjawab kerja bersama. Menurut Anum pelanggaran HAM tidak mengenal batasan ras maupun agama.

“Ini bukan persoalan orang Papua, atau orang Kristen. Mengenai HAM itu persoalan semua orang. Perspektif [HAM] harus tegak lurus, Kalau korban Orang Papua, semua harus bicara. Kalau korbannya pendatang, Semua juga harus bicara tidak boleh diam,” katanya.

Memancing emosi

Mantan Kapten Persipura, Fernando Fairyo mengatakan film dokumenter Mutiara Hitam Jenderal Lapangan sangat membuat emosi tidak stabil. Ia mengaku meneteskan air mata menonton film tentang Persipura.

“Memancing emosi, membuat kita teringat pada sejarah perjalanan Persipura. Ada rasa gembira tetapi bercampur sedih. Membuat emosi tidak stabil dan pantas meneteskan air mata. Perjuangan yang tong buat selama ini rasanya sia-sia,” ujar Nando kepada Jubi, pada Kamis (28/9/2023).

Nando mengatakan saat ini Persipura harus fokus memperkuat tim. Akan tetapi tim itu perlu didukung manajemen yang baik dan itu membutuhkan yang yang besar. Manajemen diharapkan kreatif mencari dana dan tidak hanya mengharapkan sponsor dari PT Freeport dan Bank Papua.

“Manajemen harus kreatif mencari dana. Masa tim-tim bola di Jawa ada sponsor banyak. Masa kita [Persipura] tidak bisa kreatif. Harus dilakukan bukan hanya evaluasi tetapi membuat skuad mumpuni. Sekarang ada ciptakan tim yang solid dan biaya yang besar,” katanya.

Semua masyarakat harus suarakan pelanggaran HAM di Tanah Papua
Suasana peluncuran film dokumenter Jubi di Rumah Studi Duta Damai St Nicholaus, Abepura, Kota Jayapura, Provinsi Papua, pada Rabu (27-28/9/2023). – Jubi/ Hana Damimetouw
Nando mengatakan saat ini masyarakat tidak merasa nyaman dengan kondisi Persipura. Nando mengatakan manajemen harus bisa meyakini masyarakat bahwa Persipura akan bangkit kembali ke Liga 1.

“Hari ini semua orang merasa tidak nyaman dengan kondisi Persipura,” ujarnya.

Lima film dokumenter yang diluncurkan Jubi itu diproduksi selama dua tahun oleh Jubi Documentary, kompartemen film dokumenter media Jubi yang berbasis di Kota Jayapura, Provinsi Papua. Tema kemanusiaan dan dampak pelanggaran HAM menjadi benang merah kelima film tersebut.

Kelima film tentang Tanah Papua itu diproduksi dengan supervisi Watchdoc, rumah produksi audio visual yang didirikan Andhy Panca Kurniawan dan Dandhy Dwi Laksono sejak 2009 dan telah memproduksi lebih dari 400 episode film dokumenter maupun 1.000 lebih feature televisi. Watchdoc dikenal dengan berbagai karya film dokumenter bertema keadilan sosial yang mengantar mereka peraih Penghargaan Ramon Magsaysay 2021 untuk kategori ‘Emergent Leadership’.

Saat Mikrofon Menyala, Pepera 1969: Integrasi yang Demokratis? dan Sa Punya Nama Pengungsi diluncurkan dalam acara nonton bareng di Sekretariat Social Movement Institute Yogyakarta pada Rabu (27/9/2023). Film Saat Mikrofon Menyala yang disutradarai Aries Munandar mengulas kelugasan para rapper dan musisi hip hop mengekspresikan kegelisahan mereka melihat situasi sosial politik dan pelanggaran HAM di Tanah Papua.
Semua masyarakat harus suarakan pelanggaran HAM di Tanah Papua
Suasana diskusi setelah pemutaran film dokumenter JUbi tentang Tanah Papua yang digelar di halaman kantor Social Movement Institute, Banguntapan, Bantul, Yogyakarta, Rabu (27/9/2023). – Jubi/Syam Terrajana
Film Pepera 1969: Integrasi yang Demokratis? yang disutradarai Hengky Yeimo dan Helena Kobogau menelusuri persoalan yang disebut Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI, sekarang bernama Badan Riset dan Inovasi Nasional atau BRIN) sebagai ‘akar masalah Papua’, yaitu kontroversi atau pertentangan versi sejarah antara pemerintah Indonesia dan masyarakat di Tanah Papua.

Film Sa Punya Nama Pengungsi yang disutradarai Yuliana Lantipo bertutur tentang situasi konflik bersenjata di berbagai kabupaten di Tanah Papua, serta kisah dua anak yang dilahirkan pengungsi konflik bersenjata dari dua kabupaten berbeda di Tanah Papua dan sama-sama diberi nama Pengungsi.

Nonton bareng Saat Mikrofon Menyala, Pepera 1969: Integrasi yang Demokratis? dan Sa Punya Nama Pengungsi di Sekretariat Social Movement Institute itu diikuti dengan diskusi yang menghadirkan sutradara Hengky Yeimo dan videografer Rabin Yarangga. Wakil Ketua Badan Pengurus Perkumpulan Elsam Amiruddin Al-Rahab hadir selaku penanggap dan narasumber ahli dalam diskusi tersebut.

Film Mutiara Hitam Jenderal Lapangan yang disutradarai Maurids Yansip berkisah tentang keberadaan tim sepak bola Persipura Jayapura sebagai simbol kebanggaan dan identitas bersama orang di Tanah Papua, meraih 4 gelar juara liga utama, dan kini tengah berjuang untuk kembali mendapat promosi ke Liga 1.

Suara dari Lembah Grime yang disutradarai Angela Flassy memaparkan berbagai dampak sosial yang ditimbulkan pembukaan hutan untuk perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Keerom dan Kabupaten Jayapura, dua kabupaten yang berada di Provinsi Papua. (*)

https://jubi.id/tanah-papua/2023/sem...i-tanah-papua/

5 film tentang Papua dari Persipura degradasi, masalah HAM Papua, dan keabsahan Pepera 1969


5 film dokumenter Jubi tentang Tanah Papua dan “upaya mendidik orang Indonesia”
Semua masyarakat harus suarakan pelanggaran HAM di Tanah Papua
September 28, 2023
Writer: Admin Jubi | Editor: Syam Terrajana
Film Dokumenter
Suasana diskusi setelah pemutaran film dokumenter JUbi tentang Tanah Papua yang digelar di halaman kantor Social Movement Institute, Banguntapan, Bantul, Yogyakarta. Jubi/ Aryo Wisanggeni
Yogyakarta – Jubi Documentary pada akhir September meluncurkan lima film dokumenter tentang Tanah Papua. Tiga film diantaranya diluncurkan dengan acara nonton bareng di Sekretariat Social Movement Institute Yogyakarta pada Rabu malam (27/9/2023).
Kelima film dokumenter itu masing-masing berjudul “Saat Mikrofon Menyala”, “Pepera 1969: Integrasi yang Demokratis?”, “Mutiara Hitam Jenderal Lapangan”, “Sa Punya Nama Pengungsi” dan “Suara dari Lembah Grime”.

Kelima film dokumenter yang diluncurkan Jubi itu diproduksi selama dua tahun oleh Jubi Documentary, kompartemen film dokumenter media Jubi yang berbasis di Kota Jayapura, Provinsi Papua.

Kelima film tentang Tanah Papua itu diproduksi dibawah supervisi Watchdoc, rumah produksi audio visual yang didirikan Andhy Panca Kurniawan dan Dandhy Dwi Laksono sejak 2009 dan telah memproduksi lebih dari 400 episode film dokumenter maupun 1.000 lebih feature televisi.

Watchdoc dikenal dengan berbagai karya film dokumenter bertema keadilan sosial yang mengantar mereka peraih Penghargaan Ramon Magsaysay 2021 untuk kategori ‘Emergent Leadership’.

“Saat Mikrofon Menyala”, “Pepera 1969: Integrasi yang Demokratis?” dan “Sa Punya Nama Pengungsi” diluncurkan dalam acara nonton bareng di Sekretariat Social Movement Institute Yogyakarta pada Rabu (27/9/2023).

“Saat Mikrofon Menyala” disutradarai Aries Munandar,  mengulas kelugasan para rapper dan musisi hip hop mengekspresikan kegelisahan mereka melihat situasi sosial politik di Tanah Papua.

“Pepera 1969: Integrasi yang Demokratis?”  disutradarai Hengky Yeimo dan Helena Kobogau. Film ini  menelusuri persoalan yang disebut Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI, sekarang bernama Badan Riset dan Inovasi Nasional atau BRIN) sebagai ‘akar masalah Papua’, yaitu kontroversi atau pertentangan versi sejarah antara pemerintah Indonesia dan masyarakat di Tanah Papua.

Film “Sa Punya Nama Pengungsi”  disutradarai Yuliana Lantipo bertutur tentang situasi konflik bersenjata di berbagai kabupaten di Tanah Papua, serta kisah dua anak yang dilahirkan pengungsi konflik bersenjata dari dua kabupaten berbeda di Tanah Papua dan sama-sama diberi nama Pengungsi.

Nonton bareng “Saat Mikrofon Menyala”, “Pepera 1969: Integrasi yang Demokratis?” dan “Sa Punya Nama Pengungsi” di Sekretariat Social Movement Institute itu diikuti dengan diskusi .Menghadirkan sutradara Hengky Yeimo dan videografer Rabin Yarangga. Wakil Ketua Badan Pengurus Perkumpulan Elsam Amiruddin Al-Rahab hadir selaku penanggap dan narasumber ahli dalam diskusi tersebut. Acara dimoderatori Aprila Wayar, jurnalis dan novelis perempuan Papua.

Pemutaran film dan diskusi dihadiri sekitar 150 orang; para aktivis, jurnalis dan mahasiswa dan seniman. Acara juga dimeriahkan oleh suguhan musik rap dari Melanesian Hiphop Yogyakarta. Mereka menghangatkan suasana usai gelaran diskusi.

Sedangkan  dua film lainnya, “Suara dari Lembah Grime” dan “Mutiara Hitam, Jenderal Lapangan” diluncurkan secara terpisah dalam acara nonton bareng yang digelar di Jayapura dan Jakarta.

Suara dari Lembah Grime yang disutradarai Angela Flassy memaparkan berbagai dampak sosial yang ditimpulkan pembukaan hutan untuk perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Keerom dan Kabupaten Jayapura, dua kabupaten yang berada di Provinsi Papua.

Film Mutiara Hitam Jenderal Lapangan yang disutradarai Maurids Yansip berkisah tentang keberadaan tim sepak bola Persipura Jayapura sebagai simbol kebanggaan dan identitas bersama orang di Tanah Papua, meraih 4 gelar juara liga utama, dan kini tengah berjuang untuk kembali mendapat promosi ke Liga 1.

Mendidik orang Indonesia

Dandhy Dwi Laksono dari Watchdoc  yang turut hadir pada sesi pemutaran di Yogyakarta menambahkan,  dari apa yang dia  tonton dari tiga film tersebut, dia  merasa sudah saatnya Papua diceritakan, dinarasikan dan direkam oleh kawan Papua dan para jurnalisnya.

Menurutnya, selesainya pembuatan  film dokumenter itu  baru separuh perjalanan.

Separuhnya lagi,  bagaimana membuat film ini ditonton oleh orang Indonesia.

Dia mengatakan, Papua adalah paradoks dari tsunami informasi. Banyak orang  merasa tahu tentang Papua, dari apa yang berseliweran di media sosial. Tapi menurutnya  sejenis film-film dokumenter yang diproduksi Jubi,  tidak setiap saat ada di media sosial apalagi di media arus besar. Apa yang sesungguhnya terjadi di balik banyak peristiwa di Papua, tidak pernah benar-benar utuh dihadirkan.

Sekarang bagaimana caranya supaya cerita cerita ini ditonton orang Indonesia.

“Supaya (mereka) bangun dari tidur panjang, film ini lebih untuk mendidik orang indonesia, supaya tidak mati dalam keadaan bodoh, menelan doktrin NKRI harga mati,” tutupnya. (*)
https://jubi.id/tanah-papua/2023/5-f...ang-indonesia/
Film karya Dandy Laksono ;D
0
284
25
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
672.2KThread41.9KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.