Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

nasura2101Avatar border
TS
nasura2101
BAB-01 TEKA-TEKI DIBALIK KECEKAAN YANG MENIMPAKU

Insident itu cukup membuatku sedikit tertekan, aku mulai mempertanyakan keputusanku. Tapi, aku bisa apa? undangan sudah disebar, persiapan 95% sudah selesai. Terlebih lagi, rasa cinta pada Riyana yang membuatku pantang mundur. 

Seminggu sebelum hari H, ada insiden lain, seluruh isi ATM-ku sudah terkuras habis untuk meng-cover semua persiapan pernikahan sesuai keinginan Riyana. Ibu memberikan ATM-nya padaku, untuk suatu keperluan aku memberikan ATM ibu kepada Riyana, aku berpesan,”pakai seperlunya saja Ri.” Riyana Cuma melengos lalu pergi. 
Namun rupanya, Riyana tidak perduli dengan pesanku, Ia menghabiskan seluruh isi ATM ibu. Sepatah kata pun ibu tidak berkomentar saat aku memohon maaf atas ulah Riyana, tapi dari raut muka ibu, jelas ibu kecewa. Karena hal ini kesehatan ibu menurun, tensinya sering tiba-tiba naik, bahkan ibu sampai harus bed rest.

Pas hari H, ibu mendampingiku akad nikah tapi kondisi kesehatan ibu benar-benar menurun, meski sudah di make up masih terlihat pucat. Ibu bahkan tidak bisa hadir di acara resepsi, tensinya tinggi. 

Bersama menurunnya kesehatan ibu, kondisi Indri semakin membaik, tapi ada yang aneh, Indri yang dulunya ramah dan penyayang, berubah acuh-tak acuh dan sering murung. Dia yang dulunya periang, berubah menjadi pendiam. Lebih suka menyendiri dari pada bercengkrama dengan kami. Sayangnya, keluarga tidak menyadari hal ini atau tepatnya tidak terlalu peduli. Sepertinya, hanya aku yang menyadari hal ini, saat aku membicarakannya dengan Riyana, aku malah kena semprot. 

"Ngapain sih ngurusin Indri? kita sudah punya keluarga kecil sendiri, biar Indri diurus Komar!" ucap Riyana kesal. Sejak saat itu, aku tidak pernah membahas lagi, tapi makin lama kondisi Indri makin buruk, sampai mencapai satu titik yang fatal. Keluarganya menyadari hal ini saat Indri telah layak disebut gila. 

Dia sudah tidak lagi mengurus rumah dengan baik, rumahnya berantakan dan kotor. Dia juga abai terhadap anak, kadang anak nggak dikasih makan, jarang-jarang dimandikan, kalau ditanya jawabnya lupa. Dia juga mulai jarang membersihkan diri, jarang sekali berbicara.

Komar juga masih seperti biasa, acuh. Namun karena hal ini aku justru melihat sisi baik dari Komar, dia mengerjakan semua hal yang tidak dikerjakan Indri. Mulai dari membersihkan rumah hingga memasak dan mengurus putrinya. Dia juga tampak lebih sayang pada Indri dari sebelumnya. 

Dengan telaten dia membujuk Indri untuk mandi dan berganti baju, lalu dia sendiri yang memasukkan baju kotor milik Indri ke mesin cuci kemudian menjemurnya. Entahlah, segala perubahan ini tampak sedikit aneh di mataku, meski kadang hati kecilku bilang, “itu karena rasa sayang Komar yang tulus kepada Indri.” Selain ke pisikiater, kami juga mengusahakan di luar medis untuk kesembuhan Indri. 

Namun entahlah, kedaan Indri makin memburuk. Dia tidak pernah mengamuk tapi sikapnya menjadi kasar, dia benar-benar sudah tidak pernah mengurus diri apalagi mengurus anak. Banyak orang pintar kami kunjungi demi mengusahakan kesembuhannya, tapi belum membuahkan hasil. Suatu saat kami pergi ke desa yang jauh di tepian hutan, hutan ini di sisi utara berbatasan dengan selat madura, sisi timurnya berbatasan dengan selat Bali, sedang sisi barat berbatasan dengan sungai Klarakan.

Kami mendatangi sebuah gubuk dengan petunjuk seorang teman. Ada yang aneh dengan tingkah Komar, saat kami sampai di tempat ini, dia tidak mau ikut masuk rumah dengan alasan ingin menjaga anak. Kami pun membiarkan seperti apa maunya. 

Ternyata, bukan orang di dalam gubuk tersebut yang akan mengobati Indri, dia hanya penunjuk jalan. Orang yang akan mengobati Indri berada jauh di dalam hutan. Kami tidak diizinkan membawa banyak orang, dengan alasan keamanan. Hanya aku dan Komar yang boleh ikut, tapi Komar malah menolak. Akhirnya ayah mertua yang pergi bersama kami. Kami pergi mengendarai motor butut milik Tuan rumah, masuk ke dalam hutan melalui jalan setapak. Maman---sang penunjuk jalan memboncengku, sedang ayah mertua membonceng Indri. 

Kami menembus wilayah pinggiran hutan dengan tidak ada halangan, kemudian mulai masuk ke dalam inti hutan, di sini pun tidak ada rintangan yang berarti. Namun saat mulai masuk hutan belantara, tiba-tiba motor yang ditumpangi ayah dan Indri mogok, kami terpaksa berhenti. Ternyata bukan hanya ini masalah kami, saat kami sedang sibuk mengotak-atik motor dan mencari penyebab kenapa motor tersebut mogok, tiba-tiba Indri ketakutan kemudian lari tunggang-langgang. Seolah sesuatu sedang mengejar dan berusaha menyakitinya. Kami pun panic, menghambur mengejar Indri.

Kami kehilangan jejaknya, tercerai berai. Hanya ayah mertua yang ada dibelakangku, Maman juga tidak kami lihat. Sementara hari mulai gelap, ayah mertua tiba-tiba berhenti bergerak, "Le, mandeko!" (Le, berehenti!) ucap beliau memberi perintah, serta merta menarik tanganku untuk menepi di bawah pohon. 

"Tapi pak___," (Tapi pak___,) 

"Ora sah bantah! iki wektu surup, ojo kemendel!" (Tidak usah membantah! ini waktu peralihan, jangan sok jago!) ayah mertua memotong ucapanku. Nada bicaranya mengintimidasi. Aku pun menuruti perintah ayah mertua, lalu duduk di sampingnya. Bersandar di pohon, "fatekhaeono awakmu dewe ping pitu Le, maringono sholawate ojo pedot, njauk marang Gusti ben diparingi slamet!" lagi-lagi ayah mertua memberi perintah. (baca fatekhah untuk diri sendiri tujuh kali Le, kemudian baca sholawat jangan putus, minta pada Tuhan agar diberi keselamatan!) Aku hanya mengangguk kemudian membaca apa yang belaiu perintahkan.

“Bagiamana Indri bisa berlari secepat ini, lalu Maman juga tidak terlihat jejaknya?” aku berfikir keras. “Kalau dipikir-pikir hutan ini memang bisa jadi tempat bersembunyi yang mudah, tinggal duduk diam di antara semak belukar dan tidak bergerak pasti akan dengan mudah mengelabuhi kami yang sedang mencarinya. Namun bukankan Indri tadi terlihat benar-benar ketakutan? Atau jangan-jangan___,” reflek aku menutup mulutku, meski aku sedang membatin. 

Kenapa aku bisa berfikiran jahat tentang Maman? Bukankah dia berperan untuk membantu kami? Namun itu maknanya, “dia sangat mengenal hutan ini, bisa saja dia memukul Indri hingga pingsan lalu menyembunyikannya?” Hah! Dari mana aku punya pikiran jahat seperti itu? Untuk apa dia melakukan itu semua? Bagaimana kalau ternyata Maman bekerjasama dengan Komar untuk mencelakai Indri? 

“Aaaccckkk! Sinting!” 

Aku terus memikirkan segala kemungkinan dari semua tekateki tentang Indri, Komar dan Maman. Entahlah, firasatku begitu kuat bahwa sakitnya Indri, Komar penyebabnya. 

“Untuk apa Komar melakukan semua ini? Untuk pesugihan atau jangan-jangan dia punya selingkuhan?” Komar membuat Indri menjadi seperti sekarang, supaya bisa bebas berbuat sesukanya.

“Aaaccckkk! Kayaknya hutan ini bikin aku makin sinting.” 

Hari semakin gelap dan hawa semakin dingin, tanpa kusadari aku meraba tengkuk, "rasah sumelang! wong pancen ning alas gek wis surup mesti okeh koncone, sing penting atimu kudu kenceng madheb mantep marang Gusti, ojo sampek kosong!" (enggak usah khawatir, namanya juga di hutan, sudah senja pasti banyak temennya, yang penting hatimu harus tegak lurus pada yang di atas, jangan sampai kosong!) ucap ayah mertua panjang lebar, seolah memahami kerisauanku. Aku cuma menatap ayah mertua dengan tatapan bimbang. 

Ketika mega merah di ufuk barat telah benar-benar menghilang, hari benar-benar menjadi gelap, ayah mertua mengajakku bergerak. Terus maju ke depan, beliau memintaku untuk mengikutinya. Kami terbantu oleh cahaya bintang dan bulan sabit yang malu-malu mengintip dari balik rimbun dedaunan. Dalam kegelapan hutan, cahaya sekecil apapun akan tampak lebih terang. 

Suara burung hantu terdengar menggema di atasku, seperti sedang bertengger di atas rangting pepohonan yang kami lalui, lagi-lagi tanpa sadar aku meraba tengkuk. "Le, nggak sah digape, jarne ae!" (Le, tidak usah digubris, biarkan saja!) ucap ayah mertua seolah mengerti bahwa fokusku teralihkan oleh suara burung hantu.

Kami, terus berjalan hingga kaki terasa ngilu, sambil terus bereteriak-teriak menyebut nama Indri dan Maman. Namun, mereka seolah hilang ditelan oleh kegelapan hutan. Sementara hutan ini seolah tak berujung, kemana pun kami melangkah, hanya ada pepohonan, "pak, apa tidak sebaiknya kita kembali ke jalan setapak saja?" ucapku, entah dari mana ide itu tiba-tiba muncul. 

Ayah mertua langsung menghentikan langkah lalu berbalik, aku bahkan hampir menabrak tubuhnya karena beliau berbalik tiba-tiba. Canggung beliau menjawab, "yo wis awakmu sing ning ngarep, Le." (ya sudah kau yang di depan, Le.) Lalu kedua tangan ayah mertua memegang bahu dan memutar tubuhku. Detik selanjutnya, beliau mendorongku sambil berbisik, "maju-o, gak sah noleh memburi!" (bergeraklah ke depan, jangan menoleh ke belakang!) 

Bisikannya terdengar ngeri di telingaku, entahlah, aku begitu yakin ada sesuatu yang mengerikan di belakang kami. Segera aku bergerak cepat menuruti perintahnya, rasa penasaranku sesunguhnya tak terbendung bercampur dengan rasa takut yang menghimpit, cuma karena malu pada ayah mertua, jadi sekuat tenaga aku tahan. Keringat dingin mulai membasahi tubuh, aku terus bergerak maju meski aku tidak yakin bahwa ini arah yang benar untuk kembali ke jalan setapak. Aku hanya meyakini satu hal, bahwa aku akan menjauh dari tempat ayah membalikkan tubuhku.

Aku tak dapat menghitung seberapa jauh kami sudah berjalan, tapi jalan setapak tak jua kami temukan. 

“Apa kita berjalan ke arah yang salah, Pak?!“ tanyaku bingung. Alih-alih menjawab pertanyaanku, ayah mertua tiba-tiba malah menabrak punggungku. Reflek aku membalikkan tubuh, panic menopang tubuh ayah mertua yang ambruk. Mataku melotot tak percaya, "Maman?!" ucapku bingung. Maman berdiri di hadapanku, kedua tangannya memegang erat batang kayu sebesar lengan orang dewasa, dengan posisi siap menyerang. Lalu mengayunkan tinggi-tingi batang kayu di tanganya, kemudian, 

BUUUKKK! 

BUUUKKK! 

BUUUKKK! 

Dia menghantamkan kayu itu bertubi-tubi ke tubuhku, aku tidak sempat menghindar. Kami berdua jatuh terkulai, mataku mulai berkunang-kunang, samar-samar aku masih melihat Maman terus mengayunkan batang kayu di tangannya, memukuli kami. Sakit yang tak terhingga mendera tubuhku tiap kali batang kayu itu menghantam dengan keras. Aku mengerang kesakitan memohon agar Maman berhenti memukuliku. “Ampuuun…ampuuun, tolong berhenti.” Rintihku menghiba, sambil berusaha beringsut dari tempatku.

Namun, Maman benar-benar tidak memperdulikan rintihanku, dia seperti orang kesurupan terus mengayunkan kayu di tangan. Entah berapa lama, tubuhku rasanya remuk, sekilas aku melihat senyum puas di bibir Maman sebelum akhirnya semua menjadi gelap.
________________________ 
BERSAMBUNG


https://www.kaskus.co.id/thread/64d2...ofile&med=post

Diubah oleh nasura2101 12-08-2023 11:46
mnemonic0996810
provocator3301
kubelti3
kubelti3 dan 8 lainnya memberi reputasi
9
847
4
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.3KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.