nasura2101Avatar border
TS
nasura2101
TUMBAL PENGGANTI BAB-07 KEMARAHAN ISMAIL
Sore itu, aku pulang ke rumah, Riyana seperti tidak senang saat aku cerita bahwa aku baru dari rumah pak kiyai. Aku hanya mengerutkan kening, tidak mengerti. Riyana memang banyak berubah sejak aku sering sakit, dia sering marah hanya karena hal-hal kecil. 

Dia semakin marah saat aku cerita bahwa aku sudah mengundurkan diri. Namun ada rona bahagia yang tergambar jelas, berusaha disembunyikan saat kuperlihatkan pesan dari bank yang menunjukkan jumlah kredit yang dikirim oleh manager. 

“Benarkah aku telah menikahi perempuan mata duitan?” Setelah sebulan beristirahat, aku mulai mencari pekerjaan. Entahlah, aku tidak ingin kembali ke perusahaan. Namun aku sulit mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan keahlianku.

Waktu terus berjalan, gaya hidup Riyana tidak pernah berubah, uang tabunganku pun mulai menipis. Sementara aku hanya bisa terima bahwa aku sering dipecat, setiap kali aku dapat kerjaan, selalunya aku dipecat setelah tiga bulan dengan alasan yang sama, “perusahaan nggak terima karena aku sering cuti sakit.” 

Pertama dipecat, aku agak pesimis, “apa aku masih bisa melanjutkan hidup, tapi saat aku dapat pekerjaan lagi, harapan itu kembali tumbuh.” Saat dipecat kedua kalinya, “hati terasa sakit, tapi tidak sekecewa sebelumnya.” Hal ini berulang untuk yang ke-tiga, ke-empat dan seterusnya. Akhirnya aku sudah tidak terlalu memusingkan hal ini lagi, mungkin sudah nasib. Seiring berjalannya waktu, kebutuhan juga terus meningkat, sementara Riyana tidak pernah mau tahu kesulitanku, dia tidak pernah berubah. Gaya hidupnya juga tetap sama.

“Tukang foya-foya dan menghambur-hamburkan uang untuk hal yang tidak perlu, hanya demi gengsi. Agar disebut berkelas.” 

Suatu ketika aku ngedrop dan harus dirawat agak lama di rumah sakit, tanpa sepengetahuanku, Riyana menggadaikan sertifikat rumah kepada rentenir. Aku mengetahuinya setelah tiga bulan. Penagih hutang datang ke rumah karena jatuh tempo. Padahal orang tuaku yang menanggung seluruh biaya rumah sakit. Selama aku sakit juga, ibu selalu ngasih uang untuk keperluan Riyana dan si kecil. Duniaku seperti runtuh mendengar angka yang mereka sebutkan oleh penagih hutang. Aku meminta waktu paling lama seminggu untuk menyelesaikan. Setelah mereka pulang, kami bertengkar hebat. Seperti biasa, aku yang bersalah, Riyana selalu benar. Tanpa pikir panjang aku memutuskan menjual rumah. Bagaimanapun rentenir harus segera dibayar, jika tidak hutang akan semakin membengkak. Bisa terus beranak bahkan cucunya juga bakal lahir. Rumah pun terjual, hasil penjualan rumah hanya cukup untuk membayar hutang. Ini pertama kalinya aku begitu yakin bahwa Riyana tidak pernah mencintaiku. 

__________________ 

Sekarang anakku sudah berumur 2,5 tahun, aku tinggal bersama mertua, karena Riyana tidak mau tinggal di rumah orang tuaku. Kondisi kesehatanku juga semakin memburuk. Tubuhku hanya tinggal kulit dan tulang, wajahku juga pucat seperti mayat hidup. Hampir tiap hari kami bertengkar, kalau aku masih bertahan itu karena anak. Orang tuaku yang menopang biaya hidupku. Setiap kali aku sakit, ayah-ibu yang membawaku ke dokter. Tiap bulan ayah mentransfer sejumlah uang ke rekeningku. Hidupku memang telah hancur digerogoti penyakit, yang kata dokter hanya types. Namun aku terus bertahan demi anakku. Aku sering meragukan keputusanku, tapi ternyata ada banyak hal yang berubah akhir-akhir ini. Riyana menjadi lebih perhatian, lebih sering meluangkan waktu untuk kami. 

Aku seperti bertemu kembali dengan perempuan yang dulu aku pacari bertahun-tahun untuk kemudian aku nikahi. Dia merawatku dengan baik saat aku jatuh sakit. Selalu menyempatkan memasak sebelum berangkat kerja. Dia juga merawat pakaianku dengan baik. Selalu memastikan keperluan putri kecil kami sebelum pergi kerja, satu lagi, dia tidak pernah lupa mencium tanganku sebelum berangkat kerja. Terkadang, aku merasa bersalah pernah meyakini bahwa dia tidak pernah mencintaiku. 

Hingga suatu hari, kami sekeluarga ada acara ulang tahun untuk putri kecil kakakku, Mia. Semua keluarga berkumpul termasuk kakak angkatku yang berasal dari tempat yang jauh, sebut saja namanya Ismail. Aku dan Ismail dulu satu sekolah dari kecil hingga es-em-a. Selesai es-ema, aku memutuskan kuliah sedang Ismail memilih marantau. Saat ini dia sudah memiliki kehidupan yang mapan meski dia belum menikah. Ismail orang yang kaku dan tidak banyak bicara, tapi hari itu entahlah, Ismail begitu dekat dengan Mia, seolah ada sesuatu yang sedang mereka berdua rencanakan.

Saat acara sudah selesai, Ismail mencak-mencak. Dia marah-marah nggak jelas padaku. “Kamu ini Wa, kayak nggak punya saudara, segala sesuatu dipendam sendiri seolah aku sudah nggak ada. Kamu sudah nggak butuh aku ya? Merasa sudah jadi laki-laki jadi nggak butuh abangmu. Bahkan kamu masuk rumah sakit dan hampir mati, aku nggak kau kasih tau. Aku ini kau akui sebagai abang apa enggak? Atau benar kata ibu-ibu yang suka bergosip di tukang sayur, aku ini hanya saudara angkatmu? Punya masalah pelik juga nggak ngajak aku rundingan, main jual rumah. Kau pikir kakakmu ini gembel, nggak bakal bisa ngurusi rentenir?” 

Ibu mengerling padaku, beliau meletakkan kedua jarinya lalu digerakkan di depan bibir dari ujung ke ujung seolah sedang menutup resleting. Memberi tanda agar aku diam. Aku menurut mesti tidak paham apa yang sebanarnya sedang terjadi.

“Kau juga Mia, nggak bisa ngajari si kecil tata-krama. Mbisu aja saat Dewa jual rumah.” Mia hanya tersenyum kecut, ikut diomelin. Kami terdiam beberapa saat, aku hendak angkat bicara dan minta maaf. Karena semua yang diomongin Ismail, benar. Seolah aku ini nggak nganggep dia kakakku. Aku nggak pernah bercerita apapun ke dia. Namun tiba-tiba Ismail bangkit dari tempat duduknya, mencium tangan ayah-ibu lalu pergi, seolah aku dan Mia tidak ada disana. Mobilnya dipacu dengan kecepatan tinggi meninggalkan halaman rumah Mia. Ibu memegang bahuku, dielusnya bahuku pelan lalu membimbingku untuk duduk. 

"Kakakmu marah-marah karena dia sayang padamu," ucap ibu, lembut. Aku masih bingung, tidak mengerti maksud ibu. "Maman adalah pegawainya sejak lama," ucap ayah, menimpali. Kalimat ayah membuatku menemukan klue dari kemarahan Ismail.

"Cuma Maman tidak tahu kalau kau adalah adiknya, dua hari lalu karena suatu keperluan, Maman datang ke ruamah Ismail dan melihat foto kalian berdua. Maman menceritakan semuanya." Aku tertegun dengan penjelasan ayah, entah ini kebetulan atau Tuhan sedang menunjukkan kekuasaanNya. Aku telah lama mencari Maman tapi tidak pernah menemukan jejaknya, kini dia tidak akan bisa lari lagi. Tanpa pikir panjang aku pamit pada ayah-ibu untuk menyusul Ismail, aku juga memacu mobilku dengan kecepatan tinggi. Aku tidak memperdulikan apa pun, aku harus menyusul Ismail lalu meminta alamat Maman. 

Setelah beberapa lama aku menemukan mobilnya, aku terus mengekor di belakang mobil Ismail. Aku klakson berkali-kali agar Ismail berhenti, tapi dia tidak perduli, mobilnya dilajukan dengan kecepatan lebih tinggi. Aku hanya bisa mengimbangi kecepatan mobil Ismail. Karena nggak sabar menunggu aku call dia tapi panggilanku tidak dijawab. Aku mengumpat di dalam hati. 

“AS*!” rutukku, kesal karena panggilanku direject.

Ternyata dia tidak menuju rumah, tapi ke arah bengkel. Dia punya bengkel mobil yang cukup besar, begitu memarkir mobil, tergesa berjalan ke arah mobilku. Dengan kasar dia membuka pintu mobil, lalu mengcengkeram krah bajuku. Diseretnya aku keluar dari mobil, kemudian mulai menghantamkan tinjunya padaku, aku geragapan dan tidak sempat menghindar.

Saat aku masih kliyengan, dengan beringas Ismail terus menghantamkan tinjunya, bertubi-tubi. Ditumbuknya wajahku. Seperti orang kesetanan Ismail menghajarku. Aku cuma bisa pasrah. Berusaha menutupi wajahku dengan kedua lengan. Namun tetap saja, setiap tinjunya mengenai wajah dengan keras.

Darah mulai mengucur dari pelipis, hidung, dan bibirku. Bagai seonggok baju aku nglimpruktak berdaya saat Ismail melepaskanku. Ismail jatuh terduduk tak jauh dariku, nafasnya terengah-engah. Tidak tergambar sedikitpun penyesalan di raut wajahnya. Bahkan sekilas aku melihat kepuasan di rona wajahnya, hanya sekilas kemudian menghilang. Ada amarah yang masih membuncah yang berusaha dia tahan. 

Beberapa detik kemudian, Ismail mengambil rokok dan pemantik dari saku baju lalu membakar rokok itu dengan pemantik. Disesapnya perlahan asap rokok itu, lalu dihembuskan perlahan, seolah ingin melepas semua yang menghimpit dada.

Tak lebih dari tiga sesap Ismail menyesap rokoknya, dia mendekat padaku, diambilnya rokok dari mulut, lalu di masukkan ke mulutku. Dalam hati aku menagis meraung-raung, Ismail memang sedikit gila. 

“Begitulah cara dia menyayangiku." Diraihnya tubuhku lalu dipapahnya aku menuju mobil, kemudian membantuku duduk di depan kemudi. 

"Pulanglah! Jangan datang padaku sampai kau bisa keluar dari rumah mertuamu! Jika kau tidak bisa keluar dari sana, kau tidak akan pernah selamat," ucapnya tegas. Namun jelas ada nada putus asa saat dia berucap. Lalu menutup pintu dengan kasar tanpa menunggu jawaban. Ismail langsung membalikkan badan, ngeloyor sambil melambaikan tangan, kutatap punggungnya hingga hilang dari pandangan. Aku menghantamkan tanganku ke hold kemudi bertubi-tubi meluapkan amarah begitu Ismail tak terlihat. 

“F*ck!” rutukku, kesal. Marah, sedih, muak, putus asa, campur aduk jadi satu.

Kukemudikan mobilku perlahan meninggalkan pelataran bengkel milik Ismail, perasaaku kalut. Riyana tidak akan mau tinggal bersama orang tuaku, sedang untuk kontrak rumah pastinya aku akan membebani ayah-ibu dan saudarasaudaraku. Selama ini hanya keluargaku yang selalu mensuport.

Kukemudikan mobilku perlahan meninggalkan pelataran bengkel milik Ismail, perasaaku kalut. Riyana tidak akan mau tinggal bersama orang tuaku, sedang untuk kontrak rumah pastinya aku akan membebani ayah-ibu dan saudara-saudaraku. Selama ini hanya keluargaku yang selalu mensuport. Aku tidak pulang ke rumah, tapi langsung ke rumah orang tua. Ibu tergopoh menyambutku saat melihat tubuhku babak belur. Kemudian menghubungi Mia, "bu, tidak usah menghubungi Mia, Dewa nggak papa," ucapku memohon. 

"Nggak papa gimana? babak belur begini!" jelas ada nada marah sekaligus sedih pada suara ibu. 

"Kau berkelahi dengan kakakmu?" tanya ibu, "kalau lihat dia babak belur kayak gini kayaknya Dewa dihajar oleh Ismail, jika ayah tidak salah, Dewa cuma diam saja tidak melawan." Aku cuma mengerling mendengar ucapan ayah.

Sementara ibu tampak masih sedih, "sudah enggak usah sedih, Ismail memang begitu tapi ibu kan tahu, Ismail itu sayang sama Dewa," ucapku berusaha menghibur ibu. 

"Kalian ini, apa nggak ada cara yang lebih halus untuk berkomunikasi satu sama lain?" ibu masih ngedumel, kulihat ayah mengerling padaku. Ayah memang selalu bisa memahami kami, mungkin karena belaiu juga pernah muda seperti kami. Mungkin dulu juga ayah suka berkelahi. 

Ibu telah selesai membersihkan lukaku saat Mia datang, Mia mengepalkan tinjunya ke bahu kiriku. Lalu memeriksa beberapa bagian tubuhku yang terluka. Dia tersenyum, "Dewa nggak papa bu, cuma lecet-lecet aja, lebamnya juga akan segera hilang dalam beberapa hari. 

Setelah itu, aku menyampaikan pada ayah-ibu dan Mia apa yang dikatakan Ismail kepadaku. Ibu langsung menghubungi Ismail. Panjang lebar ibu dan ismail bicara. Aku tidak begitu jelas apa yang mereka berdua bicarakan. 

Saat ibu menutup panggilan, ibu mengatakan hal yang sama seperti yang dikatakan Ismail, aku harus keluar dari rumah mertua, bersama anak dan istriku. Setelah itu 

baru Ismail akan mengatakan apa obat/penangkal dari sakitku. Malam itu aku menginap di rumah ibu, aku tidak tidur semalaman. Aku terus berfikir mencari jalan keluar atas masalahku, tapi tetap saja mentok. Hampir pagi ketika fikiran sinting itu muncul, entah dari mana datangnya, aku berfikir untuk cerai. ________________________ 

To be continue


bukhorigan
jimmi.rachmat
zaen1908
zaen1908 dan 6 lainnya memberi reputasi
7
951
9
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.5KThread41.8KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.