agilrsapoetraAvatar border
TS
agilrsapoetra
BEDHONG MAYIT (PART 1)


Pengantar.

‘Bedhong Mayit’, di beberapa daerah khususnya Jawa Tengah, secara umum ‘Bedhong Mayit’, adalah istilah untuk menyebut lapisan kain kafan paling pertama, yang diperuntukkan sebagai pembungkus tubuh jenazah sebelum di Pocong atau dikafani seluruhnya.

Tapi di dalam ilmu jawa kuno yang tentunya tidak elok dan sangat terlarang, ‘Bedhong Mayit’ ini juga diyakini mempunyai tuah hampir mirip seperti ‘Tali Pocong’ bahkan tingkatannya terbilang sangat jauh di atasnya, namun karena mungkin cara mendapatkannya juga sangat tidaklah mudah dan resikonya yang tak main-main, semua ilmu yang berkesinambungan dengan ‘Bedhong Mayit’ ini pun, seiring berjalannya waktu, perlahan-lahan mulai dilupakan dan sudah sangat jarang sekali orang yang mau menekuninya.

‘Namun’, ternyata ada satu manusia, dan mungkin saja ia adalah satu-satunya orang di tanah jawa ini, yang masih menyimpan dan merawat ilmu terlarang bernama ‘Bedhong Mayit’ itu.



“BEDHONG MAYIT”. Part 1. (Pembuka)

Di suatu sore di Desa Turi, Jawa tengah kisaran tahun 1974-1975.

Seorang pemuda tampak berlari tergopoh-gopoh, sembari mengabarkan sesuatu kepada setiap orang-orang yang ia temui di sepanjang jalan.

Pemuda itu adalah Darwis, cucu dari salah satu sesepuh desa, yang saat itu tengah mengabarkan kepada orang-orang bahwa kakeknya sudah meninggal.

“Tulung... Tulung!! Mbah Kakung ‘Seda’ (meninggal)”. Ucapnya dengan mimik kata yang menahan tangis.

Jelasnya yang Darwis wartakan saat itu adalah ‘Mbah Gajul’, kakeknya sekaligus sesepuh dan Ahli ‘Suwuk’ (Penyembuh) yang cukup dituakan di desa Turi ini.
Tapi Beda dengan Darwis sang cucu, para warga justru tampak tak terlalu terkejut dengan warta kematian itu, karena memang kurang lebih sudah 3 tahun terakhir ini, Mbah Gajul sakit dan tidak bisa apa-apa.

Kentungan penanda adanya lelayu segera di bunyikan, di lanjut dengan warga yang bergerak kondusif, menuju rumah Mbah Gajul, untuk mempersiapkan semua hal-hal yang harus dilakukan, maklum saja, mendiang memang hanya tinggal berdua dengan cucunya dan selama ini di rawat oleh sang cucu Darwis, sementara anak satu-satunya (Ayah Darwis) sudah mapan di luar kota.

Singkat cerita, jenazah Mbah Gajul pun sudah dimandikan serta dikafani, dan kini telah berada terbujur beralas tikar. Terlihat Darwis yang sudah bersimpuh di depan tubuh kakeknya itu, bersamaan dengan para pelayat yang silih berganti melihat tubuh Mbah Gajul sebelum di bawa ke makam.

“Nang, apakah Bapakmu sudah diberitahu?”. Tanya Mbah Jayus salah satu sesepuh juga di desa Turi ini.

“’Sampun’ (Sudah) Mbah, tadi Pak Carik yang pergi ke kantor pos, untuk mengirim telegram ke Bapak”. Tanggap Darwis seraya mengusap air matanya.

“Sing sabar ya le.., menurut Gusti, ini sudah yang terbaik, lagi pula, Kasihan simbahmu ini kalau sakit-sakitan terus”. Kata Mbah Jayus kepada Darwis saat itu.

“Njih Mbah, kalau saya sih sangat ikhlas, karena saya sebenarnya juga ndak tega melihat Mbah Kakung sakit-sakitan”. Tanggap Darwis yang setelah itu tiba-tiba teringat tengang wasiat kakeknya sebelum meninggal, yang hingga detik ini sama sekali tak ia pahami.

“O nggih Mbah, saya jadi ingat, sejak Mbah Kakung mulai sakit, kurang lebih sudah tiga kali beliau ini mengatakan kepada saya, perihal ‘Kain Rombeng’ yang suatu saat harus dan wajib di kuburkan bersamanya kalau Mbah Kakung ini wafat”. Ungkap Darwis yang langsung membuat dahi Mbah Jayus mengrenyit.

“Hah.. ‘Kain Rombeng’?”. Kata Mbah Jayus yang tampak berpikir sejenak dan tak lama kemudian langsung menemukan jawabannya.

“Owalah ‘Kelingan aku’ (Saya ingat), saya kira selama ini benda itu sudah dilarung, Yawes ayo kita cari, apakah Mbahmu juga mengatakan dimana dia menyimpan barang itu?”. Kata Mbah Jayus yang awalnya membuat Darwis semakin bingung.

“Apa sih itu Mbah?”. Tanya Darwis yang tak lama kemudian dijawab oleh Mbah Jayus sembari mengajaknya bangkit untuk mencari barang itu dimulai dari kamar Mbah Gajul.

“Wes.. Ayo ‘Menyat’ (Berdiri), kita cari dulu barang itu”. Kata Mbah Jayus yang mengajak Darwis agar segera mencari ‘Kain Rombeng’ itu.

Hingga sesampainya di dalam kamar, barulah Mbah Jayus mengatakan bahwa ‘Kain Rombeng’ yang menjadi wasiat dari Mbah Gajul itu, adalah kain ‘Bedhong Mayit’.

“Itu Bedhong Mayit nang, warisan turun-temurun dari simbah buyutmu”. Jelas Mbah Jayus di dalam kamar mendiang Mbah Gajul, yang seketika membuat tengkuk Darwis sedikit bergidik.

“Waduh apa itu Mbah?”. Tanya Darwis setelah itu.

“Wes..wes saya jelaskan nanti saja, sekarang yang paling penting, kita harus segera menemukan itu”. Tanggao Mbah Jayus, yang setelah itu langsung memulai pencarian di setiap bagian.

“Payah itu, kalau sampai ndak ketemu, soalnya itu adalah wasiat terakhir, ‘Ora ilok’ (pamali) kalau kita tidak menurutinya, pasti ada maksud tertentu sampai-sampai simbahmu mewasiatkannya”. Ucap Mbah Jayus sembari terus mencari benda itu bersama Darwis.

Sepertinya mereka telah mencari di semua sudut dan setiap jengkalnya kamar Mbah Gajul itu, dari kolong ranjang, bawah bantal, sampai di sela lipatan baju-baju yang berada di lemari, tapi mereka tak juga menemukan benda yang dimaksud. Hingga akhirnya mereka pun keluar sembari berpikir untuk mencarinya di tempat lain.
Wajah Mbah Jayus terlihat memerah, ada rasa takut yang coba untuk ia tutup-tutupi kala itu, entah apa alasannya, yang jelas Mbah Jayus kembali berkali-kali mengulang perkataannya bahwa ‘Kain Rombeng’ yang menurutnya adalah ‘Bedhong Mayit’ itu, harus segera mereka temukan.

“Tenang Mbah, habis ini kita cari di ruangan lain”. Kata Paimin yang mulai merasa aneh dengan gelagat Mbah Jayus.

Mungkin bagi Darwis yang masih muda, wasiat kakeknya itu bukanlah hal yang terlalu penting, “Lagi pula itu kan hanya kain rombeng, apa pentingnya sih? Kecuali kalau wasiat harta atau warisan, baru itu harus disampaikan”. Batin Darwis saat itu.

Hingga sore pun berganti malam, liang lahat memang sudah siap beberapa jam lalu, tapi hingga malam ini, jenazah Mbah Gajul belum dikebumikan, itu semua atas saran dari orang-orang yang memilih untuk menunggu Pak Dirja anak Mbah Gajul sekaligus ayah Darwis itu, menerima telegram dari Pak Carik tentang warta meninggalnya Mbah Gajul ini, karena rasa-rasanya, akan lebih elok jika anaknya satu-satunya itu menyaksikan sendiri jenazah ayahnya masuk ke dalam pusara.
Tampak warga yang berkumpul di bawah tenda sederhana, yang berdiri di depan Rumah Mbah Gajul, terlihat juga di sana, Darwis yang tengah mengobrol dengan para pemuda sebayanya, tak terlihat lagi raut kesedihan di wajahnya, karena mungkin sedang teralih oleh canda-canda dari temannya itu.

Malam itu, Mbah Jayus kembali datang dan langsung kembali menemui Darwis, ia bertanya lagi kepada cucu Mbah Gajul itu, apakah ‘Kain Rombeng’ yang tadi sempat mereka cari itu sudah diketemukan atau belum.

“’Dereng’ (Belum) Mbah.. Besok saja, Bapak yang nyari, sepertinya dia lebih tahu perihal itu..”. Jawab Darwis yang sebenarnya tak terlalu peduli dengan wasiat dari Kakeknya itu.

Mendengar jawaban dari Darwis, Mbah Jayus pun berlalu sembari berpesan agar Darwis atau Bapaknya itu besok benar-benar mencari benda itu sampai ketemu.

Tapi, baru saja Mbah Jayus beranjak dan duduk bersama orang tua sebayanya di sudut lain tenda itu, tampak dua orang kakek-kakek menghampiri Darwis lagi, ia adalah Mbah Roso dan Mbah Mangun, salah dua dari sesepuh di desa Turi ini, yang mana beliau-beliau ini menanyakan hal yang kurang lebih sama seperti yang tadi ditanyakan oleh Mbah Jayus.

Darwis pun menjawab sembari menghela nafasnya, dengan mengulang jawaban yang tadi ia ucapkan kepada Mbah Jayus, bahwa Ayahnya lah yang besok akan mencari ‘Bedhong Mayit’ atau ‘Kain Rombeng’ itu.

Dalam ke-tidak-paham-an-nya, Darwis tentu merasa jengkel karena teman-teman kakeknya itu malah lebih serius mengurusi hal yang tak rasional itu dari pada menghargai perasaannya yang tengah berduka itu.

“Apaan sih, pasti Mbah Jayus yang memberi tahu mereka, lagian kenapa juga tadi saya malah memberitahu tentang wasiat dari Mbah Kakung itu..”. Batin Darwis yang agaknya malah menyesal karena telah membicarakan wasiat itu.

Sejatinya, manusia yang paling sedih atas wafatnya Mbah Gajul adalah Darwis itu sendiri, alasannya karena memang sejak ibunya meninggal dan ayahnya memilih kerja di luar kota, dari usia 8 tahun, mendiang Mbah Gajul dan mendiang ‘Mbah Runi’ (istrinya) lah yang merawatnya.

Tak ditampik Juga oleh Darwis bahwa saat ini ia benar-benar merasa sedih dan kehilangan, tapi entah mengapa, khusus dalam konteks ‘nir-logika’ ini, Darwis merasa kalau itu bukanlah hal yang harus diseriusi. Mungkin memang Sulit, memasukkan sebuah ke-tidak-masuk-akal-lan untuk menjangkau pikiran seorang seperti Darwis, yang waktu itu baru menginjak usia yang ke-23thn.

Singkat cerita hari berikutnya, kala itu, sekira pukul 10.00 pagi, Pak Dirja ayah Darwis itu pun tiba, menandakan bahwa telegram kiriman dari Pak Carik, benar-benar telah sampai kepada anak Mbah Gajul itu.

Selayaknya orang yang kehilangan, tangisan Pak Dirja pun pecah seketika, ia berjalan tertatih-tatih merangsek bergumul di antara para pelayat dan langsung dihampiri oleh Darwis yang matanya juga sudah mulai berair.

Darwis pun memapah Pak Dirja ayahnya yang baru tiba itu, ia melangkah masuk dan langsung memperlihatkan jenazah Mbah Gajul, hingga tangisan pun semakin pecah, oleh Pak Dirja begitu pula dengan Darwis. Kini, di depan Jenazah, Ayah dan anak itu pun menangis bersama.

Hingga setelah beberapa detik dan menit berlalu, Pak Dirja yang sudah agak bisa menata nafasnya pun berkata kepada Darwis, agar jenazah Mbah Gajul segera dimakamkan.

“Min, panggilkan ‘Pak Kaum’ (Pak ustad), kita bawa Mbah Kakung ke makam sekarang”. Pinta Pak Dirja kepada Darwis.

Darwis pun keluar, menghampiri Pak Kaum yang kebetulan juga tengah duduk di antara para pelayat itu, perihal perintah dari ayahnya yang ingin jenazah kakeknya itu segera diberangkatkan.

Hingga singkatnya, di depan rumah, sekira mungkin 30 sampai 40 menit kemudian, Jenazah Mbah Gajul pun sudah berada di dalam keranda, bertutup dengan ‘ambyang-ambyang’ lengkap juga dengan rangkaian bunga mawar dan pandan yang ‘tersampir’ menyelempang di atasnya.
Tampak kini Pak Lurah memberikan sepatah dua patah kata berlanjut dengan Pak Kaum yang mulai memanjatkan doa pengantar, sebelum membawa jenazah Mbah Gajul ke makam setempat.

Suasana doa saat itu cukup hikmat, semua orang menunduk, menengadahkan tangannya, tapi tidak dengan Darwis, yang kini justru tampak gelisah, menoleh kesana kemari seperti tengah mencari seseorang.
Benar!! Lagi-lagi entah mengapa, di antara doa pengantar yang sedang dibacakan oleh Pak Kaum itu, tiba-tiba saja Darwis kepikiran akan wasiat kakeknya, dengan gelisah ia kini terlihat menerawangi setiap wajah para pelayat, berharap ada Mbah Jayus, Mbah Roso atau pun Mbah Mangun disitu. Tapi nihil, karena ia pun segera sadar bahwa teman-teman kakeknya itu memang tidak ada.

Darwis yang semakin gelisah, kini terlihat menoleh ke arah Ayahnya, saat itu ia mulai berpikir untuk menyampaikan wasiat mendiang kakeknya itu, akan tetapi situasinya tak mendukung, yang mana keadaan saat itu, mulai membuatnya merasa sulit untuk merangkai kata-kata, hingga waktu pun akhirnya terbuang bersamaan dengan doa dari Pak Kaum yang sudah selesai di panjatkan.

Jenazah Mbah Gajul pun mulai diberangkatkan menuju makam, dalam iring-iringan, wasiat itu seperti semakin mengganggu pikiran Darwis, sekali lagi ia menoleh dan mencari keberadaan teman-teman kakeknya, sampai akhirnya Darwis pun mencoba untuk bertanya kepada para warga, hingga setelah beberapa kali menanyakan kepada orang-orang yang berbeda, ia pun akhirnya mendapatkan jawaban, yang pada intinya mengatakan bahwa mereka semua, yaitu Mbah Jayus, Mbah Roso atau pun Mbah Mangun, tiba-tiba sakit.

Darwis pun pasrah dalam situasi itu, dan mencoba untuk kembali berpikir logis, hingga singkatnya setelah melalui semua prosesi, jenazah Mbah Gajul pun akhirnya di makamkan tak sesuai seperti yang telah diwasiatkan.

Sore pun berganti malam, doa tahlil baru saja selesai di laksanakan oleh para warga, tampak kini Darwis duduk bersama dengan teman sebayanya, dengan perasaan bersalah yang kini mulai membayanginya.

“Apa ndak papa ya?”. Batin Darwis saat itu bersamaan dengan tepukan pundak dari Ayahnya yang menyuruh dirinya untuk membelikan sebungkus rokok.

“Bapak belikan rokok sana le.. Satu ‘Slop’ sekalian, buat melekan orang-orang”. Pinta Pak Dirja kepada anaknya Darwis.

Darwis berjalan menuju warung, dengan perasaan bersalah yang kian berputar-putar di otaknya. “Ah biarkan saja”. Batinnya sembari terus melangkah.

Sebetulnya rasa bersalahnya itu bukanlah tentang akibat yang akan timbul, toh ia juga tidak terlalu percaya dengan hal-hal klenik semacam ini, tapi yang sebenarnya menjadi beban pikirannya saat ini adalah, betapa kurang ajarnya dia, tidak mau memenuhi wasiat kakeknya yang menurutnya bukanlah hal yang terlalu sulit untuk dilakukan, tapi mau bagaimana lagi, semuanya sudah terlanjur.

Hingga kejadian aneh pun terjadi, yang mana ini mungkin adalah awal yang diakibatkan oleh setitik kesalahannya itu.
Saat itu, Darwis yang baru saja sampai setelah membeli rokok, seketika dibuat terheran-heran, dahinya mengrenyit melihat tenda depan rumahnya yang semula ramai, kini tampak sepi, dengan meja dan kursi-kursi yang terlihat sedikit kacau.

“Pak!!! Bapak!!”. Panggilnya seraya berjalan meragu.

Ia pun melangkah masuk ke dalam rumah, menoleh kesana dan kemari sembari terus memanggil-manggil ayahnya itu.

“Apa-apaan ini”. Batinnya yang semakin keheranan.

Namun tak lama setelah itu, ia pun seketika merasa lega, saat samar-samar ia mendengar suara keramaian dari arah belakang rumahnya.

“Lagi pada ngapain disana?”. Ucapnya sembari beranjak menghampiri sumber dari suara itu.

Suaranya jelas dari belakang rumah, bahkan sesampainya ia di ruangan paling belakan, yaitu di ambang pintu dapur, Darwis 1000% sangat yakin bahwa suara orang ramai itu masih benar-benar ia dengar.

Tapi semua berubah senyap, ketika ia membuka pintu belakang itu, karena suara yang semula ia dengar ramai itu, sekarang tiba-tiba lenyap seketika, dan berubah menjadi keheningan.

Darwis melangkah keluar dari pintu untuk memastikan, yang mana kenyataannya, keadaan belakang rumahnya itu memang benar-benar sepi dan hening. “Apa saya salah dengar ya?”. Batin Darwis seraya berbalik dan hendak kembali masuk, akan tetapi, belum sampai ia melangkahkan kakinya, tiba-tiba, dengan samar, ia seperti mendengar suara seorang wanita yang sedang bersenandung.

Menyadari itu, Darwis sempat menghentikan langkahnya, ia pun hendak berbalik dengan maksud untuk memastikan suara nyanyian itu.
Tapi belum sempat ia membalikkan tubuhnya, tiba-tiba, nyanyian itu berhenti bersamaan dengan suara wanita yang berkata sembari menepuk satu pundaknya.

“AKU IKI ONO LHO!!!”.

(AKU INI ADA LHO!!). Ucap suara dari seorang wanita sembari menepuk pundak Darwis.

Darwis terkejut bukan main, tapi entah apa yang ada di pikirannya saat itu, cucu Mbah Gajul itu, justru malah membalikkan badannya. Hingga terlihatlah kini tepat beberapa jengkal di depan matanya, sosok yang baru saja berbicara dan menepuk bahunya itu. Sosok itu berupa wujud tubuh yang seluruhnya ditutupi oleh kain lusuh.



Darwis sempat bertahan beberapa detik dalam keadaan itu, hingga akhirnya ia pun berlari keluar, dan kembali bingung setelah melihat keadaan depan rumahnya yang ternyata masih ramai dengan orang-orang.

“Mana rokoknya!! Di panggil-panggil kok malah nylonong masuk aja..”. Kata Ayah Darwis yang seketika membuyarkan kebingungan itu.

Bersambung ke Part 2

Link Part 2 : https://www.kaskus.co.id/show_post/6...eebe12e03f2cf4
Diubah oleh agilrsapoetra 16-09-2023 10:34
wahab37
ddspeed52871
sarahfetter9012
sarahfetter9012 dan 32 lainnya memberi reputasi
31
11.7K
53
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.5KThread41.6KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.