Sanding kala, atau waktu-waktu sore menjelang Magrib di desa Kaso cikal tepatnya di bawah lereng bukit si Crangah. Tempat di mana bisa membuat bulu kuduk merinding. Belum lama ini terjadi sebuah keanehan yang dialami oleh penjual mie ayam motoran. Bukan mie ayam gerobak, melainkan mie ayam motoran, kalau di daerah perkotaan mungkin namanya mie ayam gerobak karena menjajakan mie keliling dengan gerobak, lain halnya di Desa Kaso cikal, penjual bakso, mie ayam menggunakan sepeda motor. Karena akses jalan yang naik turun, jadi bakalan kesulitan untuk mendorong gerobak, yang biasanya saya temui selalu warnanya biru, entah ada cerita mistis apa di balik warna itu.

Kalau orang bilang saat-saat Maghrib sebaiknya berada di Masjid, Mushala atau pun di dalam rumah, karena pergantian dari siang ke malam maka tepat datangnya makhluk tak kasat mata.

Lain halnya seorang penjual mie ayam, sebut saja namanya Karman, yang biasa menjual mie ayam dan sampai di Desa Kaso Cikal pada waktu Magrib, biasaya anak-anak akan membeli mie ayam selepas shalat Magrib. Karena berkeliling dan sampai di Desa itu pada waktu pergantian dari siang ke malam.

Tidak ada sesuatu yang aneh dari mulai berangkat, jualan mie ayamnya lancar-lancar saja, hingga sepeda motor itu meja iki tanjakan kemudian menurun, ada sebuah batu besar di pinggir jalan, lumayan jauh dari keramaian dan rumah penduduk. Tiba-tiba di situ tampak ramai orang-orang, yang sudah menunggu untuk membeli mie ayam tersebut.

Karman menghentikan motornya, tepat di samping orang-orang tersebut. Mencari posisi yang nyaman untuk memakirkan motornya.

"Wah banyak pembeli nih," gumam Karman menampilkan selarik senyuman. Dia berpikir kalau bisa pulang lebih awal karena banyak pembeli.

"Mie ayamnya, Pak Lik."

"Berapa mangkuk?" tanya Karman tanpa melihat orang-orang yang berperawakan tinggi itu, Karman hanya sekilas menatap kemudian fokus dengan mie ayam jualannya.

"Lima puluh mangkuk," jawab orang tersebut.

Karman pikir pasti ada acara dadakan, mengapa orang-orang itu membeli mie ayam dalam jumlah banyak, untung saja Karman membawa cup sterofoom cukup banyak hari itu, entahlah biasanya Karman membawa mangkuk sterofom itu secukupnya. Tapi tadi sebelum berangkat laki-laki dengan kumis tipis itu tiba-tiba ingin membawa cup mangkuk itu lebih banyak dari biasanya.

"Lima puluh mangkuk. Baiklah ditunggu ya, saya siapkan segera ," ucap Karman yang tangannya langsung menyambar cup mangkuk sterofom tersebut.
Tangan Karman dengan gesit memasukan mie dan sayur cesyien ke dalam dandang yang sudah berisi air yang mendidih, menunggu sesaat agar mie tersebut matang, Karman kembali menyiapkan minyak sayur, bumbu-bumbu ke dalam mangkuk, setelah dirasa mie itu matang.

Karman meniriskan mie dan memasukan ke dalam mangkuk, kemudian mengaduk dengan bumbu supaya rata, terakhir karman memasukan daging ayam cincang dan kuah panas, tidak lupa Karman menambahkan caos dan sambal cabe setan. Karman sempat heran ketika orang-orang itu mengambil cabe setan tidak kira-kira, padahal sambal itu rasanya pedas sekali.

Setelah orang-orang itu menghabiskan mienya dan membayar mie ayam yang dibelinya, Karman melanjutkan perjalanan, tidak lupa Karman mampir di Masjid untuk melaksanakan shalat Maghrib, selesai Shalat Magrib Karman melanjutkan perjalanan dan berhenti di tempat biasa dia mangkal, dia baru tersadar dengan keanehan pembeli mie ayam tadi, dengan perawakan yang tinggi-tingggi, menghabiskan mie ayam dalam sekejap, mengambil sambal cabe setan tidak kira-kira tapi tidak ada yang mengeluh kepedasan.

Betapa kagetnya Karman ketika membuka tas selempangnya bukanya berisi uang melainkan berisi daun, Karman berkali-kali beristigfar, dengan bergidig ngeri, pasti orang-orang yang membeli mie ayamnya tadi adalah jelmaan genderuwo, wewe gombel, hantu atau apalah Karman tidak tahu, yang jelas Karman menemukan keanehan lagi, sisa-sisa mie ayamnya tiba-tiba berbau amis.