Kaskus

News

Pengaturan

Mode Malambeta
Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

medievalistAvatar border
TS
medievalist
Mulanya Eropa Menggunakan ‘Angka Arab’

Mulanya Eropa Menggunakan ‘Angka Arab’

ILUSTRASI Angka Arab memasuki Eropa dan kegunaannya menarik perhatian orang-orang setempat. | DOK PXFUEL

Mulanya Eropa Menggunakan ‘Angka Arab’
Pada mulanya, penggunaan angka Arab ditentang banyak orang Eropa abad pertengahan.
Al-Khwarizmi memuji-muji Siddhanta karya Brahmagupta di hadapan khalifah Abbasiyah, al-Ma'mun pada 773 M. Sejak itulah, perhatian para sarjana Muslim terhadap legasi peradaban India tersebut kian besar. Penemu aljabar itu sangat kagum pada sistem bilangan India, yang disebut anka—termaktub dalam kitab tersebut.
Seperti halnya al-Khwarizmi, Khalifah al-Ma’mun pun amat terkesan dengan kemudahan yang ditawarkan sistem desimal India, sebagaimana diuraikan dalam Siddhanta. Ada sembilan simbol dengan makna tertentu serta satu simbol yang berarti 'nol'.
Hanya dengan 10 simbol itu, sistem numeral tersebut dapat mengekspresikan angka berapa saja. Kajian atas Siddhanta itu dilakukan al-Khwarizmi atas perintah Khalifah al-Ma'mun.
“Kami memutuskan untuk menjelaskan tentang metode kalkulasi menurut teknik India. Dalam hal ini, ada sembilan angka. Teknik (India) ini begitu simpel dan ringkas sehingga dari angka-angka itu dapat mengekspresikan angka dalam jumlah berapapun,” tulis al-Khwarizmi dalam Al-Jam wa al-Tafriq al-Hisab al-Hindi, seperti dikutip Jonattan Lyons dalam The House of Wisdom: How the Arabs Transformed Western Civilization.
Husain Heriyanto merangkum dalam bukunya, Menggali Nalar Saintifik Peradaban Islam. Ia menjelaskan, al-Khwarizmi merupakan yang pertama menjelaskan efektivitas bilangan nol dalam perhitungan sistem desimal dan pengerjaan operasi aljabar. Dua karya monumental al-Khwarizmi akhirnya dipelajari para ilmuwan Eropa.
Kata bahasa Arab, shifr, yang berarti 'nol' kemudian dipahami secara luas oleh masyarakat Barat sehingga menjadi cipherchiffre, dan akhirnya zero. Mereka juga mengadopsi banyak kata-kata dalam bahasa Arab untuk operasi aritmatika dan aljabar.
Misalnya, penanda eks (x) untuk menunjukkan ‘sesuatu yang belum diketahui nilainya'. Tanda itu sesungguhnya adalah penulisan yang “keliru” untuk simbol syin, yang dipakai al-Khwarizmi untuk menyimbolkan syai`un (‘sesuatu’, dalam bahasa Arab).
Pada abad kedelapan, Dinasti Umayyah berhasil menaklukkan Semenanjung Iberia melalui selat Gibraltar. Sejak saat itu, kedaulatan Islam kian berjaya di Benua Eropa. Pada 929 M, Abdul Rahman III memproklamasikan diri sebagai khalifah serta menjadikan Kordoba sebagai pusat pemerintahan. Sejak saat itu hingga berabad-abad kemudian, kota tersebut menjadi wilayah yang paling maju di seantero Benua Biru.
Aritmatika yang digagas al-Khwarizmi pun diajarkan di kampus-kampus di Kordoba. Bagaimanapun, penggunaan bilangan desimal mulai dikenali orang-orang Eropa berkat Pendeta Gerbert pada 967 M.
Sosok Nasrani berkebangsaan Prancis ini kemudian naik takhta menjadi paus. Gelarnya, Paus Sylvester II. Saat berada di Andalusia, ia membaca banyak karya ilmuwan Muslim, termasuk legasi al-Khwarizmi.
Dari situ, ia pun menyadari, kalkulasi sehari-hari masyarakat Eropa akan jauh lebih mudah apabila menggunakan 10 angka yang diperkenalkan al-Khwarizmi—yakni angka hasil adopsi atas legasi peradaban India (anka). Namun, Pendeta Gerbert justru dipandang dengan penuh kecurigaan oleh sesama masyarakat Kristen pada masa itu.
Sinisme juga ditunjukkan kalangan pendeta. Bahkan, dia dituding telah dirasuki “ajaran sesat” dengan mengajarkan angka-angka Arab kepada para murid.
Pada 1003 atau kurang dari empat tahun sejak diangkat sebagai paus, dia meninggal dunia. Hingga akhir hayatnya, Paus Sylvester II tidak berhasil meyakinkan kalangan Gereja Roma tentang faedah angka Arab untuk kebutuhan praktis. Bahkan, mengutip TV Venkateswaran dalam buku Ubiquitous Indo-Arabic Numerals, pada 1299 M otoritas Kota Florence di Italia melarang penggunaan “angka Arab” (1-2-3-4-5-6-7-8-9-0).
Lebih dahsyat lagi, pada tahun 1348 M, otoritas gerejawi di Padua, Italia, mengeluarkan edaran yakni masyarakat Kristen tidak boleh memakai angka nol, khususnya dalam tulisan. Bagaimanapun, kaum pedagang tidak ambil pusing dengan larangan demikian.
Dalam dunia perniagaan, hal yang terpenting adalah efisiensi, ringkas-waktu, dan keuntungan. Berhitung dengan angka Romawi sungguh-sungguh menyulitkan mereka dalam melakukan transaksi sehari-hari. Maka dari itu, kaum pedagang Eropa lebih menyukai angka Arab.
 
Berhitung dengan angka Romawi sungguh-sungguh menyulitkan.

Venkateswaran menuturkan, situasi komikal sesekali terjadi. Misalnya, suatu kios tiba-tiba diinspeksi pihak otoritas gereja. Pedagang di sana lantas menyerahkan buku catatan yang berisi angka-angka Romawi. Padahal, pemilik kios itu memiliki satu buku lain yang berisi catatan serupa, tetapi memakai angka-angka Arab. Buku “haram” itu disimpan baik-baik dalam laci, jauh dari jangkauan si petugas inspeksi.
Memasuki abad ke-15 M, kekuasaan gereja di seluruh Eropa mendapatkan tantangan dari dinamika intelektual setempat. Masa Renaisans pun dimulai. Revolusi saintifik akhirnya “memaksa” masyarakat Barat untuk menerima angka Arab dalam berbagai kegiatan keilmuan maupun komersial.


https://www.republika.id/posts/39360...-arab%E2%80%99
diknab
diknab memberi reputasi
1
275
1
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Sejarah & Xenology
Sejarah & Xenology
KASKUS Official
6.5KThread11KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Ikuti KASKUS di
© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.