- Beranda
- Stories from the Heart
Kuntilanak Balung - KUNCEN
...
TS
makgendhis
Kuntilanak Balung - KUNCEN
Kuntilanak Balung - KUNCEN
Quote:
Dalam keheningan terdengar suara jangkrik beserta hewan malam lainnya saling bersahut-sahutan.
Sedari tadi bola mataku berputar kesana kemari mengamati Atok Anjang dan Pa'cik yang tampak sibuk bersiap menunaikan shalat taraweh pertama di surau.
Derap langkah kaki Atok yang lalu lalang menimbulkan suara decitan di lantai lapuk ruang tengah. Wajah tuanya terlihat gusar karena sedari tadi ia tak berhasil menemukan mukena kesayangannya.
Kediaman Tok Anjang merupakan rumah panggung khas Melayu yang terbuat dari kayu dan beratapkan nilah kelapa kering. Tempat tinggal beliau sangatlah bersih dan lapang..
Suara decitan itu kembali terdengar dan membuatku tidak nyaman. Berisik!
Ku katupkan gerahamku rapat-rapat berusaha meredam rasa ngilu yang mulai menjalar di indera pendengaranku.
"Duh! Kapan mereka segera berangkat ke mesjid? Kenapa lama sekali?"Gerutuku dalam hati seraya mengawasi jam yang berdetik kasar.
"In, malam ini kau tidak usah ikut shalat di surau. Kau diam saja di rumah menjaga ni budak.- budak. Aku takut kalau mereka diajak ke mesjid bukannya beribadah malah membuat kacau!" Tutur Atok tegas. (Budak = anak kecil)
"Iya Tok, malam ini Iin taraweh di rumah saja" jawab ibu.
"Ai dan Mus, kalian harus menurut apa kata Ma'cik. Tidak boleh membantah dan jangan degil!" Ujung mata Atok menatap tajam ke arah cucunya yang tengah bersenda gurau di ruang tv. (Degil = nakal)
Tak ada suara jawaban dari sepupuku. Mereka tetap asik bercanda.
"HEI !!! Kuping kalian tak dengarkah apa yang ku cakap??" Radangnya dengan wajah merah padam.
Mendengar suara menggelegar yang keluar dari mulut Atok, serentak mereka berdua menoleh dan memasang senyum lebar.
"Iya Tok, kami akan menurut apa kata Ma'cik. Kami janji tak akan rusuh" sahut Mus, cucu tertuanya..
Kini ekor mata Atok menatap ke arah pria berperawakan kurus tinggi yang tengah duduk melamun di kursi santai.
"Ayo Rus, lekas kita berangkat ke surau. Jangan sampai nanti kita tak kebagian tempat. Taraweh pertama biasanya penuh"
Pamanku yang bernama Rusli mengangkat tubuhnya dari kursi kayu. Dengan langkah gontai, ia mengekor langkah orangtua yang berjalan tergesa-gesa di hadapannya. Derap kaki mereka menuju ke pintu ruang utama.
Setelah berpamitan dan mengucap salam, terdengar suara pintu kayu ditutup rapat.
Hening.
Sekarang hanya tinggal kami berempat di rumah yang elok ini.
Mata ibu berkeliling menatap ke arah pasukan bocah degil yang sedari tadi tak bisa diam. Tanpa diberi aba-aba, aku segera bergabung dengan kedua sepupuku, membuat gaduh, berlarian kesana kemari.
Suara derit lantai kayu terdengar memenuhi seisi ruangan. Sempat terbersit rasa takut jika papan yang tengah kupijak roboh dan menghempaskan tubuh mungilku ke tanah.
Jika hal itu terjadi, bisa patah tulangku!
Namun rasa cemas itu hanyalah sesaat. Terkalahkan oleh gelak canda tawa mereka yang mengajakku bermain nenek Kabayan.
Kami segera berlarian dan berkejaran ke seluruh penjuru area rumah. Tawa riuh rendah membahana di seluruh penjuru.
Dalam diam, ujung ekor mata Ibu terus mengawasi tindak tanduk kami. Sesekali raut wajahnya tampak menunjukkan rasa tidak suka karena kegaduhan yang kami buat. Mungkin ia khawatir jika salah satu dari kami ada yang tejatuh dan celaka.
Tiba-tiba salah satu jari tangannya diletakkan di depan bibir. Ia memberi isyarat agar kami terdiam barang sejenak.
"Sttt!! Jangan buat gaduh! Coba sekejap saja kalian tak bising!" Ujarnya dengan wajah menegang.
"Memangnya kenapa Cik?" Tanya Ai polos.
Ibuku terdiam. Telinganya dirapatkan ke bilik jendela. Ia seperti tengah menguping sesuatu.
"Kalian tak dengarkah derap langkah orang berjalan?" Tanya beliau dengan mata memicing tajam.
Kami yang sedari tadi berdiri layaknya patung hanya terdiam dan saling berpandangan.
"Tak ada Bu. Dari tadi Ima nggak mendengar suara apa-apa kok' jawabku yang masih kebingungan melihat perubahan sikapnya.
"Iya Ma'Cik. Mus juga tak dengar suara apapun. Ai, kau ada dengar sesuatu tak?"
Secepat kilat Ai menggelengkan kepalanya.
"Coba dengarkan baik-baik. Suara itu semakin lama terdengar jelas. Sepertinya mengarah ke pintu belakang! Jangan-jangan ada orang yang berniat jahat!"
Baru saja ia mengatupkan bibirnya. Terdengar decitan engsel kayu dari arah dapur.
"Kriiieett " suara daun pintu terbuka perlahan.
Wajahku terkesiap.
"Si-siapa yang barusan membuka pintu? Bu-bukankah di rumah ini hanya ada kami berempat?" batinku.
Dengan nafas tak beraturan, aku mencuri pandang ke arah Ibu yang tampak berdiri mematung. Dalam penerangan lampu petromax, wajahnya yang putih terlihat pias!
Pundaknya tampak bergetar pelan. Sepertinya wanita yang sudah melahirkan aku juga merasakan apa yang tengah kurasakan!
Takut!
Ruangan yang tadinya hingar bingar mendadak sunyi senyap. Suara riang berganti dengan hembusan nafas tak beraturan.
"Deg !" Jantungku seperti mau loncat dari tempatnya ketika melihat sesosok bayangan hitam mendekat ke arah pintu yang menghubungkan dapur dengan ruangan tempat kami berada.
Ingin rasanya aku berlari memeluk Ibuku. Membenamkan wajahku dalam tubuhnya, namun kakiku seperti terpasung. Tubuhku menegang kaku, tak dapat bergerak sama sekali!
Bayangan hitam besar menjulang tinggi itu semakin berjalan mendekat Tampak terlihat jelas jari jemarinya yang panjang. Tangan itu seperti siap mencekik leherku sampai kehabisan nafas!
"Matilah aku!" Gumamku dengan kerongkongan tercekat.
Pandanganku buram. Nafasku memburu dan telapak kakiku terasa sedingin es.
Hawa kematian mulai menghantuiku!
Kini dari balik pintu muncullah seraut wajah!
Muka mahluk itu tampak menyeringai ke arah Ibu! Mulutnya menganga lebar seakan siap menerkam siapapun di hadapannya.
"Ka Iin, aku tadi lupa memberitahu jangan lupa kunci semua pintu!"
"Se-sebentar! Su-suara itu !!" Seketika nafasku kembali normal.
Ternyata yang datang adalah Pa'cik! Bukan monster jahat seperti yang ku bayangkan!
Ku lihat raut wajah Ibu berangsur normal. Wajahnya mulai bersemu kembali. Ia tersenyum lega dan mengangguk cepat.
Reaksinya sangatlah berbeda dengan aku yang langsung menyerocos meluapkan isi hati.
"Pa'cik kenapa masuknya mengendap-endap? Kenapa tak memberi salam?? Pa'cik ingin membuat kami mati berdirikah? Ima pikir yang tadi datang tu puake!!" Bentakku dengan mata melotot. (Puake = hantu)
Pa'cik terkekeh.
"Puake? Mana ada hantu di bulan puasa begini? Ada saja cakap kau" selorohnya dengan riak wajah tenang.
"Aku lupa nak memberi salam. Karena dari kejauhan aku hanya mendengar suara bising kalian! Aku tak nak ganggu!" Jawabnya tanpa merasa bersalah. (Tak nak = tidak mau)
"HUU !!' Cibir Ai.
"Terus kenapa Pa'cik pulangnya lewat belakang? Tadikan berangkatnya lewat pintu depan?" Sambarku lagi.
"Eh, tak bolehkah aku masuk rumah lewat dapur? Ada aturannya ke? Pa'cikmu ini tadi habis dari rumah tetangga makanya aku jalan memutar"
Mulutku mengerucut.
Rasanya bibirku yang tipis masih ingin menyemprot Pa'cik dengan sumpah serapah. Karena ia sudah hampir membuat aku terkena serangan jantung.
"Sudahlah. Aku berangkat lagi. In tolong kunci semua pintu. Ingat pesanku, jangan pernah kau bukakan pintu jika mendengar suara ketukan. Apalagi jika yang mengetuk itu tak mengucapkan salam"
"Iya Cik. Iin paham"
Seketika keningku mengerenyit mendengar pesannya yang terdengar aneh. Baru saja aku hendak membuka mulut ingin bertanya lebih jauh. Namun dengan tergesa -gesa Pa'cik segera membalik badan, kembali menuju pintu belakang. Langkah kaki Ibu mengikutinya dengan ringan. Tak lama kemudian terdengar suara pintu dikunci rapat.
Kini derap langkah wanita yang sudah melahirkan aku terdengar memasuki ruang tengah, tak lupa uga ia mengunci pintu utama. Sejurus kemudian ia kembali terduduk dekat jendela.
"Sudah sana lanjutkan lagi bermainnya" tuturnya lembut.
Kami bertepuk tangan. Gembira! Itu yang kembali kurasakan.
"Ima, ayok kita main perahu-perahuan" ajak Ai, sepupuku yang berhidung bangir.
"Perahu?" Kedua alisku bertaut.
"Disini mana ada perahu? Lagi pula sampan Atokkan di pantai, bukan di dalam rumah?" Jawabku lugu.
Serentak sepupuku tergelak.
"Eh Mus! Cemana ini ! Ima tak tahu cara main perahu! Ia kira kita hendak mengajak dia mengayuh sampan di laut"
Ai mengerling ke arahku 'Ima di Jakarta tak ada kah permainan perahu?"
Dengan bibir manyun, kepalaku menggeleng sekali.
Kini mata indahnya menatap ke abangnya.
"Mus, kau sajalah yang ajari Ima cara bermainnya"
Kak Mus mengancungkan jempolnya petanda setuju.
"Sini Ima, ku tunjukkan cara membuat perahu?"
Anak lelaki bertubuh ceking itu mulai mengambil posisi bersila di lantai. Sejurus kemudian tangan kanannya memegang telapak kaki kiri. Begitu pula sebaliknya.
Tak lama kemudian ia melakukan gerakan mengayuh. Tubuh kecilnya bergerak perlahan di atas papan beralaskan karpet plastik. Tindak tanduknya persis seperti orang tengah mendayung sampan di lautan lepas.
Aku berdecak kagum.
Dari jarak lima meter, Ibu terus mengawasi kelakuan kami sambil menyunggingkan seulas senyum tipis "Awas nanti bokongmu sakit" ujarnya pelan.
Kini kak Mus mengangkat tubuhnya dan berjalan menghampiriku "Kau sudah paham tak?"
Sambil memamerkan deretan gigiku yang reges, aku mengangguk sekali.
"Ya sudah kalau gitu mari kita berlomba. Ayo semuanya duduk sejajar. Begitu hitungan ketiga, kita harus mengayuh sampai ke depan tv. Yang duluan sampai, dialah pemenangnya!"
Kami segera mengambil posisi di lantai. Setelah mendengar aba-aba dari anak lelaki berkaos putih, kami segera berlomba. Berusaha secepat mungkin mendayung ke arah televisi.
Peluhku bercucuran.
Ternyata permainan ini tidak semudah yang ku bayangkan! Beberapa kali tubuhku terjungkal ke lantai. Namun bukannya merasa sakit, aku malah tertawa kegirangan.
Entah sudah berapa lama kami bermain perahu-perahuan hingga akhirnya...
"Petok ! Petok!" Terdengar suara induk ayam mengerami telurnya.
Anehnya suara ini sangatlah kencang. Tidak seperti bunyi unggas pada umumnya.
"Eh, suara ayam dimana nih?" Tanya Ibu.
"Tak tau Cik" jawab kak Mus.
"Aneh kenapa ada suara ayam bertelur di malam buta begini?" Sungutnya.
Ibu segera berdiri. Tanpa rasa takut ia mulai mengelilingi ruangan. Berusaha mencari tahu dari mana suara itu berasal.
Langkahnya terhenti di tengah ruangan. Kepalanya mendongak. Matanya menyipit, menatap ke atap rumah.
Dengan sigap tubuhnya yang mungil menarik sebuah kursi kayu dan menaiki bangku tersebut.
Dari kejauhan, netraku terus mengawasi gerak geriknya.
Sambil berdiri di atas kursi, ia mencoba mencuri dengar suara yang berasal dari atap rumah.
"Aneh! Malam begini kenapa ada suara ayam di atas rumah?"
Matanya yang kecil menatap ke arah kami.
"Kalian dengar tak suara induk ayam bertelur?"
Serempak kami semua mengangguk.
Bagaimana tidak, suara ayam berkotek itu terdengar jelas di telinga kami.
"Huss ! Huuss!" Suara ibu berusaha menghalau ayam tersebut.
Senyap.
Kedua mataku menatap ke arah pelepah nyiur yang mengering. "Kemana perginya ayam tersebut? Apakah ia sudah kembali ke kandangnya?"
PETOK! PETOK!
Kami dikejutkan suara binatang brrkaki dua yang cumakkan telinga.
Karena terkejut, ibu terjatuh dari tempatnya berdiri.
Terdengar suara tubuh terbanting di lantai dan erangan halus.
Aku segera berlari menghampiri Ibu. Berharap ia tak terluka sedikitpun.
"Sakit Bu?" Tanyaku khawatir.
Ia tersenyum. Jemarinya mengusap pucuk kepalaku "Tenang, Ibu nggak apa-apa"
Aku menarik nafas lega.
Dengan susah payah, ia mencoba bangkit. Matanya kembali menatap ke langit-langit rumah.
"Mus, Anjangmu ada pelihara ayam tak?"
"Tak lah. Mana ada Atok pelihara binatang. Setahuku di sekitar sini tak ada satu orangpun yang punya ayam"
"Terus ini unggas milik siapa yang masih keliaran di malam buta?"
"Mana aku tau Cik! Cobalah sana Ma'cik tengok keluar" sungut kak Mus yang merasa kesal karena mainnya terganggu.
"Ya lah biar Ma'cik tengok. Siapa tahu ada ayam tetangga yang nyasar kemari. Teruklah yang punya nanti" (Teruk = Kasihan)
"Bu, ja-jangan buka pintunya. Ingat pesan Pa'cik" ujarku dengan bibir bergetar.
"I-Ima takut" desisku.
Entah mengapa perasaanku tidak enak. Aku merasa jika hewan berkaki dua yang suaranya terdengar lantang ini bukanlah binatang biasa.
"Sudah tak apa-apa. Ima disini saja sama Ai dan Mus ya?"
Kaki jenjangnya mulai menapak diantara bilahan papan. Tubuhnya berjalan mendekati pintu ruang tamu. Jemarinya yang lentik terjulur membuka gerendel.
"Ceklek" suara kunci terbuka.
Kini tangannya siap membuka daun pintu.
Namun dengan cepat, Ibu segera mengunci pintu itu kembali.
Kakinya melangkah mundur. Matanya memicing tajam.
"Ja-jangan buka pintunya!! Atau aku dan anak-anak akan bernasib buruk!!" Bibirnya yang ranum bergumam lirih.
Diselimuti rasa was-was, aku menghampiri Ibu dan memeluk tubuhnya.
"Bu jangan buka pintunya. Tunggu Atok dan Pa'Cik pulang" rengekku.
"Iya Ima, apapun yang terjadi, Ibu tidak akan membuka pintunya"
Malam semakin larut dan suara ayam berkotek semakin terdengar kencang.
"Ma 'cik kenapa suara ayamnya makin berisik?" Tanya kak Mus.
"Entahlah Mus. Ma'cik juga heran"
"Ma'cik apakah suara yang kita dengar ini suara hewan betulan?" Tanyanya lagi.
Ibu terdiam. Bibirnya terkatup rapat . Wajahnya menyiratkan kebingungan.
Suara ayam berkotek membahana ke seluruh sudut ruangan.
Semakin lama suaranya terdengar aneh. Bukan hanya suara unggas berkotek melainkan bercampur dengan geraman binatang buas!
Ai dan kak Mus yang semula diam, kini berhamburan memeluk Ibu.
"Ma'cik, Ai TAKUT!" Pekiknya.
Kami berempat saling berpelukan. Berusaha menguatkan satu sama lainnya.
Tangisku dan kak Mus pecah. Membuat suasana yang semula hening menjadi riuh.
"GRRR ! GRRRR !!!" Terdengar suara geraman serta dengusan kasar bergantian.
"ALLAHU AKBAR! ALLAHU AKBAR!" Pekik Ibu.
"Semua, ayo kita pindah ke kamar!" Ucapnya gusar.
Sambil terus memeluk erat tubuhnya, kami berjalan beriringan. Layaknya semut mengerubuni sang ratu.
Sesampainya di kamar, Ibu segera mengunci pintu dan memeluk tubuh kami yang bersimbah keringat
"Tenang ya. Semuanya tolong diam. Kalau kalian panik, Ma'cik jadi bingung"
"BRAKKK!!" Atap kamar seperti dihentak-hentakkan oleh sepasang kaki raksaka.
"Ya Allah, suara apa lagi itu?'? Ujarnya terbata-bata
Suara auman beserta cakaran hewan berkuku tajam terdengar silih berganti. Membuat bulu kuduk siapapun yang mendengarnya berdiri tegak. Nampaknya mereka terus mengikuti kemanapun kami pergi.
"Ai, Mus dan Ima. Tolong pejamkan mata kalian rapat-rapat. Jangan ada yang membukanya sebelum Ma'cik suruh!" Pinta Ibu yang berusaha terlihat tenang.
Walau dalam keremangan, samar-samar, aku bisa melihat wajahnya terlihat pias dengan peluh memenuhi pelipisnya.
Tanpa diperintah dua kali, kami segera menuruti perintah Ibu. Dalam hati, aku berdoa agar Atok dan Pa'cik segera pulang ke rumah.
Cukup lama tubuh mungilku terdiam menggigil dan menahan tangis. Hingga akhirnya terdengar ketukan dari pintu ruang tamu .
Sekali..
Dua kali..
Namun Ibu tak juga beranjak. Sepertinya ia takut jika itu adalah kerjaan dari mahluk jadi-jadian yang sedari tadi meneror kami.
"Assalamu'alaikum. In buka pintunya!!" Terdengar teriakan kasar.
Perlahan aku membuka mata, menatap dalam netra ibu.
"Bu se-sepertinya i-itu suara Atok?"
"Sttt!! Jangan berisik! Bisa jadi itu suara mereka yang sedang meniru Atokmu!"
Wajahku menegang. Kenapa aku begitu bodoh? Mengapa tak terbersit sedikitpun olehku jika ini merupakan permainan mereka?
"IIIN!! KAU ADA Di RUMAH TAK?? LEKAS BUKA PINTUNYA!!" Terdengar pekikan lantang, di iringi suara Pa'cik yang berusaha meredam amarah Atok.
"Alhamdulillah itu beneran Atok dan Pa:cik" ujar ibu sumringah.
Kami segera berhamburan keluar kamar dan bergegas membuka pintu. Kini tampak jelas wajah Atok yang sangar. Bola matanya membeliak menatap kami.
"Apa pula yang kau lakukan? Lama kali kau bukakan aku pintu. Kau ingin tubuh rentaku jadi santapan nyamuk malam?" Deliknya tajam
Tanpa banyak bicara, ibu memeluk tubuh Atok dan menangis tersedu. Sedangkan Ai dan ka Mus langsung berhamburan ke arah Pa'cik. Pria yang mengenakan koko putih ini tampak kebingungan. Ia berusaha menenangkan semua orang dan meminta ibu untuk bercerita.
Dengan nafas tersengal-sengal, ibu menceritakan rentetan peristiwa yang baru saja kami alami.
Raut wajah Atok dan Pa'cik terlihat kaku, menegang. Mereka saling mencuri pandang.
"Sudahlah tak ada apa-apa. Mungkin kau salah dengar" Atok berusaha menenangkan ibu.
Aku paham betul kalau mereka tengah berdusta! Entah apa yang sebenarnya mereka sembunyikan.
"Sudah sana kalian tidur. Besok pagi kita harus puasa " Sahut Pacik berusaha mengalihkan pembicaraan.
Ibu terdiam lunglai. Ia menuruti perintah mereka dan mengajak aku kembali ke bilik peristirahatan. Di atas sehelai kasur, aku merebahkan tubuhku di sampingnya. Nafasku terdengar teratur . Dan perlahan aku terbawa ke alam mimpi..
Berulang kali aku mengerjapkan mata. Netraku terasa silau. Perlahan aku membuka indera penglihatanku. Tampak secercah cahaya merayap masuk dari balik jendela kamar.
"Ternyata sudah pagi"
Aku melihat ke samping. Ibu hilang!! Bergegas aku mengangkat tubuh dan berkeliling ruangan mencarinya.
Sayup-sayup dari arah teras terdengar suara orang tengah bercakap-cakap. Aku berjalan berjinjit dan mengintip dari bilik jendela. Ternyata itu suara ibu dan Pa'cik, mereka tengah bercakap - cakap.
"Untung saja tadi malam kau tak keluar rumah. Kalau tak, kau dan anak-anak bisa mati" desis Pa'cik.
"Memangnya yang semalam ku dengar itu suara apa ?"
Terdengar Pa 'cik menghembuskan nafas berat.
"Itu kuntilanak balung! Pemangsa darah manusia!!"
"Aah yang benar?? Masa ada kuntilanak seperti vampire?" Sanggah ibu
"In, kalau kau tak percaya, aku beserta bapak-bapak dan tetua kampung sini pernah melihat sosoknya!"
Pria berkaos hitam itu tampak termenung berusaha mengais ingatannya.
"Jadi waktu itu di kampung ini ada kejadian orang meninggal mendadak. Anehnya ketika ditemukan, mayat mereka seperti kehabisan darah. Akhirnya pak Kyai mengajak warga untuk mengadakan ronda malam"
Ia menarik nafas berusaha mengisi paru-parunya dangan udara pagi.
"Tak disangka malam itu teedengar teriakan dari rumah yang berada di ujung jalan. Kami yang sedang berjaga segera menuju ke arah datangnya suara. Salah seorang pemuda yang merasakan kejanggalan, mengarahkan senternya ke atap rumah tersebut. Ya Rabb! Saat itu aku hampir tak mempercayai penglihatanku!!"
"A-apa yang tengah kau tengok?" Cecar ibu penasaran.
"Dengan jelas mataku melihat sesosok wajah wanita bertubuh ayam dengan jengger merah menghiasi mukanya. Mulut perempuan itu tampak berlimuran darah. Salah seorang dari kami berusaha naik ke atap, mengejar mahluk itu namun dengan cepat, sosok itu melompat dan menghilang di balik kegelapan malam!"
Pa'cik mengusap wajahnya yang tegang sambil berusaha mengatur nafasnya agar kembali normal.
Sedangkan ibu tampak mengucap istighfar berulang kali.
"Ya Allah , sebenarnya mahluk apakah itu?"
Pria berambut ikal itu menggindikkan bahunya.
"Entahlah. Ada yang bilang jika itu jelmaan manusia yang tengah menuntut ilmu hitam. Namun untuk tepatnya, aku sendiri tak tahu pasti. Aku cuma bersyukur semalam kau mengurungkan niatmu untuk keluar rumah!!" Matanya yang teduh memandang sayu ke arah ibu.
Tak kusangka ternyata semalam maut tengah mengintai keluargaku! Entah apa jadinya jika ibu nekat membuka pintu dan keluar rumah. Bisa jadi nyawa kami dalam bahaya.
Jantungku berdegub kencang. Tubuhku terpatri di dinding. Dalam hati aku mengucap puji dan syukur karena masih bisa bernafas. Sesaat aku menghembuskan nafas dan tenggelam dalam lamunan.
TAMAT
regmekujo dan 138 lainnya memberi reputasi
137
5K
Kutip
482
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.2KThread•46.7KAnggota
Urutkan
Terlama
Komentar yang asik ya