Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

bukhoriganAvatar border
TS
bukhorigan
[SFTH] Cermin Warisan Nenek - KUNCEN
Quote:




"Assalam...mu'alai...kum...uhuk-uhuk..." Suaraku terbatuk kala tiba di ruang tamu, debu-debu dari tumpukan barang menyeruak seisi ruangan. Pengap rasanya. Kardus demi kardus menimpa satu sama lain, perkamen, perkakas, barang dapur sampai kain batik menggunung di setiap penjuru. Entah apa yang terjadi di rumahku sekarang.

"Eh dek Tia udah pulang,"

"Loh ternyata ada Budhe?" Aku melangkah untuk memberi salam padanya, tentu dengan kehati-hatian kala melewati barang demi barang yang berserak. Aku pun tak ingin debu-debu itu hinggap di seragam sekolahku.

"Ayo ke belakang, Budhe sama Ibumu baru selesai masak,"

Di dapur sana, Ibu terlihat membawa piring dengan hidangan tempe orek yang masih hangat kemudian meletakkannya di atas meja ruang keluarga. Budhe menyusul untuk mengambil rak penuh cangkir. Rumah ini tak terlalu besar, kami sekeluarga sering kali makan sambil menonton televisi. Khas keluarga sederhana di pinggiran kota Semarang.

"Bu ada apa sih ini?" Ucapku sambil mencium tangannya.

"Almarhum Embah-mu meninggal tempo lalu, barang-barangnya diwariskan sama Ibu dan Budhe,"

"Bener nak Tia," ucap Budhe kala meletakan gelas demi gelas di atas meja, "terlebih Budhe dan Ibumu sudah setuju untuk menjual rumah Embah,"

Aku hanya terpaku mendengar penjelasan mereka. Di usiaku sekarang, aku tak terlalu mengerti soal pembagian warisan dalam budaya jawa, yang aku tahu Embah Sulastri adalah Nenekku dari silsilah keluarga Ibu. Aku tak terlalu dekat dengannya, rumahnya pun teramat jauh dari kota Semarang tepatnya di tengah lembah Gedangan. Beliau hanya dikaruniai dua anak. Budhe dan Ibuku.

Nenek sudah lama tinggal sendiri, ia sering sakit-sakitan terlebih kala ditinggal mendiang Kakek. Ia seperti kehilangan arah untuk hidup, bahkan sering lupa dengan anak-anaknya. Bukan hanya lupa nama, ia pun lupa bagaimana rupa dan bentuk wajah Budhe dan Ibu.

Sungguh, bukan maksudku merendahkan leluhurku sendiri. Namun Embah mempunyai kebiasaan yang menurut orang janggal. Seperti membakar bunga dan menabur kemenyan di setiap penjuru rumahnya. Untuk itulah aku tak terlalu suka berkunjung ke tempat tinggal Embah Sulastri. Rumah Nenek teramat pekat dengan aroma yang membuatku mual.

Untung saja, rumah Budhe dan Nenek tak terpaut terlalu jauh. Pakdhe sering menjenguk nenek kala menjajakan ternaknya ke kota besar. Namun beberapa bulan yang lalu, Pakdhe datang ke rumah Ibu dengan kabar jika Nenek sedang kritis. Benar saja, kala Ayah dan Ibu sampai di teras rumahnya, Nenek meninggal.

Ingatan tentang Embah menyeruak saat Ibu memperagakan busana yang sering dipakai Embah, disusul gelak tawa Budhe melihat tingkahnya.

"Ada-ada aja kamu Sur, Sur,"

"Ya ndak apa toh mbak,"

Wajah mereka teramat mirip satu sama lain, selayaknya wajah Nenek kala menyeringai dengan tawa khasnya. Tidak, bukan menggemaskan, namun membuatku bergidik ketakutan seperti halnya sosok Lampir dari sinetron lawas.

"Loh Bu ngapain?" Tetiba Ayah tiba di muka pintu, disusul Pakdhe yang membawa beberapa berkas di lengannya.

"Loh Mas udah selesai urusannya?" Ibu masih terkekeh sambil melepas selendang Nenek.

Semua orang berkumpul dengan sisipan senyum satu sama lain, seolah ada perayaan yang sudah mereka nantikan sejak lama. Mereka melingkar badan di atas meja, menuang air pada cangkir masing-masing.

Bersulang.

"Nduk, sini makan dulu, selesai itu langsung mandi ya?"

"Nak Tia sini ayo makan, aduh maaf ya sepupumu belum bisa datang ke Semarang," ucap Pakdhe, walau sebenarnya aku tak terlalu peduli dengan kabar anak-anaknya.

Kala diriku menuang nasi, mereka bercakap jika rumah nenek sudah laku terjual pada juragan pupuk dari Magelang. Ia membutuhkan tempat transit bagi para karyawannya kala mengirim barang ke pinggiran Jawa Tengah.

"Sur, sesuai percakapan kita di telepon, Mbak membawa lemari dan perkakas yang kamu butuhkan di rumah, dan...oh iya...Mbak juga membawa mainan saat kita kecil loh," Budhe membuka percakapan baru dengan antusias, "Nak Tia, nanti jika selesai makan, bisa tolong ambil kotak kayu di ujung sana ya?"

"Tak apa, sekarang aja Budhe," ucapku meletakan sendok, meminum air lalu turun menuju arahan Budhe. Kotak kayu itu terselip di antara barang-barang yang terbalut kain putih.

"Srak...!" Kain putih jatuh ke lantai kala kotak itu kuraih.

Seketika ruangan hening.

Aku melihat pantulan wajahku di sana. Kusam dan berdebu. Itu cermin yang senantiasa menggantung di kamar tidur nenek.

"Nak?" Ucap Ayah kala melihatku berdiri mematung untuk beberapa menit. Membuat semua orang melihat ke arahku.

"I...iya...Ayah," aku membalik badan kemudian duduk kembali pada mereka yang masih riang dengan pembicaraan harta warisan.

Ayah dan Pakdhe berbicara pengembangan bisnis mereka, wajar saja rumah Nenek terjual cukup fantastis bagi kami. Ibu dan Budhe mengotak-atik perkakas dari kotak kayu tadi, mereka lebih bernostalgi masa kecil mereka.

Aku tahu jika diriku dan Embah tak terlalu dekat, bahkan aku tak mengenal nama belakangnya. Namun suasana di atas meja ini justru membuatku sedih tak kepalang. Ternyata jiwa manusia mudah terlupakan, bahkan dari orang-orang terdekat sekalipun.

Makanan di atas piring seolah membuatku kenyang, diriku lekas minum dan membawa piring ke dapur. Ingin segera melepas penat dari semua hal itu dengan guyuran air.

"Nenek, semoga engkau tenang,"

***


Pakdhe dan Budhe beranjak pulang kala petala di langit mulai gelap. Ibu dan Budhe berharap jika di pekan libur nanti kami semua bisa berkunjung ke rumahnya. Pakdhe menyelipkan beberapa lembar uang di lenganku, untuk beli eskrim katanya. Mereka lupa jika aku sudah besar, sesuatu yang dingin justru membuat perutku kembung.

Aku melambai tangan dengan rambut yang masih terasa basah. Ingin segera masuk ke kamar dan mengeringkannya. Setelah mobil Pakdhe lepas dari pandangan, kami beranjak masuk, Ayah dan Ibu masih berdiskusi soal pembagian harta. Menjemukan pikirku.

"Bu boleh kan jika cermin ini aku ambil?"

Ibu tak bergeming dan masih berbicara syahdu satu sama lain dengan Ayah. Manusia memang tuli dengan sekitarnya saat kepingan harta menyumbat telinga mereka. Aku tak ambil pusing dan hanya membawa cermin selebar badanku itu menuju kamar. Untung saja cermin ini terbungkus kain, aku tak terlalu kerepotan saat membersihkannya.

Aku masih merasakan sedih, lucunya merasakan sedih di bulan-bulan berikutnya kala Nenek sudah meninggal.

Entah kenapa semenjak pertama kulihat, diriku merasakan ketertarikan yang dalam seolah benda ini dikirim khusus hanya untukku. Rupa cermin ini berwajah antik dengan bingkai penuh ukiran ditambah aksen bunga anggrek dan dedaunan. Kacanya berbentuk bulat ouval, walau terlihat remang dimakan usia, pantulannya masih terlihat bening.

Cermin ini masih terlihat sama dalam ingatanku. Aku memutuskan menggantungnya di depan ranjang seperti halnya di rumah Embah Sulastri dulu.

Samar-samar aku tahu persis jika saat kecil Nenek pernah menyisir rambutku menghadap cermin ini di kamar tidurnya. Ia tak banyak bicara dan hanya menyanyi merdu untukku. Mungkin itu memoir manis tentang Nenek yang masih kuingat, bahkan mungkin saja ingatan satu-satunya yang kubawa bahkan sampai sekarang.

Walau tanpa Nenek, diriku masih menyisir lembut di hadapan cermin ini. Pun halnya hembusan hair-dryermembuat rambutku mengembang ke sana-sini. Pandanganku sedikit terhalang.

"Tia..."

Diriku berhenti sejenak kemudian memicingkan telinga ke sekitar.

"Iya Bu?"

"Bu?"

Walau pengering rambut menghembus beberapa saat, rambutku sudah terasa kering sempurna. Sesaat kulihat cermin dan melihat wajahku penuh keringat demikian banyak. Entah kenapa kamarku terasa panas dan gerah walau hari sudah beranjak malam. Tidak seperti biasanya.

"Tok-tok-tok..."

"Tia masih laper ndak?" Ibu tahu betul jka malam hari diriku selalu menyeduh mie rebus.

"Engga Bu, Tia udah kenyang," jawabku sambil mengipas kening yang masih terasa panas. Entah kenapa aku merasa kenyang, bahkan makan di sore tadi-pun tak sempat aku habiskan.

Tanganku mengepak-ngepak kerah baju, sungguh malam ini teramat gerah!

Lampu di kamar tidur terasa menyilaukan mata, seolah sinar dari atas selayaknya matahari di tengah siang. Diriku bangkit dan mematikan lampu untuk sejenak, lega rasanya. Lampu dari ruang keluarga menembus ke kamar tidurku, ruangan seketika terlihat remang-remang dengan warna biru gelap.

Kembali kujatuhkan badan ke atas ranjang.

"Tok-tok-tok..."

"Tia..."

"Bu, aku udah kenyang,"

"Tok-tok-tok..."

"Bu aku udah kenyang!"

"..."

"Bu?" Walau lelah dan gerah, badanku kembali bangkit.

Kala pintu dibuka, tak ada siapapun di muka kamar tidurku. Mungkin Ibu beranjak pergi ke kemarnya. Aku memutuskan membawa air minum ke dapur lalu kembali merebahkan badan ke atas ranjang. Aku harus segera tertidur, esok hari ada presentasi yang harus aku selesaikan.

Sesaat masuk ke dalam kamar, hidungku terasa pengap seolah banyak debu berterbangan. Mungkin itu sisa-sisa debu yang masih berserak dan tertiup menuju kamarku. Entahlah, malam ini kepalaku terasa pusing, penciumanku kacau, semakin malam justru semakin terasa pening.

"Glek...glek..." Teguk demi teguk air menembus rongga mulutku kala masuk ke dalam kamar tidur.

Cermin memantulkan bayanganku...

Tidak, tidak mungkin, bayanganku tidak minum!

Segera kunyalakan lampu, ternyata itu masih diriku. Berkali-kali tanganku memijit dua pelipis secara bergantian hanya untuk memastikan ini sekedar khayalanku saja.

Gelas dalam genggamanku bergetar, kuteguk kembali sedikit demi sedikit.

"Ahhh...!"

"Prang...!" Kepingan gelas memecah keheningan.

Apa itu, bayanganku meminum darah! Benar itu darah!

Kemudian kulihat lantai yang berserakan pecahan gelas, airnya masih bening, bukan darah!

"Ah ada apa ini?" Dengan hati-hati tanganku mengambil kepingan yang mampu diraih.

"Nduk, kenapa?" Tanya Ibu di muka pintu.

"Ah engga Bu, ini...teledor,"

"Biar Ibu yang bereskan," Ibu mengusap punggungku, "Loh kamu demam? Badanmu terasa lembab gini?" Ibu menyentuh keningku kemudian berlalu mengambil botol sirup demam.

Beberapa saat kemudian Ayah dan Ibu menemaniku di kamar, mereka berkata jika aku terlihat pucat dan lelah. Ibu berdalih jika ia merasa debu-debu dari barang peninggalan Embah membawa penyakit. Ia bernada menyesal karena tak segera membereskannya. Namun aku mengelak jika ini hanya demam biasa menuju pancaroba.

Saat Ibu selesai membersihkan kepingan gelas, ia berlalu bersama Ayah. Mereka mematikan lampu dan berkata jika terjadi sesuatu lebih baik segera memanggil mereka.

Obat bekerja perlahan namun dengan pasti menutup mataku untuk segera terlelap.

"Ada apa ini," pikirku.

***


"Sret...!"

"Sret...!"

"Sret...!"

"Siapa itu?"

Sosok itu menyisir di depan cermin Nenek.

"Hey...! Kau siapa...aduh..." Kepalaku berdenyut kencang.

"Apa kowe pengin dadi tuanku terusane?"
"(Apa kamu ingin jadi tuanku selanjutnya?)"

"Panjenengan badhe dados tuanipun kula salajengipun?"
"(Apa kamu ingin jadi tuanku selanjutnya?)"

"Punapa sampeyan kajeng dados tuanipun kula salajengipun?"
"(Apa kamu ingin jadi tuanku selanjutnya?)"

Suaranya serak dengan aksen jawa yang ganjil, aneh sekali.

"Kamu siapa?"

"Kula?"
"(Aku?)"

"Iya kamu!"

"Kula inggih punika sampeyan!"
"(Aku adalah kamu!)"

Seketika kepalanya melirikku ke belakang dengan wajah menyeringai penum senyum.

Ia terbahak kencang sampai menghentak gendang telingaku.

Wajahnya! Wajahnya! Wajahnya sangat mirip denganku!

"Pergi dari sini!" Aku benar-benar tak mengerti dengan yang ia bicarakan,

Lampu berkedip kencang, dan ia memutar-mutar badannya dengan tertawa menyeringai ke arahku.

"Sulastri! Sulastri! Sukastri! Putunipun sampeyan penakut!"

"Pergi!" Kulempar semua barang di samping ranjang. Botol sirup, pengering rambut, handphone, semuanya kulempar ke wajahnya. Ia tak bergeming sedikitpun. Hingga botol parfum kulempar hingga tak sengaja membentur tepat ke tengah cermin Nenek.

"Prang...!"

Bingkainya jatuh ke lantai. Terbelah.

"Klontang...klontang...!"

"Huaaaaaaaaaaa..." Seketika lampu redup.

Padam.

Gelap.

Hitam.

***


"Fuahhh...!" Aku terbangun, ternyata itu mimpi.

"Ayah! Ibu!" Aku menangis sejadinya.

Aku menaikan kepala hingga tubuhku mampu bersandar namun terkejut kala cermin di depan ranjang sudah terjatuh di lantai. Bingkai cermin itu terbelah kemana-mana, meremukkan setiap sisinya. Dari bongkahan bingkainya keluar rayap, belatung, sampai kelabang yang berlarian ke setiap sudut kamar tidurku. Mengerikan!

"Apa ini mimpi? Nyata? Khayalan?" Aku masih tertunduk dengan cucuran air mata yang membanjiri selimut.

"Tok...tok...tok...!"

"Pergi!"

"Nduk!"

"Aku bilang pergi...!"

Kembali kuterjatuh, pekat dalam lelap, meringkuk dan memeluk kakiku sendiri di tengah ranjang.

***


Aku terbangun di kamar tidur Ayah dan Ibu, ada beberapa orang yang tak kukenal mengelilingiku. Ibu menangis tepat di sampingku sambil memegang air minum dengan sendok di tangan, mungkin ia ingin menyuapiku dalam pingsan sejak dini hari tadi.

Aku tak mampu mengingat apapun, sungguh. Benar-benar terlihat samar dalam ingatan.

Pakdhe dan Budhe kembali ke rumahku tentu dengan sepupuku yang menyilang tangan sambil menggelengkan kepalanya. Baru sekarang aku melihat mereka semua terlihat khawatir dengan keadaanku sekarang.

Lewat pembicaraan mereka-pun aku baru tahu jika Nenek mempunyai budak Jin yang ia kurung dalam cermin, konon makhluk itu melayani Nenek untuk menangkal marabahaya semasa kolonial Belanda dulu kala. Namun semenjak Nenek sakit, Jin itu otomatis kembali ke kandangnya. Menunggu keturunan bungsu dari Nenek. Dari Ibu lalu padaku. menurut Pakdhe Jin itu adalah pemberian dari Nenek Buyutku untuk melindungi anak terakhir sebab anak yang besar lebih dewasa dan lebih mampu berjaga diri.

Pakdhe menjelaskan banyak hal, termasuk Budhe yang lebih pandai perihal ini. Aku mendengar mereka berkali-kali meminta maaf pada Ibu karena merahasiakan ini, Budhe berkata jika ia ragu tentang kebenaran Jin simpanan Nenek sehingga cermin itu lepas dari pandangan mereka--lalu pada akhirnya terbawa ke rumah kami di Semarang. Mereka-pun menganggap jika ritual yang sering dilakukan Nenek sekedar mitos kepercayaan orang dahulu, mana mungkin Nenek menggunakan Jin itu di masa sekarang. Begitu pungkasnya.

Segala penjelasan itu membuat keluargaku bermuara pada satu pertanyaan, apakah makhluk itu kembali?

Entahlah, untuk saat ini kami menganggap jika kurungan yang mengekang makhluk itu sudah hancur. Ia sudah terbebas.

Betul, cermin itu, cermin yang Budhe katakan hendak ia buang ke laut jawa.

Untuk saat ini diriku merasa lebih baik dari malam tadi. Aku pun senang jika semua anggota keluarga tidak hanya berbicara tentang harta dan harta. Namun mampu berkumpul dan bisa saling melindungi satu sama lain.

Aku yakin jika arwah Nenek seperti mengingatkan lewat perantara cermin itu termasuk makhluk yang ada di dalamnya, bahwa harta benda tak mampu membantu mereka dari semua marabahaya.

Mungkin Nenek seperti menyuruh suratan takdir untuk mewariskan cerminnya padaku. Namun bukan benda itu yang ingin ia wariskan, tetapi sebuah pelajaran berharga bagi semua anggota keluarga, jikalau hidup kami tidaklah 'sendiri'.

Masih ada makhluk tak kasat mata yang mungkin saja melihat kami dari dimensi lain. Aku berdoa untuk kesekian kalinya, benar-benar berharap jika arwah Nenek bisa jauh lebih tenang untuk meninggalkan dunia walau jasadnya lebur sejak lama.

"Terimakasih Nenek,"

"Kita akan berjumpa lagi,"

THE END


Spoiler for image source:
Diubah oleh bukhorigan 26-09-2023 12:27
anangabdulla192
rn2150381970
habibhiev
habibhiev dan 20 lainnya memberi reputasi
21
782
18
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.4KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.