Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

ih.sulAvatar border
TS
ih.sul
[Cerpen #15] Kekasih Gaib
[Cerpen #15] Kekasih Gaib

Ayahku sering sekali bercerita mengenai kisah cinta masa mudanya. Ayahku dulu seorang playboy, dia berganti pacar seperti berganti pakaian. Dia mengaku pernah berkencan dengan pramugari, artis, bahkan pejabat. Walau aku tak percaya hampir setengah dari ceritanya, semua kisah itu menarik untuk didengar.

Di antara sekian banyak cerita ayah, ada satu yang benar-benar meninggalkan kesan dalam padaku. Itu cerita mistis yang membuatku bertanya-tanya dan masih menjadi misteri hingga sekarang. Katanya, dulu ayah pernah pacaran dengan seorang hantu. Saat pertama kali ayah menceritakan itu, bulu kudukku langsung berdiri.

Aku bukan orang yang percaya hal gaib, jadi aku tak menganggap serius cerita itu. Tapi anehnya, kisah itulah yang pertama kali melintas di kepalaku sehari setelah ayah meninggal.

Dulu saat ayah baru saja menyelesaikan pendidikan sarjana, dia berkenalan melalui seorang wanita di facebook. Kalau tidak salah, nama perempuan itu adalah Bunga. Setelah beberapa chat mereka pun bertukar nomor telepon dan dari situ hubungan jarak jauh mereka dimulai.

Awalnya tidak ada yang aneh, tapi setelah beberapa lama di telepon mulai terdengar samar. Terkadang keheningan yang panjang juga terjadi. Ayah bahkan yakin beberapa kali mendengar isak tangis walau pelan. Ayah tak terlalu ambil pusing dengan itu, namanya juga sedang jatuh cinta. Akhirnya, ayah pun menyampaikan keinginannya untuk bertemu tatap muka.

Awalnya Bunga menolak, tetapi setelah kerja keras selama sebulan lebih ayah akhirnya mendapatkan alamat Bunga. Ternyata Bunga tinggal di daerah yang cukup terpencil, tak ada bus ke sana jadi ayah mengendarai motor kesayangannya selama empat jam hanya untuk bertemu pujaan hatinya. Cinta memang terkadang menakutkan.

Butuh usaha keras untuk sampai ke sana, bahkan motor ayah sempat mogok cukup lama, tapi akhirnya dia pun sampai ke tempat tujuan. Aku bisa membayangkan hatinya yang berdebar-debar akan semangat, bagaimanapun ayah memang pemain cinta yang romantis. Untuk pertama kalinya dia akan bisa memeluk dan mencium kekasihnya yang selama ini hanya berupa suara.

Namun, alamat yang tertulis di kertas ternyata tidak menuju ke rumah mana pun. Setelah bertanya pada orang sekitar ayah akhirnya diarahkan ke pemakaman umum setempat. Di situlah alamat yang Bunga berikan berada.

Kebingungan merasuki hatinya. Apa Bunga anak seorang penjaga kubur? Pertanyaan itu terngiang-ngiang di benaknya.

Akhirnya ayah pun memberanikan diri menelusuri bagian dalam. Kompleks pemakaman itu sudah cukup tua, ada begitu banyak kuburan di sama, tetapi satu kuburan tampak mencolok karena bunga-bunga segar yang menghiasinya.

Di situlah ayah langsung tahu apa yang salah. Dia takut, ingin kabur, tapi hatinya menolak. Pelan-pelan dia memantapkan hatinya, mengatur gerak bola mata, dan menguatkan diri untuk membaca nama yang ada di nisan itu.

Bunga Alara. Tak salah lagi, itulah nama dari kekasih jauhnya. Kekasih yang selama ini hanya dia lihat wajahnya melalui foto ternyata tak lagi ada di dunia ini. Bunga telah tiada, dia telah tidur di bawah sana. Namun itu bukan bagian yang paling seram. Yang paling membuat ayah merasa takut adalah tanggal kematian yang terukir di nisan itu.

Empat tahun yang lalu. Bunga Alara telah meninggal selama empat tahun lamanya. Lalu, siapa yang selama ini menjawab semua panggilan telepon ayah? Orang iseng? Atau … sesuatu yang lebih menakutkan.

Ayah mengakui bahwa itu adalah patah hati terparah yang pernah dia alami. Dia mencoba menelepon Bunga di nomor yang biasa, tetapi panggilan itu tak pernah terhubung kembali. Ketakutan menguasainya, tetapi rasa penasaran mengalahkan ketakutan itu. Akhirnya dia pun melangkah dan bertanya pada siapa pun yang dia temui.

Beberapa penduduk asli di sana kenal dengan Bunga dan memang benar Bunga sudah meninggal selama lebih dari empat tahun. Dengan perasaan waswas ayah pun mengunjungi keluarga Bunga di pinggiran desa. Di sana dia bertemu ibu Bunga dan secara jujur dia menceritakan semuanya.

Ibu Bunga tidak menganggap ayah gila maupun berbohong. Beliau hanya tersenyum dan menangis. Usut punya usut, ternyata Bunga meninggal karena terjatuh dari tebing. Bunga sangat menyukai pemandangan dari atas sana jadi dia secara rutin mengunjungi tempat itu tanpa menghiraukan bahaya. Dan kemudian, suatu hari, dia sial.

“Dia meninggal di tempat yang dia sukai. Kurasa dia tak punya penyesalan.”

Mendengar itu ayah mengangguk, tapi dia mengutarakan keraguannya. “Kalau begitu, siapa yang selama ini kuhubungi? Kalau memang hantunya, kenapa dia menjadi hantu? Apa penyesalannya?”

Ibu Bunga tertegun. Pelan-pelan matanya menatap jauh ke arah tebing.

“Sebenarnya tanah di sana dulu itu milik keluarga kami,” dengan suara pelan dia bercerita. “Karena butuh uang kami menjualnya, tapi Bunga seolah tak rela dan terus bermain ke sana. Mungkin … mungkin dia masih menganggap tempat itu sebagai rumah. Kalau kami bisa membelinya lagi ….”

Di saat itu ayah langsung tahu apa yang harus dia lakukan. Kendati tak pernah bertemu, tapi rasa cintanya pada Bunga nyata adanya. Jika itu adalah permintaan pertama dan terakhir dari kekasihnya maka jelas dia akan mengabulkannya.

Ternyata keluarga Bunga diam-diam sudah menabung uang untuk membeli kembali tanah di atas tebing. Tanpa ragu ayah langsung menjual motor kesayangannya dan memberikan semua uang itu ke Ibu Bunga. Ayah tidak mengharapkan imbalan. Dia hanya berharap agar kekasih gaibnya bisa tenang di alam sana.

***


Aku tak mengerti kenapa, tetapi cerita itu terus saja terngiang di kepalaku. Romantisme masa muda ayah membuatku kagum, setidaknya itu adalah kenangan manis yang membuatku bangga padanya.

Ayah bilang dia tak pernah kembali lagi ke desa itu. Mungkin tempat itu terlalu menyakitkan baginya. Kira-kira apakah keluarga Bunga sudah membali kembali tanah di atas tebing itu? Aku penasaran. Kurasa tak ada salahnya untuk bertamasya dan melihat sendiri cinta yang ayah tinggalkan di Bumi ini.

Akhirnya aku pun memesan tiket bus dan pergi ke desa itu. Transportasi sudah semakin mudah, jalan sudah semakin mulus, dan desa itu sendiri sudah bisa disebut sebagai kota kecil. Saat tiba di sana aku langsung mencari bukti bahwa cerita ayah bukanlah karangan (kurasa aku memang tidak percaya padanya). Aku pergi ke pemakaman dan mencari kuburan Bunga yang dulu membuat ayah patah hati.

Kuburan itu sudah sangat tua, tapi ternyata benar-benar ada. Tiga puluh tahun yang lalu ayah berdiri di sini dan menemui cinta ghaibnya. Kira-kira sudahkah hantu Bunga tenang? Atau jangan-jangan hantu itu masih bergentayangan?

Dari pemakaman aku bisa melihat tebing yang ayah ceritakan. Tebing itu memang tinggi dan tanpa pengamanan, wajar jika seseorang bisa jatuh dari sana. Aku pun bertanya ke orang sekitar tentang kepemilikan tanah di atas tebing itu. Jawaban mereka membuatku kebingungan.

Mereka bilang tak ada apa-apa di sana. Tempat itu hanya lahan tandus milik pemerintah yang tidak terurus. Ada beberapa bangunan bekas peninggalan Belanda, tapi sama sekali tak pernah ada perawatan sehingga tempat itu hanya jadi area terlantar. Dulu pernah ada rencana membangun stadion sepakbola, tapi proyek itu mangkrak dan tak pernah dilanjutkan.

Apa yang kudengar sama sekali tak cocok dengan cerita ayah. Jika tempat itu adalah lahan pemerintah maka bagaimana bisa keluarga Bunga punya tanah di sana? Dan jika memang punya maka siapa yang membeli dan untuk apa itu dibeli?
Rasanya penduduk sekitar tak berbohong padaku, tak ada gunanya mereka berbohong. Ada yang tidak beres di sini. Siapa kira-kira yang salah?

Akhirnya aku pun mencoba mencari keluarga Bunga, siapa tahu masih ada di antara mereka yang tinggal di sini. Sudah tiga puluh tahun berlalu, nyaris tak ada yang mengenal nama Bunga. Untungnya aku bertemu seorang pria tua di salah satu kedai kopi. Dia sudah sangat berumur dan dia mengenal siapa Bunga yang kumaksud.

“Kasihan,” ucapnya setelah mendengar nama itu. “Anak itu pasti tak tenang di alam sana.”

“Kenapa Kek? Arwahnya gentayangan?”

Dia menggeleng keras, wajahnya menunjukkan kebencian yang tidak main-main.

“Keluarganya, ibu dan kakak anak itu menggunakan namanya untuk menipu.”

“Hah?”

“Itu … dua puluh tahun lalu, kurasa. Ada pemuda yang melaporkan mereka ke polisi. Rupanya pemuda itu dijebak di internet. Pemuda itu berkenalan dengan Bunga dan datang ke sini untuk menemuinya. Tapi Bunga sudah meninggal, dia sudah lama meninggal. Yang selama ini berhubungan dengannya adalah kakak si Bunga. Dia menyamar jadi adiknya dan memancing orang ke sini. Saat orang-orang itu sadar Bunga meninggal mereka langsung mengira si Bunga gentayangan sebagai hantu. Setelah itu ibu si Bunga akan menceritakan kisah sedih tentang Bunga yang ingin membeli tanah di atas tebing. Setiap ada yang tertipu mereka akan dapat uang. Licik sekali. Ada yang meninggal kok malah dimanfaatkan?”

Mendengar itu aku hanya menghembuskan napas panjang. Kurasa sudah cukup perjalanan kali ini. Untungnya masih ada bus yang bisa mengantarku pulang.

Di dalam bus mau tak mau aku mengingat kembali ekspresi lembut yang ayah punya setiap kali menceritakan kisah itu. Aku bukan orang yang percaya hal gaib dan cerita kali ini malah membuatku semakin tidak percaya. Ayah memang orang yang romantis, tapi dia tidak terlalu pintar.

Ayah, kuharap kau bisa bertemu Bunga di alam sana.
bonita71
provocator3301
kubelti3
kubelti3 dan 6 lainnya memberi reputasi
7
1.7K
24
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.8KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.