bukhoriganAvatar border
TS
bukhorigan
[SFTH] Di Batas Trotoar | Short Story [Kompetisi KGPT]
Quote:




Riuh melepuh. Matahari di atas jam dua belas siang memanggangku dalam bis. Berdiri diantara himpitan penumpang, sesak berjejal. Sudah setengah jam lamanya berdiri, pijakanku mulai terasa pegal. Pun halnya dengan pemuda lusuh di depanku. Dia berdiri bahkan sejak aku naik ke bis. Kami membisu menatap ke jalan depan, orang kecil jangan banyak mengeluh. Begitu kata para gedongan. Di dalam bis yang panas ini, beberapa orang terlihat mengusap peluhnya di pelipis. Bercucur di kulit yang kemerahan. Begitu gerah.

Kendaraan ini lebih disebut metro-mini. Sekotak panjang beroda--khas negara berkembang, yang sejatinya dulu membawa para buruh bekerja. Karyawan sampai anak sekolah dari pinggiran ibu kota, pasti pernah merasakan guncangan khas bis ini. Metro-mini biasanya berjalan tersendat, mesin tua itu dipaksa terus berjalan. Terbatuk-batuk. Terkadang, decitan penuh karat terdengar saat supir menginjak rem. Haus dan reyot.

"Karcis-karcis..." Ucap kernet dibelakangku.

"Ini bang, saya turun di tugu depan," timpal penumpang disampingnya.

"Loh, kurang goceng ini,"

"Masa bang naik goceng?"

"Beneran, ongkos solar naik nih Mpok,"

Ibu itu hanya menghembus nafas. Membenarkan kantong kresek yang berisi sayuran, untuk menadah recehan di dompetnya. Jelas ia pulang dari pasar. Kerepotan, terlebih saat anak enam tahun yang dipeluknya diturunkan dahulu dari pangkuan. Anak itu melihat kernet yang masih menadah tangan, tersenyum dengan gigi kecoklatan. Mungkin anak itu sedikit takut. Pemandangan itu asing bagi anak-anak, apakah ibunya dirundung oleh kernet itu? Entahlah pikirnya. Dia hanya menggenggam erat boneka yang digenggamnya. Masih terbungkus rapih dengan plastik gemerlap. Mungkin hadiah ibunya dari pasar.

"Nih bang goceng,"

"Makasih Mpok hehe..." Jawab si Kernet sambil berlalu menuju bangku yang lain.

Kernet menagih 'karcis' berupa lembaran rupiah di tangan kiri. Di tangan kanan ia mengangkat-angkat recehan koin. Bergemericik nyaring. Kode itu dipahami oleh penumpang lain yang belum membayar ongkosnya. Kernet melewati beberapa orang yang berdiri, termasuk diriku. Dia mengutamakan untuk menagih penumpang yang duduk nyaman di kursi. Menagih orang yang berdiri repot katanya, bisa-bisa mereka hilang keseimbangan.

Dua siswi pelajar yang sedari tadi asik bergosip terpotong panggilan kernet, tentu dengan siulan genitnya. Aku berpikir, bukankah itu pelecehan? Entah, mungkin mereka saling mengenal. Bertetangga di rumahnya. Mereka memberi recehan seadanya, ongkos mereka setengah harga dari penumpang biasa.

Di depan dua siswi, duduk seorang pria baruh baya. Tertidur dengan mulut mengangga ke atas. Entah apa yang ia impikan hingga mampu senyenyak itu di kursi penuh sesak seperti sekarang. Mungkin bidadari tengah merayap ke pangkal mulutnya, menjulurkan butiran anggur segar pemuas dahaga. Terlena mimpi yang mungkin tidak kesampaian di hidupnya.

Kernet tidak ingin membuang waktu untuk sekedar membangunkan bapak itu. Akhirnya ia menagih pada perempuan Tiong Hoa disampingnya. Mungkin usianya sekitar lima puluh. Seperti kenalanku di Glodok sana. Jujur saja, aku suka cara orang Tiong Hoa berbaur di Jakarta. Mereka tidak banyak bicara, namun mengerti apa yang jadi kewajibannya untuk hidup di lautan orang melayu.

Ibu itu menoleh pada kernet, memnyodorkan lima ribu tidak lebih tidak kurang.
"Makasih Ci..." Ucap Kernet.

Ibu itu hanya mengangguk. Memalingkan pandangan ke depan, berharap dia segera turun dari sana. Mereka gigih dan tekun memanfaatkan waktu.

Tetiba supir bis menginjak rem, membuat tubuhku terseret ke depan. Aku memicing mata untuk menadah pandangan ke kaca depan. Ternyata ada motor yang memotong jalan dari samping. Untung saja supir bis cekatan. Bila tidak bisa saja menjadi masalah.

Kopaja mempunyai reputasi buruk akhir-akhir ini. Gubernur kami menganggap bis ini sudah tak layak merayap jalanan Jakarta. Beberapa kecelakaan melibatkan Kopaja, hingga ada wacana untuk menghapus bis ini di jalanan. Entahlah aku tak ingin memikirkan wacana pemerintah. Pembagian beras-pun carut marut, apalagi perihal transportasi.

Saat bis terhenti, beberapa orang naik ke dalam bis. Pengamen berjibaku berebut ruang dengan orang-orang yang hendak masuk ke bis. Ia berpegang di tihang pintu bis, kesusahan memasukan gitarnya di antara penumpang. Pengamen itu masih muda, kira-kira belasan tahun. Nampaknya masih sekolah. Kucel dengan topi yang kebesaran. Sama-sama berkaos hitam bergambar Iwan Fals yang sudah luntur di bagian wajahnya. Kusam sekali.

"Halo Bapak, Ibu, Mbak, Mas-nya izinkan kami bernyanyi untuk sekedar menyambung hidup...Psst...Zul mainin Zul," ia mencolek rekannya untuk segera memetik senar.

"Permisi...kami permisi..." Ia memetik gembira walau suaranya cempreng khas anak-anak beranjak remaja.

"Jreng gonjreng...!" Temannya yang lain membawa plastik bekas bungkusan permen. Ia mulai melangkah dari satu kursi ke kursi lain. Berharap sihir nyanyian mereka mampu mengisi kembali bungkusan kosong itu dengan 'gula-gula manis' rupiah.

Ia kesulitan melangkah, bis penuh sesak. Kernet pun sampai berhenti sejenak karena ia tak bisa melangkah saat 'lorong' Kopaja penuh kaki-kaki manusia yang berpijak. Saling berpegangan.

Bis kembali berjalan.

Di hadapanku sekarang, ada Kakek Tua yang sedang membaca koran. Disampingnya ada mahasiswi dengan almamater kuningnya yang mengkilap. Saat bis terhenti tadi, ia sempat terpogoh karena mendahulukan mahasiswi itu naik terlebih dahulu.

Naas, sedari awal bis ini memang sudah penuh. Orang-orang pun enggan memberi mereka kursi. Atau mungkin pura-pura tertidur. Pemandangan penuh keegoisan ini sudah biasa terlihat di Jakarta.

Kakek itu terlihat membuka lembaran koran. Aneh saja, bagiku membaca koran dalam keadaan penuh sesak sangat sukar. Terlebih dengan goncangan bis yang tidak stabil. Ia sekali-kali memandang mahasiswi di sampingnya. Mungkin, ini kesempatannya untuk mencuri-curi pandang. Ah, lelaki di usia apapun sangat suka perempuan muda dan cantik.

Pengamen masih bernyanyi lantang. Entah sampai kapan mereka bersuar nada. Mungkin sampai di terminal nanti.

Sebentar lagi bis akan sampai di tujuanku.

Aku bisa merasakan jika kupling bis ini sudah gosong. Tercium bau menyengat. Orang-orang dalam bis mungkin tak sadar jika bis ini bisa 'meledak' sewaktu-waktu. Membakar raga para penumpang dalam sekejap. Atau mungkin rem 'putus' yang akan segera membuat bis ini terlempar ke pembatas jalan. Meluncur tanpa henti hingga hancur berantakan.

Menyedihkan, dulu Kopaja adalah raja yang kokoh. Bahkan sejak zaman Orde Baru. Saksi dalam mengawal reformasi bersama rakyat. Mungkin, Kakek di depanku ingat betul masa kejayaan Kopaja. Atau ia tak peduli dan hanya memikirkan kejayaannya sendiri. Walau raga terasa ringkih, mereka sama-sama sedang bermajinasi. Berpikir jika mereka masih mampu memikat para dayang dengan pantat bulat untuk duduk di kursi.

Orang-orang sebenarnya tidak peduli. Dulu sekali, oplet pernah berjaya bersanding dengan Kopaja. Namun sekarang mereka sudah musnah tertelan aspal panas. Hilang.

Waktu terus maju, dan kita harus tetap bergerak.

Bis sampai di simpang tugu. Kernet memaksa diri untuk merangsek masuk ke sela-sela penumpang.

"Ya...ya...yang turun di tugu siap-siap,"

Ibu muda tadi beranjak dengan anaknya. Menyenggol beberapa penumpang lain. Si Kakek sampai melipat koran untuk mempersilahkan Ibu itu lewat.

"Ckit...!" Supir menginjak rem. Kondisi kupling yang 'panas' membuat bis terhentak anjlok. Tubuhku hendak menghantam mahasiswi di depan. Pun halnya si Kakek yang terkejut. Pijakanku tak mampu lagi menahan dorongan dari belakang. Akhirnya, kami ambruk bersama-sama.

"Mama...!!!" Anak itu menangis. Ibunya meraih tangan anak itu lalu mengusap kepalanya.

"Woi Pir...pelan-pelan dong, bisa nyetir ga Lo?"

"Maaf Jo..." Ia melambai dari depan.

Aku bangkit, mempersilahkan Ibu tadi untuk turun. Ia menuntun anaknya yang masih menangis. Sebenarnya tujuanku sudah dekat, hingga mengikuti Ibu itu dari belakang.

Mungkin aku ingin rehat. Meneguk air di pinggiran taman kota.

Setelah turun, Bis kembali berjalan. Meninggalkanku di batas trotoar. Dari belakang aku bisa melihat asap solar mengepul hitam di aspal. Pekat melayang ke udara. Para pemotor sampai terbatuk-batuk menghindari asap itu. Mereka berlalu pergi.

Kulihat Ibu tadi menggendong anaknya sambil menjinjing kresek. Ia hendak menyebrang berlawanan arah denganku. Anak itu hanya melihatku dengan mata yang sembab, ingin sekali aku menghiburnya. Tapi diriku membalik badan menuju taman kota di samping tugu. Aku harap mereka baik-baik saja.

Ruang terbuka hijau selalu terletak di tengah perkotaan. Kata pejabat, taman kota memberikan manfaat bagi masyarakat. Tidak hanya sebagai tempat rekreasi, namun mampu menghilangkan kejenuhan di tengah hingar bingar ibu kota. Taman ini menjadi aset yang berharga bagi masyarakat. Aneh saja, setiap hari yang kulihat hanyalah masyarakat bawah yang bersenandung di sini. Orang-orang kaya mana ingin ke tempat seperti ini. Untuk menginjak kaki-pun sepertinya enggan
.

Jalan setapak yang terbuat dari paving-blockmelintasi taman dari ujung ke ujung. Sejenak bisa kurasakan hembusan angin yang datang dari sela ranting pohon. Sepanjang jalan, kulihat gelandangan mencari sisa makanan. Lalu ada pemuda yang memadu kasih seolah ini adalah taman surgawi. Sisanya hanyalah anak-anak yang berusaha menerbangkan layang-layang.

Taman ini dibatasi pagar berwarna kuning, kadang merah, tentu dihiasi sepanduk dan pamflet poster para caleg. Politisi kotor itu selalu menggunakan tempat rekreasi rakyat kecil untuk berjualan kata-kata. Bukan hanya kalimat, agama-pun mereka obral. Jengah rasanya melihat air liur mereka tersembur di wajah kami.

Aku duduk di kursi taman. Merogoh saku kanan dan membuka dompet yang ku ambil dari Ibu tadi. Untungnya saat kami ambruk di Kopaja, aku sempat menadah dompetnya. Wajahnya terlihat datar di KTP. Kutarik lembaran dua ratus ribu di dompet itu. Sisanya hanya recehan kecil.

Setidaknya aku bisa makan untuk hari ini.

Kurogoh saku yang lain. Aku lupa jika ada dompet mahasiswi tadi yang kuambil. Isinya hanya kartu-kartu yang sulit aku gunakan. Zaman sekarang memang susah mencari lembaran uang. Semuanya tersimpan di balik kartu yang sulit kugunakan. Dijual pun tak bisa, orang kecil sepertiku mana tahu hal yang seperti ini. Andai saja bis itu nyaman, mungkin sedari tadi aku bisa mengambil beberapa dompet lain.

Mungkin, di sore nanti aku menaiki bis lagi. Berharap ada yang membawa tas berisi milyaran rupiah. Atau dompet-dompet yang terbuat dari kulit berlapis emas. Berharap ada Kopaja yang masih mampu menampungku untuk hidup.

Kubuang dompet itu ke bak sampah. Berlalu di jalan taman yang dipenuhi rumput lebat. Tak terawat dan dipenuhi puntung rokok yang berserak. Mungkin di ujung jalan ini aku bisa menemukan warung kecil.

Haus rasanya. Kota ini selalu panas. Di jalan, di taman, di Kopaja itu.


THE END


Quote:


Spoiler for image source:
Diubah oleh bukhorigan 03-08-2023 14:49
lahidirmesa373
krian8471070
eynymawar675644
eynymawar675644 dan 15 lainnya memberi reputasi
16
1.3K
12
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.5KThread41.7KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.