agilrsapoetraAvatar border
TS
agilrsapoetra
POPOK WEWE


Temanggung era 1960an.

Di era itulah Pasangan Minto Djayusman dan Soekarti menikah, hidupnya sederhana, meski Pak Minto hanyalah pegawai rendahan di kantor jawatan kereta api dengan gaji pas-pasan, namun mereka tampak bahagia menjalaninya. Bu Soekarti adalah penjual kerupuk “Lentheng” di Stasiun tempat Pak Minto bekerja dan disitulah mereka bertemu hingga akhirnya menikah.


Tahun demi tahun berlalu dengan suasana yang itu-itu saja, Pak Minto yang tak kunjung naik pangkat dan Bu Soekarti yang masih menjajakan kerupuk “Lentheng” di Stasiun, “Untuk bantu-bantu Mas Minto”. Begitu ujarnya. Maklum beliau juga bosan dirumah karena memang di usia pernikahannya yang sudah hampir sewindu ini, Pak Minto dan Bu Soekarti belum juga di karuniai anak. Sedih memang, apalagi Bu Soekarti, sebagai seorang wanita ia tentu menjadi pihak yang paling tertekan dan serba salah. Ia takut bila Pak Minto berpaling darinya. Tapi kenyataannya tidak, Pak Minto tetap setia dan sabar. hingga keadaan pun berubah. Tepatnya di tahun 1973, stasiun kereta api Temanggung resmi ditutup. Keadaan itu tentu merubah hidup Pak Minto dan Bu Soekarti. Pak Minto dipaksa berhenti dari pekerjaanya namun untungnya dengan pesangon yang cukup lumayan. Sebenarnya ada kesempatan Pak Minto untuk di pindah kerjakan yaitu di Perpusda (perpustakaan daerah) namun Katanya (menurut Pak Minto) karena suasana politik pasca “Kejadian 65” membuat pak Minto tak mendapatkan kesempatan itu.

Akhirnya berbekal pesangon dan tabungan dari pekerjaanya dahulu, Pak Minto dan Bu Soekarti mulai merintis bisnis berjualan sembako di Pasar. Dengan tekad yang bulat mereka sampai menjual rumahnya untuk membeli ruko di Pasar Redjo Amertani (Pasar utama Kota Temanggung). “Kita tinggal di Ruko saja buk, lagian kita kan Cuma berdua”. Begitu mungkin ucap Pak Minto kepada istrinya. Merekapun mulai menjalani bisnisnya dengan “Tlaten” meski di tahun-tahun awal mereka sempat merugi tapi Pak Minto dan Bu Soekarti tetap optimis dengan yang mereka jalani sekarang.

Hingga Sekira 2 tahun sudah mereka menjalani bisnis ini yang mulai menanjak landai dan stabil sedikit demi sedikit, langganan yang terus bertamabah dan barang dagangan yang juga semakin banyak dan lengkap. Seiring dengan itu keajabian pun terjadi, doa yang selama ini selalu mereka panjatkan setiap malam, di ijabah oleh Tuhan, tepatnya di tahun 1975, “Sigit djayusman” lahir. Bayi laki-laki, tampan dan sehat. Pak Minto dan Bu Soekarti tentu menyambutnya dengan penuh suka cita. Penantian mereka selama kurang lebih 10 tahun ini berakhir dengan lahirnya si Mungil Sigit.

Di bilik kamar yang tak besar di belakang kios ruko itu, Sigit dirawat hingga kurang lebih 4-5 tahun kemudian mereka pindah ke rumah pribadi Pak Minto dan Bu Soekarti yang berhasil mereka beli dari pundi-pundi laba yang terkumpul. Nyatanya usaha mereka berkembang dengan pesat. Kios Pak Minto semakin luas dan bertambah dan bercabang ke tempat lain.

Tahun 1980/81, dengan adanya Sigit, Bu Soekarti memutuskan untuk tak lagi banyak berkecimpung di usahanya, beliau ingin fokus merawat dan menyaksikan tumbuh kembang anak semata wayangnya itu. Tanpa ia tahu ada sesuatu yang ternyata disembunyikan oleh Pak Minto. Sebenarnya semua berawal dari ucapan-ucapan acak dari si kecil Sigit waktu itu yang sering berbicara dengan sosok yang tak terlihat. Sigit juga sering tiba-tiba hilang di dalam rumah dan tiba-tiba kembali dengan mengatakan.

“Aku mau di gendong karo mbah GANDUL mak”.

(Aku tadi di gendong sama mbah GANDUL Buk). Begitu kata Sigit dengan “Cadel” seakan menggambarkan ia habis dari mana dan di bawa oleh siapa. Pada awalnya Bu Soekarti tak menaruh curiga dan menganggap itu hanya kejadian biasa, namun setelah kejadian itu terjadi berulang kali, Bu Soekarti mulai waspada dan sesekali meminta Sigit untuk menceritakan siapa Mbah GANDUL itu. Tapi Sigit sering kali tak mau menceritakannya sampai akhirnya pada suatu hari, Sigit kecil mulai bercerita.

“Mbah Gandul ki sopo to nang?”.

(Mbah Gandul itu siapa sih nak?). Tanya Bu Soekarti kepada Sigit.

“Iku lho Mak, Mbah-mbah sing mimike dowo, kui lho sing sok njagong ning wit Sawo”.

(Itu lho buk, Nenek-nenek yang ‘teteknya panjang’, itu lho yang sering duduk di Pohon Sawo). Kata Sigit sambil menunjuk ke arah Pohon Sawo yang berada di belakang rumahnya.

Mendengar itu, tentu Bu Sukarti tercengang, terlebih lagi Pohon Sawo itu sering di beri sesajen oleh Pak Minto yang notabene menganut aliran kepercayaan kejawen. Pohon Sawo itu memang “Wit gabug” atau pohon yang mandul dan tak bisa berbuah meski sudah besar. Dan menurut kepercayaan kejawen kuno Pohon mandul itu di ibaratkan sebagai perwujudan sebuah pengorbanan. Dan sering di berikan sesaji sebagai wujud penghormatan karena konon kemandulannya itu untuk menyuburkan pohon atau tanaman di sekitarnya dan memang benar, pohon dan tumbuhan di sekitar Pohon Sawo itu sangat lah subur, seperti pohon Durian, Rambutan dll terlihat subur dan selalu berbuah manis.

Kembali ke cerita, Mengingat perkataan dari anaknya itu, Bu Soekarti tentu resah, dan bertanya-tanya siapakah Mbah Gandul itu, sosok yang menjadi alasan ketika Sigit tiba-tiba hilang di dalam rumah, dan di deskripsikan oleh Sigit sebagai Nenek tua berpayudara panjang. apakah ia nyata atau hanya hayalan Sigit semata? . Sebenarnya kejanggalan kecil ini sudah cukup buat Bu Soekarti untuk menceritakannya kepada Pak Minto suaminya, namun entah mengapa bu Soekarti selalu sungkan untuk menceritakan kejadian yang dikategorikan sebagai kejadian di luar nalar ini. Sampai akhirnya tiba di suatu Sore dimana Sigit kembali menghilang. Kali ini Bu Soekarti yang agaknya sudah mempunyai firasat, langsung bergegas menuju ke belakang rumahnya. Ya!!! Menuju pohon Sawo itu. Waktu itu hari sudah menjelang petang, suasana sudah agak gelap. Dengan lentera kecil Bu Soekarti berjalan mendekati pohon itu sambil memanggil anaknya.

“SIGIT... SIGIT..”. ucapnya pelan.

Namun sahutan yang terdengar justru bukanlah suara dari Sigit, melainkan suara desisan gaduh dan gesekan daun dari pohon Sawo yang kini berada di depannya itu. Sebenarnya mulai timbul rasa takut di hati Bu Soekarti, Namun ini masalah Anaknya!!, dengan perlahan Bu Soekarti mulai menaikkan lenteranya menerangi sisi atas pohon itu. Dan seketika ia terpaku kaku menatap apa yang ada di atas pohon itu.

Di ranting yang tidak terlalu atas, terjulur kaki keriput. Sosok itu tengah duduk ber’Ongkang kaki seraya tertawa mendesis. Pandangan Bu Soekarti tak bisa lepas dari sosok itu, beliau seperti terhipnotis dan entah bagaimana ceritanya Bu Soekarti justru semakin mengangkat lenteranya untuk melihat sosok itu lebih jelas. Dan kini terlihat sudah seluruh wujud dari sosok itu yang semakin meringis seraya menggoyangkan tubuhnya. Sosok itu telanjang bulat. Payudaranya mengglambir hingga hampir menyentuh mata kakinya. Bu Soekarti semakin terpaku dengan posisinya yang kini saling bertatapan dengan sosok itu.

Sungguh rasa takut yang tidak bisa digambarkan bagi Bu Soekarti ketika melihat mahluk itu. Dan untungnya Bu Soekarti kembali disadarkan oleh suara Sigit yang memanggil dari ambang pintu.

“Makkkkk!!!!”. Ucap Sigit agak berteriak.
Bu Soekarti langsung menjatuhkan lenteranya dan berlari menghampiri Sigit dan memeluknya.

“Seko ndi to nang!!!”

(Dari mana sih nak!!). Ucap Bu Soekarti seraya membawa Sigit masuk ke dalam rumah.

Dan tak selang beberapa lama, Pak Minto pun pulang. Beliau sempat kaget ketika melihat Bu Soekarti sang istri yang tengah meringkuk di ruang tamu sambil memeluk Sigit.

“Ono opo to buk?”.

(Ada apa sih Buk?). Ucap Pak minto seraya berjalan menghampiri.

Dan setelah dirasa cukup tenang, Bu Soekarti pun menceritakan hal itu kepada Pak Minto sang suami. Dan Terlihat gelagat aneh dari Pak Minto setelah mendengarkan cerita dari istrinya itu, Walau saat itu Bu Soekarti masih belum terlalu menaruh curiga ataupun memahami sebab musabab dari kejadian ini.

Singkat cerita malam pun tiba. Pak Minto, Sigit dan Bu Soekarti tengah berada dikamarnya untuk beristirahat. Disini Sigit sudah terlelap, begitu juga dengan Pak Minto, Namun tidak bagi Bu Soekarti, ia terlihat masih terjaga sambil memandangi langit-langit. Kembali ia mengingat kejadian sore tadi yang masih menetap hangat di kepala dan pikirannya. Ia yang mulai merasa takut terus mencoba untuk memejamkan matanya walau itu sulit tapi akhirnya Bu Soekarti mulai agak terlelap. Namun itu tak berselang lama karena beberapa saat kemudian terdengar suara anak ayam yang berpindah-pindah seakan tengah mengelilingi rumahnya. Itu dirasa janggal bagi Bu Soekarti karena keluarganya sama sekali tak memelihara ayam. Mendengar itu ingatan Bu Soekarti tentang Mitos-mitos jaman dulu mulai menyerang nalar dan logikanya. Namun ia masih mencoba untuk menepisnya walau suara itu semakin lama semakin terdengar jelas dan seperti merangsek ke area dalam rumahnya.

Bu Soekarti yang mulai ketakutan langsung menutup seluruh tubuh nya dengan selimut. Keringat nya mulai bercucuran, ia kini merasakan hawa yang sangat panas di dalam kamarnya. Hingga Tak selang beberapa lama perlahan suara “Ciak” anak ayam itu pun menghilang dan tak terdengar lagi. Hawa di kamar itu terasa semakin panas saja tak seperti biasanya.
Bu Soekarti yang tak tahan mulai memberanikan diri untuk membuka selimutnya. Namun belum sampai ia membukanya, tiba-tiba selimutnya terseret dengan sendirinya. Dan setelah itu spontan Bu Soekarti langsung menjerit karena yang baru saja menyeret selimutnya itu ternyata adalah sosok yang tadi sore ia lihat di atas pohon sawo.

Pak Minto yang mendengar jeritan langsung terbangun dan melihat juga sosok wanita berpayudara panjang itu yang masih berdiri di tempat yang sama. Dan bersamaan dengan itu, Sigit yang juga tidur dalam satu ranjang itu pun terbangun.

“Mbah Gandul!!”. Kata Sigit dengan polosnya.

Sontak Bu Soekarti langsung memeluk anaknya. Dan menjauh ke sudut ranjang. Sementara mulai terlihat respon aneh dari Pak Minto. Ia memposisikan tangannya seperti layaknya menyembah dan berkata.

“Ampun Sigit Mbah..”.

(Jangan Sigit Mbah..). Ucap Pak Minto kepada sosok itu.

Dan kini terlihat raut kemarahan dari sosok itu yang diduga kuat adalah “Wewe Gombel”. Sosok menyeramkan itu pun mulai berjalan mendekati Bu Soekarti yang meringkuk di sudut ranjang bersama Sigit.

Melihat itu Pak Minto langsung berlari dan membuka lemari yang berada disampingnya. Pak Minto mengeluarkan Selembar kain lusuh dari kotak kayu dan menggenggamnya.

“Ampun Sakniki Mbah!!”.

(Jangan Sekarang Mbah!!) . Ucap Pak Minto dengan nada tinggi sambil menunjukkan kain itu kepada sosok Wewe Gombel tersebut.

Sosok itu langsung menoleh ke arah Pak Minto dan Mengacungkan telunjuknya, berjalan mundur dan menghilang menembus tembok di kamar itu. Bu Soekarti masih syok, tapi kecurigaannya kini tak terbendung setelah melihat dan mendengar gelagat Pak Minto tadi. Seketika ketakutannya berubah menjadi kemarahan. Bu Soekarti langsung mencecar berbagai pertanyaan kepada suaminya itu. Tentang apa yang terjadi dan apa yang Pak Minto lakukan.

Pada Awalnya Pak Minto masih mencoba berkelit dan menutup-nutupi. Tapi setelah terus dicecar, akhirnya pak Minto mengakui bahwa ia bersekutu dengan Wewe Gombel itu. Dan untuk pertama kalinya terjadi pertengkaran hebat antara Pak Minto dan Bu Soekarti.

“Oh dadi njenengan meh madalke Sigit yo mas!!!”.

(Oh jadi kamu mau menumbalkan Sigit ya Mas!!). Ucap Bu Soekarti dengan nada yang meninggi.

Mendengar itu Pak Minto hanya terdiam, sesungguhnya ia tak bermaksud untuk menumbalkan Sigit. Namun persekutuan ini ternyata telah menjebaknya.

“Ora ngono buk, iki masalah ruwet!!”.

(Tidak begitu Buk, ini masalah Rumit!!). Ucap Pak Minto yang sudah terpojok.

“Percumah sugih mas, nek ra iso ngrumat anak!!!”.

(Percuma kaya mas!! Kalau tidak bisa merawat anak!!). Ucap Bu Soekarti seraya menitihkan air mata.

“Aku Dingapuro buk, Maksudku ra koyo ngono..”.

(Maafkan aku buk, Maksudku tidak seperti itu). Ucap Pak Minto sambil memeluk istri dan anaknya.

Singkat cerita hari pun berlalu. Sejak kejadian itu Pak Minto menyuruh Bu Soekarti dan Sigit pergi ke Bantul, dengan maksud untuk mengamankan diri di rumah orang tua Bu Soekarti. Sementara dirumah, Pak Minto mulai mempersiapkan cara untuk menggagalkan perjanjian ini.
Pakde Turah, kakak kandung pak Minto menjadi orang lain pertama yang diberitahu tentang Persekutuan ini. Kebetulan beliau juga agak mengerti tentang hal-hal seperti ini.

“PLAAAAKKKK!!!!!!, Koe pancen gendeng Minto!!!”.

(Kamu memang gila ya Minto!!!). Ucap Pakde Turah sambil menampar adiknya itu setelah mendengar cerita dari Pak Minto perihal perjanjian setan ini.

“NDI POPOK WEWENE!!!”.

(MANA POPOK WEWENYA!!!). Ucap Pakde Turah dengan kecewa.

“Mugo-mugo iki iso di gagalke nanging koe bali kere meneh!! Gelem!!”.

(Semoga ini bisa digagalkan, tapi kamu akan kembali miskin, kamu mau?). Ucap Pakde Turah sambil menggenggam kain lusuh itu.

Pak Minto tak bisa menjawab, ia hanya mengangguk lesu dengan penuh penyesalan. Kini ia merasa lebih baik mati dari pada harus kehilangan Sigit anak semata wayangnya itu.

Singkat cerita, tanpa berlama-lama tibalah di suatu malam dimana Pak Minto dan Pakde Turah akan melakukan ritual penggagalan perjanjian ini. Semua sudah di siapkan. Dari kepala kambing hingga Ayam cemani dan berbagai rupa sesajen jajanan pasar yang diletakkan di bawah pohon Sawo itu. Pak Minto dan Pakde Turah terlihat sudah duduk bersila beralaskan tikar. Kemenyan mulai dibakar oleh Pakde Turah seraya mengucap mantra dengan keras.

Mantra itu di ucapkan oleh Pakde Turah berulang kali, hingga kemenyan yang terbakar tak lagi menetes. Bersamaan dengan nyala api kemenyan yang padam, kini muncul suara yang S E N S O Rik dari atas pohon sawo itu diiringi suara dedaunan yang saling bergesekan. Dan turun lah Mahluk itu dengan terbalik, kepalanya yang muncul terlebih dahulu sambil berkata.

“Mintoku, nangdi anakku Sigit?? Hihihihi”.

(Minto ku, Dimana Anakku Sigit? Hihihii). Ucap Wewe Gombel itu seraya turun dari atas Pohon dan kini berdiri didepan Pakde Turah dan Pak Minto.

“Sigit dudu Anakmu!!!”.

(Sigit Bukanlah Anakmu!!). Ucap Pakde Turah memegang Kain Popok Wewe tersebut.

“Kowe ora oleh ndueni Sigit mulai saiki!!”.

(Kamu tidak boleh Memiliki Sigit Mulai sekarang). Ucap Pakde Turah kepada Sosok Wewe Gombel itu.
Mendengar perkataan dari Pakde Turah, sosok Wewe Gombel itu seperti menyiratkan kemarahan, Sosok itu Menggelinjang, bergetar tak beraturan dan mengeluarkan suara tawa yang cukup cumakkan telinga Pakde Turah dan Pak Minto.


Dan Sosok itu pun berkata.

“Menungso bosok, Kacang ninggal lanjaran!!!”

(Manusia Busuk, kacang lupa dengan kulitnya!!!). Ucap Sosok itu seraya berjalan mendekat.

Dengan Sigap Pak Minto langsung mendekatkan kain popok itu ke dekat bara dari tungku tempat tadi kemenyan di bakar.

“Macem-macem, iki bakalan tak obong!!”.

(kalau macam-macam, ini akan saya bakar!!). Ucap Pakde Turah kepada sosok itu yang terlihat ingin menyerang mereka.
Wewe Gombel itu pun berhenti dan agak menjauh dari Pak Minto dan Pakde Turah. Hingga tanpa segaja ujung kain popok yang dipegang Pakde Turah itu, menyentuh bara dan sedikit terbakar. Sosok itu langsung menangis seperti kesakitan dan terbang menembus tembok pekarangan belakang rumah Pak Minto sambil berkata.

“TITENONO YO KOE MINTO!!!”.

(LIHAT SAJA KAMU MINTO!!!). Ucap Sosok itu seraya terbang menghilang.

Pak Minto terlihat mengusap wajahnya, setelah melihat mahluk itu pergi, seperti ada kelegaan dalam hatinya. Namun tidak bagi Pakde Turah yang merasa ritual penggagalan ini belum sepenuhnya berhasil.

“Demit kae, mung Lungo, sak mongso-mongso iso bali meneh ning kene”.

(Demit itu hanya pergi, suatu saat bisa kembali lagi kesini). Ucap Pakde Turah seraya memberikan kain popok itu kepada Pak Minto.

Pakde Turah menyarankan untuk menebang pohon sawo itu dan tidak memperkenankan Sigit untuk kembali lagi ke rumah ini sampai ia berusia 17tahun. Pak Minto pun menyanggupi saran dari kakaknya itu.

Hingga hari pun berlalu, Pak Minto menjual salah satu kiosnya bakal kehidupan Sigit di bantul untuk 10-12 tahun ke depan. Sementara Pak Minto tetap berada di rumah itu untuk mengurus usahanya dan bolak-balik ke bantul di setiap bulan atau minggunya.

Tahun demi tahun berlalu tanpa cerita seram dari sosok Wewe Gombel itu. Usaha Pak Minto juga terlihat biasa saja meski kini tak sebesar dulu. Di bantul Sigit mulai tumbuh dewasa dengan ingatan masa kecilnya yang sudah hilang. Ia tak tau bahkan juga tak ingat tentang sosok wewe gombel yang dinamai olehnya sebagai Mbah Gandul itu.

Hingga akhirnya sampailah ia di umur 17tahun, tepatnya mungkin sekitar tahun 1991-1992. Pak Minto dan Bu Soekarti yang sudah menua mulai sering ke Temanggung, bersama Sigit tentunya yang kini juga mulai tumbuh dewasa.

Dan sekitar tahun 1994-1995, keluarga Pak Minto mulai benar-benar menetap dirumah itu lagi. Bersama Sigit yang sudah lulus sekolah, ia sedikit demi sedikit, di ajari oleh Ayahnya untuk meneruskan usahanya.

“Iki Bakal omah mu le, lan iki yo dadi usahamu”.

(ini kelak akan menjadi rumahmu nak, dan ini juga akan menjadi usahamu). Ucap Pak Minto kepada Sigit di suatu sore.

Sejak hari itu, kegiatan Sigit mulai berkutat di Pasar, di toko sembako milik Pak Minto ayahnya. Tahun berlalu Sigit mulai lihai menjalankan bisnis warisan orang tuanya itu. Sementara Pak Minto yamg sudah mulai sakit-sakitan lebih sering berada dirumah bersama Bu Soekarti sang istri. Dan di toko sembako itu lah Sigit bertemu Sari, wanita masa depannya, seorang puan manis yang sering mengantarkan ibunya berbelanja di Toko Sigit.

Curi-curi pandang yang berlanjut dengan perkenalan dan berakhir dengan pernikahan. Tepatnya di bulan november tahun 1996. Sigit dan Sari menikah. Dengan pesta yang megah di kedua belah pihaknya. Namun na’as tak pernah mengenal waktu. Karena tepat sekira 30 hari setelah Sigit dan Sari menikah. Pak Minto sudah tak bisa lagi bertahan dengan penyakit ginjalnya. Ia meninggal dunia dan lebih na’asnya lagi Bu Soekarti sang ibu juga meninggal sekitar 6 bulan kemudian dengan sebab yang sampai sekarang masih belum diketahui.

Pak Minto dan Bu Soekarti pergi meninggalkan Anak, menantu dan cucu yang saat itu masih berada dalam kandungan. Kini Sigit dan Sari lah sebagai penerus keluarga Djayusman, tinggal dirumah itu, rumah masa kecil Sigit yang sempat hilang dari ingatannya. Sejak kepergian Ayah dan ibunya, Sigit sebagai anak tunggal seperti tak siap dengan semua ini, kesedihannya tentu cukup mendalam. Tapi hidup harus terus berjalan apalagi ketika ia melihat Sari sang istri yang perutnya mulai membesar. “Aku kudu kuat!!!”. Ucap Sigit dalam hati. Mau tak mau Sigit harus tampak tegar di Mata istrinya.

Hari pun berlalu, menuju 7 bulan usia kehamilan Sari, mulai timbul keanehan-keanehan yang mungkin belum mereka sadari, Contohnya Sari yang sering “Ngidam” kuliner-kuliner yang sedikit tidak lazim seperti Sate, dan empedu ular kobra, rica-rica daging anjing, Sate biawak, rujak mengkudu dan lain sebagainya. Sigit yang sempat heran, akhirnya hanya bisa menuruti saja kemauan istrinya itu. Hingga seiring waktu berlalu keanehan demi keanehan mulai nampak semakin mencolok. Pernah di suatu malam Sigit mempergoki istrinya yang tidur sambil berjalan. Ia coba ikuti saja dari belakang karena konon, pantang membangunkan orang yang sedang tidur sambil berjalan. Sigit ikuti langkah demi langkah hingga Sari berhenti di depan sebuah lemari yang berada di kamar mendiang ayah dan ibunya. Kamar itu memang kini kosong. Tapi yang Sigit heran disitu Seperti ada seseorang yang berbicara dengan Sari, Suaranya seperti berada di balik lemari mendiang Ayahnya itu. (Bersambung).
Diubah oleh agilrsapoetra 25-08-2023 16:04
rinandya
tatatt
sicepod
sicepod dan 19 lainnya memberi reputasi
20
1K
11
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.5KThread41.6KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.