muyasyAvatar border
TS
muyasy
Jalan Tuangan - KUNCEN




Riski dan Mahmud berjalan menyusuri jalanan perkampungan yang minim cahaya. Mereka berdua mengunjungi ke rumah sahabatnya yang bernama Tian. Padahal Tian sudah melarang temannya itu untuk datang ke kampungnya. Namun, Riski dan Mahmud tak menggubris perkataan temannya itu.

"Harusnya kita pakai sepatu boots, Ki. Nggak kayak begini jadinya," ujar Mahmud dengan ketus sembari menunjuk pada kedua sneaker-nya yang diselimuti lumpur.

"Aku juga. Nih, lihat sepatuku," ucap Riski sambil terkekeh.

"Pantesan Tian nggak memperbolehkan kita datang ke kampungnya. Udah jauh jalannya berlumpur lagi," sungut Mahmud terus mengumpat.

"Huss! Kamu ngomong harus hati-hati. Kata Tian setelah melewati jalan 'Tuangan' ini nanti kita melihat rumah-rumah warga di sana."

"Loh, kata Tian jangan lewat jalan 'Tuangan.' Seingatku begitu."

"Kuping kamu yang budeg. Tian nyuruh kita lewat jalan 'Tuangan.' Gimana, sih, kamu!"

"Ya, udah. Cepetan sebelum magrib tiba. Kelamaan di jalanan berlumpur ini tiba-tiba matahari mau tenggelam aja."

Mereka berdua berhati-hati melangkah. Meskipun kaki mereka berjalan dengan pelan, tetapi selalu saja langkah mereka tidak seimbang. Alhasil, Mahmud jatuh terduduk.

"Kampret! Demi Tian aku dateng ke sini. Dia nggak bilang kalo jalan menuju rumahnya bakalan becek begini!" sungut Mahmud. Tangannya mengelus lututnya yang mulai pegal.

"Tinggal sedikit lagi kita sampai, Mud."

"Dari tadi kamu bilang tinggal dikit terus. Kapan sampainya? Tian kok betah, ya, tinggal di sini."

"Kamu ngeluh aja. Jangan sampai ada penunggu pohon besar di sini kesal gara-gara ucapanmu."

"Kok jadi aku yang disalahin. Salahin aja, nih, jalan becek ini."

Riski hanya menggelengkan kepalanya sembari tersenyum tipis. Meskipun Mahmud orangnya yang kasar, tetapi dia sangat setia kawan.

Angin petang hari ini begitu semilir. Lambat laun semakin kencang. Sampai pepohonan yang menjulang meliuk-liuk mengikuti arah angin. Dedaunan ikutan berjatuhan tanpa henti. Saking kencangnya angin, mata Riski dan Mahmud tidak bisa terbuka. Mereka mencoba membuka mata, tetapi dihadapan keduanya seperti kabut putih yang menggulung.

"Ki ... Riski ...! Ada angin puting beliung!" teriak Mahmud terdengar samar karena kalah dengan suara angin ribut.

Riski tak menanggapi teriakan Mahmud tersebut. Dari nadanya saja terdengar sangat ketakutan. Padahal dia pun sama takutnya.

Angin ribut semakin kencang. Menggulung apa pun yang didekatnya. Pepohonan saling berjatuhan karena kalah dengan embusan dahsyat angin tersebut. Mahmud dan Riski saling berangkulan. Keduanya mencoba melangkah ke pinggir jalan, tetapi tak sanggup karena kaki Mahmud terjebak di lumpur yang hampir mengering.

"Kayaknya kita akan mati, Ki. Kita akan mati di sini!"

"Diem!"

Cukup lama angin menerpa di mana mereka berada. Kedua anak manusia saling berpelukan satu sama lain. Mulut mereka berkomat-kamit membaca ayat alqur-an apa saja yang mereka ingat. Namun, angin tersebut terlihat aneh. Riski dan Mahmud tertarik begitu cepat dan tergulung ke arah pusaran angin. Tak lama kemudian, suasananya sepi kembali. Pepohonan besar tetap tegak berdiri. Pohon lain yang berjatuhan mengakibatkan sebagian jalan tertutup. Yang membedakan adalah Riski dan Mahmud tidak ada di jalan berlumpur tadi. Lalu, ke mana mereka?

***

Bebatuan yang lancip seperti karang menghiasi tempat di mana Riski dan Mahmud berada. Pengap dan amis bercampur jadi satu. Tidak ada cahaya di situ, membuat ruangan yang mirip dengan gua terlihat sangat mengerikan.

Riski dan Mahmud tergeletak masih tidak sadarkan diri. Mereka terjerembab dibebatuan yang bercampur lumut. Dasar gua tersebut tampak air yang berwarna keruh. Air tersebut menguar bau yang amis nan menjijikkan.

"Ikat kedua manusia di sana! Lucuti mereka dan biarkan api menyala di bawah kaki keduanya," perintah makhluk yang tinggi besar dengan dagu lancip nan runcing. Tubuhnya kekar, tetapi banyak bulu yang menghiasi badannya. Matanya merah menyala dengan taring giginya yang keluar dari mulutnya. Suaranya yang berat terlihat sangat misterius sekaligus menakutkan.





Riski mengaduh saat pergelangan tangannya ditarik dengan kencang pada besi. Diikatnya beberapa kali agar tiap meronta tidak akan melepaskan ikatan tersebut.

Lambat laun mata sayu Riski pun terbuka. Kakinya merasa amat panas dan sekujur badan terasa berkeringat. Dengan nalurinya yang tinggi, matanya menatap ke bawah. Sontak dirinya kaget dan ingin jauh pada api yang berkobar dahsyat.

Namun, Riski tidak bisa kemana pun. Tangan dan kaki diikat begitu kencang. Rasanya pergelangannya terasa perih dan sakit. Sepertinya kulit arinya mulai terkelupas dan berdarah.

"Di mana ini?" ucapnya pelan. Riski melihat Mahmud di sampingnya yang masih diam. Sepertinya anak itu belum tersadar dari pingsannya.

"Mahmud! Mud ... bangun!" panggil Riski cukup keras. Namun, Mahmud masih bergeming.

"Manusia tak tahu diri! Kenapa kalian merusak rumahku?" gertak makhluk halus tersebut.

Riski bergidik ngeri. Siapa makhluk menyeramkan di depannya itu? Baru kali ini dia menjumpai makhluk yang sangat menakutkan. Apa sekarang dia dalam neraka? Seperti ucapan Mahmud beberapa waktu lalu yang menyatakan mereka akan mati.

"Cambuk mereka sampai mati! Setelah itu panggang tubuh mereka. Ini akibat merusak rumah yang sudah lama kita tinggali."

Segerombolan makhluk-makhluk menyeramkan berdatangan dengan cambuk panjang yang siap mereka hempaskan pada Riski dan Mahmud.

Satu kali pukulan mengenai Mahmud sampai laki-laki itu tersadar sambil meringis. Riski bingung harus melakukan apa. Tangan dan kaki diikat kencang. Kembali matanya menyipit karena tidak tega melihat Mahmud dicambuk lagi.

"Hentikan!" teriak Riski.

Mahmud merintih pilu. "Ki ... apa kita di neraka? Apa salah dan dosaku sampai dicambuk begini?" tangis Mahmud menyayat hati. Dia menahan pedihnya kulit dada dan paha yang berdarah hasil cambukan mahkluk di depannya itu.

"Tidak! Aku tidak yakin kita sudah mati. Baca ayat kursi sebisamu. Jangan mengeluh!"

Mahmud menuruti ucapan Riski. Dia azan terlebih dahulu dengan suara yang lantang. Riski pun sama. Setelah azan selesai, mereka bersamaan membaca surat alfatihah lalu ayat kursi sampai berulang kali.

Beberapa makhluk halus yang akan mencambuk Riski dan Mahmud sangat marah sekaligus gelisah. Cambukan demi cambukan tak henti mengenai mereka. Namun, seiring bacaan ayat alqur-an yang tidak berhenti, para makhluk halus berlarian ke sana kemari. Ada yang terguling dengan memegang kepala mereka. Erangan keras bersahutan tak membuat Riski dan Mahmud berhenti berdoa.

Sampai sang penghuni ketua makhluk halus tersebut datang dengan kemarahan. Namun, percuma saja. Kemarahannya tidak berguna. Karena gua yang dihuni roboh seketika. Riski dan Mahmud hanya berdoa dan pasrah. Dipikiran mereka hanya ingin bebas. Riski baru sadar jika dia terjebak di rumah makhluk halus yang entah apa namanya. Mungkin salah satu dari mereka tidak sengaja mengusik rumah makhluk halus tersebut sampai membuatnya murka.

Tetiba, angin datang kembali menggulung mereka. Entah di mana datangnya angin tersebut. Riski dan Mahmud terkesiap dan saling pandang.

"Allahu akbar!"

***

"Allahu akbar!"

"Allahu akbar!"

"Allahu akbar!"

"Riski ... Mahmud. Bangun, bangun! Syukurlah kalian sudah sadar."

"Bapaak ... temanku sudah sadar, Pak!" lanjut Tian berlari ke depan memanggil bapaknya di samping rumah.

"Iya. Bapak tadi kaget mendengar teriakan dari dalam."

Riski dan Mahmud tidak bisa menggerakkan badan mereka. Paling terasa tulang belulang mereka rasanya patah semua. Sakit dan tubuhnya sulit digerakkan.

"Aku belum mati ternyata," ujar Mahmud pelan.

Riski menoleh ke arah Mahmud. Tangannya ingin memukul mulut Mahmud yang bicara tanpa di rem.

Tian menjawab, "siapa bilang kamu mati? Dua hari lalu kalian seperti mayat hidup. Tapi, tak berapa lama kalian teriak seperti orang kesetanan. Badan kalian panas. Aku dan bapak sempat membawa ustaz kemari agar kalian di ruqyah. Kata beliau kalian disembunyikan oleh makhluk halus, ya."

"Hah! Dua hari lalu." Mereka menjawab berbarengan.

"Iya, Nak. Kalian tidak sadar sampai dua hari. Syukurlah sekarang kalian tidak apa-apa."

"Lain kali kalian datang ke sini minta Tian jemput di pertigaan jalan ujung kampung ini. Jangan lewat 'Tuangan'. Untung saja kalian selamat. Karena, bukan sekali ini saja kejadiannya. Bapak jadi bersalah apalagi menyangkut nyawa anak orang lain," lanjut bapaknya Tian.

Riski dan Mahmud kembali berpandangan. Dalam pikiran mereka masih belum mempercayai dengan kejadian yang menimpa keduanya.

Tamat


Pict by pinterest



NOTE: jalan tuangan yaitu jalan yang sisi kiri kanan tidak ada satu rumah pun. adanya pepohonan tinggi atau kebun kosong.
azhuramasda
cattleyaonly
bukhorigan
bukhorigan dan 4 lainnya memberi reputasi
5
407
22
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.5KThread42.2KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.