kecimprinkAvatar border
TS
kecimprink
Walhi dan LAM: Pulau Rempang Bukan Tanah Kosong


Konflik warga dengan aparat akibat pengembangan Rempang Eco-City di Kota Batam, Kepulauan Riau (Kepri), yang terjadi beberapa hari belakangan, menjadi bukti pulau dengan luas sekitar 165 km persegi itu bukanlah tanah kosong. Setidaknya terdapat 16 Kampung Melayu Tua yang diperkirakan sudah ada di pulau itu sejak ratusan tahun lalu. Kampung-kampung tua itu bakal tergusur, bila proyek itu dilanjutkan dengan cara mengosongkan areal proyek.

"Keputusan memberikan seluruh lahan kepada investor adalah sikap yang tidak memihak kepada rakyat dan berdampak pada 16 kampung tua Suku Melayu, Suku Orang Laut, dan Suku Orang Darat yang sudah bermukim di Pulau Rempang setidaknya sejak 1834," ujar Ahlul Fadli, Koordinator Media dan Penegakan Hukum, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Riau, Sabtu (9/9/2023).

Lembaga Adat Melayu (LAM) Kepri juga menegaskan keberadaan masyarakat penghuni Pulau Rempang. LAM Kepri menolak bila masyarakat yang sudah tinggal ratusan tahun di Pulau Rempang dan Pulau Galang direlokasi.

"Mereka sudah tinggal di sana ratusan tahun dan turun temurun. Pemerintah juga harus fasilitasi mereka, tentang hak mereka yang sudah tinggal di sana turun temurun," kata Abdul Razak, Ketua LAM Kepri, Sabtu (9/9/2023) kemarin, dikutip dari Tempo.co.

Ketua I LAM Kepri Atmadinata melanjutkan, masyarakat Rempang sudah ada turun menurun dan beranak pinak di pulau tersebut. Mereka bahkan sudah ada sebelum BP Batam lahir pada 1971. Ia mempertanyakan, kenapa pemerintah sampai saat ini tidak memberikan legalitas kampung masyarakat Rempang tersebut.

"HGU (Hak Guna Usaha) kan baru 2004 (diberikan kepada pengusaha), kenapa dulu pemerintah tidak memfasilitasi kampung halaman mereka (warga Rempang)," kata Atmadinata.

Ia juga meminta pemerintah melibatkan ahli sejarah dalam memecahkan masalah di Rempang tersebut. Sebab, menurut Atmadinata, warga Rempang bisa dianggap sebagai warga melayu pertama yang tinggal di Batam.

Penduduk Awal Pulau Rempang

Istilah kampung tua yang disebutkan sebelumnya bukan tanpa arti. Istilah tersebut disematkan untuk wilayah pemukiman yang telah ada sejak sebelum BP Batam terbentuk pada 1971.

Dilansir dari Republika, keberadaan penduduk awal di Pulau Rempang bisa ditelusuri dalam catatan arsip Belanda dan Kesultanan Riau Lingga. Setidaknya sejak Abad 19, sejumlah sumber Belanda dan arsip Kesultanan Riau Lingga menunjukkan daerah Rempang dan Galang sudah ramai penduduknya. Catatan Elisha Netscher dalam Beschrijving van Een Gedeelte Der Residentie Riouw (1854), ada 18 pabrik pengolahan gambir (bangsal) di Kepulauan Riau pada 1848.

Di antaranya ada di Galang, Sembulang, Duriangkang, dan Mukakuning. Pemilik bangsal gambir ini adalah orang Tionghoa. Tidak hanya gambir, perkebunan lada juga ada di wilayah Galang dan Rempang, serta Batam.

Pada 1861, Yang Dipertuan Muda (YDM) Riau X, Raja Muhammad Yusuf atas nama Sultan Riau Lingga dan disetujui Residen Belanda di Tanjungpinang mengeluarkan plakat, memberikan izin kepada tauke Tionghoa untuk membuka ladang gambir di Pulau Cembul, Pulau Bulang dan wilayah lain di Batam. Dalam plakat itu ditegaskan, pihak Kerajaan Riau Lingga akan menghukum seberat-beratnya siapa saja yang mengganggu usaha gambir orang Tionghoa itu.

Plakat ini menjadi dasar legalitas lahan untuk perkebunan. Ada dua kelompok masyarakat yang mendiami Rempang-Galang sejak abad ke-19 tersebut. Pertama, masyarakat Melayu dan Tionghoa. Masyarakat Tionghoa menjadi tauke gambir, lada, dan ikan. Sementara, masyarakat Melayu banyak bekerja sebagai nelayan, selain menjadi pekerja di perkebunan gambir dan lada. Kedua, masyarakat adat yang mendiami Pulau Rempang-Galang, yakni Orang Darat dan Orang Laut. Orang Darat mendiami daerah Kampung Sadap di Rempang Cate. Sementara, Orang Laut mendiami daerah pesisir Rempang-Galang dan pulau-pulau sekitarnya. (Arman, 2023).

Secara administrasi wilayah Rempang-Galang dulunya masuk dalam kekuasaan Belanda. Pasca-bubarnya Kesultanan Riau Lingga pada 1913, seluruh daerah Riau-Lingga termasuk Rempang-Galang diakui tunduk di bawah pemerintahan Hindia Belanda. Pasca-Indonesia merdeka, wilayah Rempang-Galang masuk dalam wilayah Kecamatan Bintan Selatan, Kabupaten Kepulauan Riau. Saat terbentuknya Kotamadya Batam pada 1983, wilayah Rempang-Galang bergabung dan berpisah dari Kabupaten Kepri.

***

Keberadaan penduduk asli di Pulau Repang ini juga pernah diulas oleh Republika pada 2014 silam. Ulasan tersebut juga ada di laman resmi Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Pada 4 Februari 1930, Controleur Onderafdeeling Tanjungpinang, P. Wink mengunjungi Orang Darat di Pulau Rempang. Catatannya tentang kunjungan dimuat dalam artikel berjudul Verslag van een bezoek aan de Orang Darat van Rempang, 4 Februari 1930 (Laporan Sebuah Kunjungan ke Orang Darat di Pulau Rempang pada 4 Februari 1930). Laporan ini ditulis di Tanjungpinang, 12 Februari 1930 dan dimuat dalam Tijdschrift voor Indische Taal, Land en Volkunde, Deel LXX Aflevering I,1930.

Menurut P Wink, pejabat Belanda di Tanjungpinang sudah lama mengetahui tentang keberadaan Orang Darat ini. Tapi, belum ada kontak langsung dengan mereka. Barulah P Wink, pejabat Belanda pertama yang turun langsung menemui Orang Darat ini.

P Wink mengatakan, orang Belanda bernama JG Schot dalam tulisannya Indische Gids pada 1882, juga menyebut di Pulau Rempang ada suku asli yang bernama Orang Darat atau Orang Utan. Menurut legenda, mereka berasal dari Lingga. Namun, tidak ada informasi yang jelas tentang asal usul ini. Orang Darat ini mirip suku asli Johor dan Melaka, yakni Orang Jakun.

Orang Darat di Pulau Rempang hidup di pondok-pondok tanpa dinding dan hanya beratap. Selain tinggal di Pulau Rempang, Orang Darat ada juga yang tinggal di Pulau Batam tapi kemudian seakan hilang karena membaur dengan Orang Melayu. Dalam kunjungannya ke Pulau Rempang kala itu, P Wink mendata jumlah Orang Darat yang ada di sana. Jumlahnya 8 delapan laki-laki, 12 orang wanita dan 16 orang anak-anak.

Orang Darat memiliki penampilan berkulit lebih gelap dari orang Melayu. Mereka tidak terbiasa hidup di laut, tidak memiliki sampan dan hidup dari bercocok tanam. Mereka hidup dari bercocok tanam, mencari hasil hutan.

Penggusuran adalah Cerminan Kebijakan

Kepala Departemen Kampanye Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Benni Wijaya mengatakan, penggusuran warga Rempang atas nama PSN merupakan cerminan bagaimana pemerintah dalam mengambil kebijakan pembangunan: Sepihak tanpa melibatkan partisipasi masyarakat. Selain itu, banyak sekali terjadi pola-pola yang sama untuk mengakomodir pembangunan dan investasi dengan menaikkan skalanya menjadi PSN.

Hal ini, lanjut Benni, bisa jadi dipantik oleh kebijakan pemerintah yang semakin mempermudah kebijakan-kebijakan pengadaan tanah bagi PSN utamanya sejak Undang-Undang (UU) Cipta Kerja (CK). Hasilnya, dapat dilihat dari berbagai letusan konflik yang terus menerus terjadi akibat pembangunan PSN.

"Ini juga merupakan imbas dari konflik-konflik agraria yang tidak pernah selesaikan. Seperti kita tahu, persoalan Rempang terjadi sudah sejak lama. Alih-alih menyelesaikan masalah tersebut, justru izin-izin baru semakin diperkuat dan diperluas," kata Benni, Senin (11/9/2023).

Benni berpendapat, penggusuran warga Rempang menjadi cerminan dalam konteks pemberian izin dan pembangunan, pemerintah tidak pernah melihat fakta di lapangan bahwa sejatinya sudah ada masyarakat yang menempati lokasi tersebut. Tapi tidak pernah dilihat sehat masyarakat yang mempunyai hak atas tanah tersebut.

Sejatinya, kata Benni, berbagai penerbitan izin, baik itu untuk kepentingan perkebunan, industri dan pembangunan infrastruktur harus dilakukan secara musyawarah dengan masyarakat yang akan terdampak, dan setelah disetujui oleh masyarakat barulah naik ke level opsi ganti kerugian dan pembebasan lahan.

"Dan masyarakat terdampak pun mempunyai hak untuk menerima dan menolak usulan tersebut. Melalui UU CK dan berbagai peraturan kemudahan PSN, kan semua itu dipangkas," katanya.


Lebih mengkhawatirkan, imbuh Benny, pemerintah dalam melihat kebijakan pertanahan mempunyai prinsip yang keliru, yang mana pemerintah menganggap tanah yang tidak dilekati hak meskipun sudah ada masyarakat di sana. Inilah bentuk-bentuk penyimpangan dari Hak Menguasai Negara (HMN).

"Ini merupakan pemikiran-pemikiran konsep hak atas tanah kolonial yang terkenal dengan Azas Domein Verklaring," ucap Benni.

https://betahita.id/news/detail/9221...l?v=1694476802
flybywireless
bukan.bomat
tritomchan
tritomchan dan 8 lainnya memberi reputasi
9
1.3K
106
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
670.1KThread40.3KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.