Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

indrag057Avatar border
TS
indrag057
SAMBUTAN DARI MEREKA : Wajah Keriput Dibalik Jendela - KUNCEN

Sering aku mendengar atau membaca kisah tentang orang orang yang datang ke suatu tempat yang baru pertama kali mereka kunjungi, lalu karena satu dan lain hal mendapat 'sambutan' dari mereka mereka yang tak kasat mata. Entah sambutan hangat, atau justru sambutan yang kurang menyenangkan.

Kisah yang mungkin sulit untuk diterima nalar, meski bisa saja benar benar terjadi dan dialami, terutama oleh orang orang dengan indera yang lebih peka daripada orang kebanyakan. Aku sendiri, antara percaya dan tak percaya saat mendengar atau membaca kisah kisah seperti itu, karena selain belum pernah mengalaminya sendiri, kisah kisah yang pernah kudengar atau kubaca itu terasa sulit untuk kuterima dengan akal sehatku.

Tapi itu dulu. Sekarang, aku mulai cenderung untuk mempercayai hal hal yang seperti itu, karena beberapa waktu yang lalu, aku benar benar mengalaminya sendiri. Dan itu mematahkan pendapatku, bahwa hal hal seperti itu hanya bisa dialami oleh orang orang dengan indera yang lebih peka. Orang dengan indera yang tumpul sepertiku pun ternyata bisa juga mengalaminya.

Semua berawal saat beberapa bulan yang lalu, aku dan istri serta anakku datang berkunjung ke tempat mertuaku di pulau seberang. Ini kunjungan pertamaku ke rumah beliau, setelah sekian tahun menyandang status sebagai menantunya. Mungkin terdengar aneh, tapi begitulah kenyataannya. Hubungan antara istriku (dan juga saudara saudaranya) dengan sang ayah memang kurang begitu harmonis. Bahkan saat aku menikah dengan istriku dulu pun bukan di tempat sang ayah, melainkan di kota lain yang menjadi tempat tinggal istriku. Soal apa dan kenapa, rasanya tak perlu kuceritakan secara mendetail disini. Intinya, pernah ada semacam kesalahpahaman yang terjadi diantara mereka, hingga membuat hubungan mereka menjadi kurang baik, bahkan hingga sampai sekarang.

Aku yang hanya berstatus sebagai menantu, jelas tak mau ikut campur terlalu banyak dalam urusan tersebut. Yang bisa kulakukan hanyalah mencoba tetap menjaga hubungan yang baik, baik itu dengan adik adik iparku, juga kepada ayah mertuaku. Karena itulah, saat libur lebaran kemarin, aku sengaja mengajak istriku untuk mengunjungi ayahnya, setelah selama ini setiap lebaran kami hanya menghabiskan waktu untuk mengunjungi saudara saudaranya di Samarinda.

Awalnya istriku menolak, karena masih enggan untuk bertemu sang ayah. Namun setelah kubujuk dan kurayu sedemikian rupa, akhirnya istrikupun bersedia. Dengan syarat, sebelum menemui ayahnya, kami harus singgah dulu ke rumah saudara saudaranya di Samarinda. Syarat yang cukup merepotkan, karena itu berarti aku harus menambah budget anggaran. Tapi tak apalah. Itung itung kami liburan setelah sekian lama disibukkan oleh segala rutinitas pekerjaan di ibu kota.

Singkat cerita, di hari yang telah ditentukan, berangkatlah kami dengan menumpang pesawat kelas ekonomi berlambang kepala singa. Sempat transit beberapa hari di Samarinda untuk berkunjung dan bersilaturahmi dengan sanak saudara, kami lalu melanjutkan perjalanan ke kampung mertuaku di Jeneponto. Perjalanan yang cukup melelahkan, namun terbayar dengan sambutan hangat tidak hanya oleh ayah mertuaku, tapi juga ibu tiri dan saudara saudara tiri istriku.

Sedikit info, kampung mertuaku ini terletak di daerah pesisir. Jarak dengan bibir pantai tak begitu jauh, tapi juga tak terlalu dekat. Layaknya sebuah perkampungan, rumah rumah di kampung ini agak jarang. Jarak antara rumah yang satu dengan yang lain sedikit berjauhan, diselingi oleh kebun kebun dan pekarangan yang kebanyakan ditanami dengan pohon buah buahan.

Rumah mertuaku sendiri berada di ujung kampung. Tak terlalu besar. Berbentuk memanjang kebelakang dengan satu ruang tamu di bagian depan, dua kamar tidur yang saling berhadapan, serta satu ruangan dapur di bagian belakang. Ada kebun buah buahan di samping kiri, kanan dan belakang rumah. Sementara di bagian depan membentang halaman tanah yang lumayan luas. Beberapa pot tanaman hias disusun rapi di halaman itu, membuat suasana terasa begitu sejuk dan asri. Sebuah hunian yang nyaris sempurna menurutku, andai saja rumah itu tak bersebelahan dengan area pemakaman umum.

Ya! Tepat di samping kiri rumah mertuaku adalah sebuah pemakaman umum. Hanya dibatasi oleh sepetak kebun dan pagar tembok setinggi kurang lebih satu setengah meter. Hal yang sebenarnya biasa biasa saja menurutku, karena bagiku yang telah lama tinggal di kota, tinggal bersebelahan dengan sebuah pemakaman bukanlah sesuatu yang aneh. Bahkan, di kota tempat tinggalku, orang menguburkan anggota keluarganya yang meninggal di pekarangan rumah atau di kebun sudah menjadi hal yang biasa. Tapi itu tidak berlaku bagi Indri istriku. Baginya pemakaman tetaplah pemakaman. Tempat dikuburnya orang mati yang menurutnya adalah sebuah tempat yang menyeramkan.

Sialnya, kami justru mendapatkan kamar yang berbatasan langsung dengan area pemakaman tersebut. Tentu saja Indri protes seprotes protesnya. Namun kami tak punya pilihan, karena di rumah itu hanya ada dua kamar tidur, dan salah satunya sudah ditempati oleh mertuaku. Tak mungkin juga kami minta bertukar kamar dengan mereka. Akhirnya, mau tak mau kami harus menempati kamar itu.

Singkat cerita, setelah seharian menghabiskan waktu bercengkerama dengan keluarga besar mertuaku, tibalah waktunya bagi kami untuk beristirahat, karena hari memang sudah beranjak malam. Akupun segera pamit kepada mertuaku untuk masuk ke dalam kamar.

"Gun, nanti kalau dengar suara suara berisik di luar rumah, jangan kaget ya. Dan nggak usah dihiraukan. Kadang memang suka ada anak anak kampung yang iseng ngambil buah di kebun samping kamarmu itu," begitu mertuaku sempat mengingatkan sebelum aku masuk ke dalam kamar.

Aku hanya menganggap lalu peringatan dari bapak mertuaku itu, karena apa yang beliau ucapkan itu kuanggap sebagai sesuatu yang wajar. Mengambil buah secara diam diam di kebun orang di waktu malam, dulu juga sering kulakukan saat aku masih kanak kanak.

Akupun segera masuk ke dalam kamar, dan merebahkan tubuhku di samping istriku yang sudah terlebih dahulu terlelap. Rasa lelah setelah menempuh perjalanan jauh, membuat rasa kantuk lebih cepat datang menyerang. Tak butuh waktu lama, kedua matakupun mulai terpejam. Namun, baru sesaat aku terlelap, tiba tiba aku dikejutkan oleh suara aneh yang membuatku kembali terbangun.

"Dhuoonnggg ...!!! Dhuoonnggg ...!!!" Kira kira seperti itu suara yang kudengar. Mirip seperti suara kentongan kayu yang dipukul bertalu talu, namun suaranya terdengar lebih rendah dan menggaung.

"Ah, mungkin suara kentongan dari petugas ronda atau penjaga malam," pikirku sambil kembali berusaha memejamkan mataku. Namun baru saja aku memejamkan kedua mataku, lagi lagi aku dikejutkan oleh suara berisik dari arah luar kamar, tepatnya dari arah kebun yang berada di samping kamarku. Kebun, yang juga menjadi pembatas antara rumah ini dengan area pemakaman umum.

"Hihihihihi ...!!!" Begitu suara yang kudengar. Seperti suara tawa anak kecil, yang diselingi oleh suara bergedebugan seperti suara orang yang tengah berlari lari kian kemari.

Sempat kulirik jam dinding yang menggantung di tembok kamar. Sudah hampir tengah malam. Sedikit keterlaluan rasanya, kalau anak anak masih dibiarkan berkeliaran di kebun orang di jam jam segini. Namun ingat dengan pesan mertuaku tadi, aku mencoba untuk tak mengacuhkan suara suara itu, meski aku merasa sangat terganggu karenanya.

Akupun kembali berusaha untuk tidur. Namun suara suara itu terdengar semakin intens. Tak hanya suara tawa dan langkah kaki, namun kini juga disertai dengan suara ketukan di daun jendela kamarku. Rasa kesal seketika membuncah dalam benakku.

Kalau sekedar berisik dengan tertawa tawa dan berlarian mungkin masih bisa kumaklumi. Tapi kalau sampai mengetuk ngetuk jendela, jelas itu sudah sangat keterlaluan. Akupun segera turun dari atas ranjang, lalu melangkah berjingkat ke arah jendela dan menyibakkan kain hordeng dengan gerakan yang sangat tiba tiba, bermaksud untuk mengejutkan anak anak badung itu.

Namun apa yang terjadi? Bukan mereka yang terkejut dengan kemunculanku yang tiba tiba, melainkan justru aku yang dibuat terkejut, saat melihat seraut wajah seram yang terpampang tepat di hadapan wajahku. Wajah pucat dengan kulit penuh keriput, nampak menyeringai lebar di sebalik kaca jendela tepat di hadapanku. Bias sinar lampu kamar yang hanya remang remang, membuat sosok wajah itu terlihat semakin menyeramkan. Ditambah dengan kedua matanya yang berwarna hitam pekat seolah tak memiliki bola mata, membuatku hanya bisa diam terpaku dengan tubuh gemetar ketakutan, tanpa sedikitpun mampu untuk bergerak atau bersuara.

Sosok itu terus menyeringai, sambil menelengkan kepalanya kekiri dan kekanan, seolah sengaja meledekku yang tengah dilanda ketakutan. Sialnya, otakku seolah menjadi blank tiba tiba, tak mampu memberi perintah kepada anggota tubuhku untuk bergerak. Aku hanya mampu diam terpaku. Sebelah tanganku bahkan masih memegang erat tirai jendela, sementara kedua mataku seperti dipaksa untuk bersitatap dengan kedua mata hitam milik sosok itu.

Cukup lama aku 'dipaksa' dalam situasi yang seperti itu, sampai keringat dingin membanjir membasahi sekujur tubuhku. Sampai akhirnya, sosok itu akhirnya bergerak mundur. Entah berjalan atau melayang aku tak begitu memperhatikan. Yang jelas makhluk itu bergerak dengan sangat perlahan. Dan seiring dengan gerakannya itu, sosoknyapun perlahan mulai terlihat mengabur, untuk kemudian memudar menjadi seperti asap atau kabut, lalu lenyap tersapu angin yang bertiup.

"Huaahhhh ...!!!" Seiring dengan lenyapnya sosok itu, tubuhkupun tiba tiba bisa kugerakkan kembali seperti biasa. Tanpa pikir panjang aku segera menarik tirai jendela hingga menutup, lalu melompat dan membanting tubuhku diatas tempat tidur, membuat istriku yang telah terlelap terbangun karenanya.

"Ada apa sih Mas? Berisik banget malam malam?!" Indri menggerutu.

"Setan!" Aku menjawab asal sambil menarik selimut dan kugunakan untuk menutupi sekujur tubuhku dari ujung kaki hingga ujung kepala.

"Heh!" Indri menggeplak punggungku keras. "Ditanya baik baik kok malah ngatain setan!"

"Jangan berisik! Ada setan diluar! Mau kamu didatangi setan karena mulutmu terlalu berisik?!" Sungutku.

"Bungulnya pang!Sudah tau aku penakut! Malah ditakut takuti!" Indri yang memang penakut segera merungut, lalu ikut bergelung didalam selimut. Tubuhnya yang gemetar bisa kurasakan dari tangannya yang erat memeluk pinggangku.

****

Keesokan harinya, saat sarapan, aku menceritakan semua kejadian yang kualamai semalam kepada mertuaku. Namun bukannya mendapat simpati, aku justru ditertawakan.

"Kan sudah kubilang, kalau ada suara suara berisik abaikan saja. Lha kok kamu malah buka jendela," kata mertuaku sambil terkekeh.

Selesai sarapan, ayah mertuaku mengajakku untuk melayat, karena ada salah satu warga yang meninggal. Saat berjalan melintasi area pemakaman umum, aku melihat ada pohon yang sangat besar tumbuh di tengah tengah pemakaman itu. Entah pohon apa, aku baru pertama kali melihat pohon yang sejenis itu. Karena penasaran, akupun bertanya pada mertuaku.

"Itu pohon apa ya Pak? Kok bisa sampai sebesar itu?" Tanyaku sambil menunjuk ke arah pohon itu.

"Hush! Jangan ditunjuk tunjuk begitu!" Alih alih menjawab, mertuaku justru menepis tanganku yang sedang menunjuk ke arah pohon itu.

"Eh, memangnya kenapa Pak?" Tanyaku heran.

"Itu pohon keramat! Pantang untuk ditunjuk tunjuk begitu. Nanti jarimu bisa keriting," jawab mertuaku.

"Ish! Amit amit jabang bayik!" Aku yang mendengar ucapan mertuaku bergidig sambil mengusap usapkan jariku ke celana jeans yang kukenakan.

"Memangnya itu pohon apa Pak? Kok sampai dikeramatkan begitu?" Tanyaku lagi.

Mertuaku lalu menjelaskan bahwa pohon itu sudah berusia ratusan tahun. Namanya pohon apa gitu, aku lupa. Yang jelas pohon itu dinamakan demikian karena memilik rongga besar pada pangkalnya. Dan pohon itu dianggap keramat karena di waktu waktu tertentu, disaat ada warga kampung situ ada yang mau meninggal, beberapa malam sebelumnya pohon itu akan memberi tanda dengan memperdengarkan suara seperti suara kentongan raksasa yang ditabuh.

Aku sempat tercenung mendengar penjelasan mertuaku barusan, karena teringat dengan suara suara aneh yang kudengar semalam. Mungkinkah suara yang kudengar itu adalah tanda akan adanya orang yang meninggal di kampung ini, seperti yang dikatakan oleh mertuaku barusan? Entahlah! Aku tak bisa memastikannya.

Sampai di tempat orang yang meninggal, seperti biasa aku segera memanjatkan doa untuk almarhum, sambil mengintip wajah si jenazah yang telah dibaringkan di tengah tengah ruangan. Dan betapa terkejutnya aku, saat melihat wajah si mayat. Wajah penuh keriput yang tampak memucat itu seperti....

Ah! Kalian pasti bisa menebak wajah pucat penuh keriput itu milik siapa.

--==***==--

Diubah oleh indrag057 06-09-2023 03:03
JabLai cOY
ashrose
littlesmith
littlesmith dan 30 lainnya memberi reputasi
31
2.1K
115
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.4KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.