Apa yang terlintas di benak Agan dan Sista jika mendengar kata lontar? Tentunya kita akan teringat dengan buah siwalan yang harum, manis, dan lembut. Tidak lupa juga minuman manis segar dari air sadapan pohon lontar. Namun, ternyata bukan hanya itu manfaat dari pohon lontar, karena di jaman dulu, selain digunakan sebagai bahan atap rumah, daun lontar juga digunakan sebagai lembaran bahan tulis.
Seperti yang tercatat dalam sejarah Indonesia. Sebelum adanya kertas, bahan tulis pertama yang dipakai adalah batu datar dan daun lontar. Bahan tulis tersebut untuk menulis prasasti, naskah, manuskrip, pengumuman, juga surat-surat di kerajaan. naskah tertua yang berbahan lontar yaitu Arjunawiwaha 1256 Saka/1334 (5) M.
Lontar adalah suatu jenis pohon palem yang dalam bahasa Jawa dan Sunda disebut pohon Siwalan, dan di Sulawesi disebut Lontara. Pohon ini sering juga disebut rontal, dari kata ‘Tal’, yaitu bahasa sansekerta ‘tala’ berarti palm atau daun palma untuk menulis. Sedangkan kata siwalan/sawala/suwalapattra berarti surat, tetapi juga digunakan untuk menyebut daun pohon ‘tal’.
Bentuk pohon ini sangat mirip dengan pohon kelapa, tapi helai daunnya menyambung jadi satu hingga menjadi lebar. Nama ilmiah dari pohon ini adalah
Borassus flabellifer. Lontar digunakan sebagai media alas tulis di kawasan Asia Tenggara dan Asia Selatan. Di Nusantara penggunaan daun lontar sebagai media tulis terdapat di Sunda Jawa, Bali, Madura, Lombok dan Sulawesi Selatan.
Dalam thread kali ini, yang akan kita bahas adalah bahan tulis dari daun lontar atau juga disebut sebagai daun tal. Namun, bagaimana bisa sebuah daun lontar bisa digunakan untuk media tulis?
Ternyata, dari daun lontar hingga sampai bisa digunakan sebagai media tulis itu harus melalui suatu proses yang sangat panjang dan lama. Bagaimanakah prosesnya? Disini TS mencoba mengupas tentang proses pembuatan dari daun lontar hingga siap ditulisi.
Quote:
Quote:
1. Proses Pemetikan Daun
Pembuatan kertas lontar dimulai dari pemetikan daun lontar yang sudah tua, biasanya dipetik di bulan Maret-April atau September-Oktober. Jaman dulu, menurut kepercayaan, pemetikan ini harus dilakukan langsung di pohonnya, jadi pemetik harus memanjat pohon dan tidak boleh jatuh ke tanah, karena kalau daun lontar sampai menyentuh tanah, maka dipercaya nantinya kualitas daun akan menjadi tidak bagus.
Daun yang dipilih adalah daun yang sudah tua. Setelah dipetik, maka daun lontar dipotong-potong kasar berukuran besar dan dijemur di bawah terik matahari selama 2-3 hari hingga kering, dan daun menjadi berwarna kekuningan.
Ketika daun sudah benar-benar kering, lalu daun direndam lagi di air mengalir selama beberapa hari sampai daun menjadi lemas dan lentur kembali. Kemudian lidi atau tulang daunnya dihilangkan, permukaannya juga dibersihkan dan dihaluskan dengan cara digosok dengan sabut kelapa atau batu apung.
Quote:
2. Proses Penjemuran dan Perebusan
Setelah bersih dan halus, maka daun lontar akan menjalani proses perebusan dan penjemuran ke-dua. Daun lontar dipotong-potong hingga berukuran lebih kecil, kemudian diikat dan kembali dijemur di terik sinar matahari selama 2-3 hari sampai kering lagi.
Lalu, setelah penjemuran yang ke-dua ini, daun yang masih dalam ikatan itu dimasukkan dalam suatu kuali besar yang terbuat dari tanah liat, lalu direbus dengan air yang bercampur dengan ramuan berbagai macam rempah rempah. Antara lain; temu ireng, temu tis, jagung muda, gambir, kemiri, cengkeh, jebug garum, mesui, merica, kayu manis, dan masih banyak lagi campuran rempah lainnya.
Proses perebusan itu memakan waktu sampai 8 jam lamanya. Tujuan perebusan ini adalah untuk mengawetkan dan mempertahankan struktur serat daun agar bisa awet dan tahan lama.
Saat proses perebusan selesai, maka untuk ketiga kalinya, pada pagi hari, daun lontar akan dijemur lagi di atas tanah. Lalu sore harinya daun-daun itu diangkat dari atas tanah, dan tanah di bawahnya dibasahi dengan air, lalu daun-daun itu kembali diletakkan di atas tanah yang sudah basah tadi hingga keesokan harinya.
Tanah di bawah tempat penjemuran daun itu harus dibasahi dengan tujuan untuk mempertahankan kelembaban daun, juga mencegah agar daun tidak menggulung dan tetap lurus. Keesokan paginya, daun lontar diangkat, ditumpuk jadi satu, lalu dipres dengan alat semacam penjepit dari kayu yang berukuran sangat besar. Proses pengepresan ini sendiri memakan waktu yang lama, tiap dua minggu sekali, daun di angkat dan dibersihkan, lalu di letakkan dalam alat pres lagi, begitu seterusnya sampai 6 bulan lamanya.
Selesai proses pengepresan, maka daun akan dipotong-potong persegi panjang sesuai ukuran yang dibutuhkan, kemudian diberi tiga lubang, yaitu bagian ujung kiri, tengah dan ujung kanan. Jarak dari lubang tengah dan lubang ujung kanan harus lebih panjang daripada lubang tengah ke lubang ujung kiri. Tujuannya adalah sebagai penanda pada saat penulisan nanti.
Pada pembuatan lontar zaman dulu, pada tepian-tepian daun lontar ini dicat dengan warna merah, tapi pada pembuatan sekarang tidak di cat lagi. Kini daun lontar itupun sudah jadi dan siap ditulisi dan lembaran daun lontar itu berubah nama menjadi lempir lontar (Jawa), atau pepesan (Bali).
Quote:
3. Proses Penulisan
Sebelum mulai ditulisi, maka lembaran lontar biasanya akan diberi garis-garis panduan agar tulisan tetap lurus dan rapi, sama seperti buku tulis kertas jaman sekarang. Pemberian garis-garis ini terbilang unik, karena memakai alat yang disebut panyipatan, yaitu tali kecil yang direntangkan dan diikatkan pada dua pasak bambu kecil di kiri kanan, pasak bambu kecil ini "dipakukan" pada sebuah bidang datar, dan nantinya lembaran lontar akan ditaruh di bawah tali yang terentang itu.
Kemudian, tali kecil itu diolesi dengan "tinta" yang terbuat dari hancuran arang atau jelaga yang diberi air. Setelah lembaran lontar ditaruh di bawah tali itu, di tempat yang akan diberi garis-garis panduan, lalu tali itu ditarik ke atas dan dilepaskan, maka tali akan terpental kembali dan ”tinta" dari arang atau jelaga yang menempel di tali tadi akan terciprat ke permukaan lembaran lontar hingga membentuk suatu garis lurus hitam. Proses ini diulangi untuk membuat garis yang lain, tergantung berapa jumlah garis yang diinginkan.
Selesai dengan garis panduan, maka barulah mulai penulisan. Alat tulis yang digunakan adalah semacam pisau kecil khusus yang disebut dengan pengutik, pengropak (Jawa, Bali), atau pangot (Sunda). Bahkan bentuk-bentuk dari pisau ini pun juga khusus dan unik.
Sebenarnya yang disebut menulis atau mengutik disini bukanlah menulis biasa, tetapi lebih tepatnya "mengukir" atau "menoreh" di atas lembaran lontar dengan pisau, hingga tercetak huruf ukiran, tetapi tidak sampai menembus daun lontar, karena biasanya, bagian halaman sebaliknya dari daun lontar itu akan "ditulisi" juga.
Huruf atau aksara yang digunakan dalam penulisan di daun lontar adalah aksara Jawa, Bali, juga Sunda. Sedangkan bahasanya juga memakai bahasa Jawa, Bali, Sunda, juga Sansekerta.
Selesai penulisan, maka huruf yang terukir pada lembaran lontar itu harus dihitamkan agar dapat dibaca dengan lebih jelas. Penghitaman tulisan ini dilakukan dengan memakai kemiri yang dibakar sampai menjadi hitam dan di oleskan ke ukiran tulisan pada lempir lontar tersebut.
Pemakaian kemiri sebagai penghitam ini punya dua tujuan, disamping untuk menghitamkan tulisan, minyak yang dihasilkan dari pembakaran kemiri itu juga digunakan untuk menghapus garis-garis panduan tulisan tadi. Setelah diolesi dengan kemiri beserta minyaknya, lalu lembaran lontar itu di bersihkan dengan lap yang di olesi minyak sereh agar lebih awet tahan lama dan tidak dimakan serangga.
Lalu tumpukan lontar itu disatukan dengan tali melalui lubang di tengah lontar dan dijepit dengan dua buah jepitan yang disebut sebagai cakepan. Namun, kadang lembaran lontar ini disimpan di dalam sebuah peti kecil yang disebut kropak.
Demikianlah proses pengolahan daun lontar hingga menjadi lempir-lempir lontar. Butuh ketekunan, kesabaran, dan waktu yang sangat panjang. Apalagi di jaman dulu belum ada tehnologi seperti sekarang, tentunya proses pengolahan itu jadi semakin sulit.
Selain di Jawa, di Sulawesi Selatan pun juga ada manuskrip yang terbuat dari daun lontar yang disebut sebagai lontara. Bentuknya berbeda dari lontar Jawa, Lontara Sulawesi Selatan terbuat dari daun lontar yang disambung-sambung hingga berbentuk sangat panjang dan sempit, lalu digulung hingga menyerupai gulungan pita kaset recorder. Faktanya, lontara Sulawesi Selatan ini sekarang sangatlah langka, menurut catatan, kini hanya tinggal tiga buah saja.
Lontar masih digunakan sampai sekitar abad 18, tetapi setelah kertas mulai masuk ke Indonesia sekitar abad 19, maka daun lontar pun menjadi punah. Namun tetap saja, lontar adalah bagian sejarah dari Indonesia. Tak terbayangkan, jaman dulu, dengan peralatan yang sangat tradisional, nenek moyang kita bisa menemukan cara bagaimana daun lontar sampai bisa dijadikan bahan tulis. Memang sungguh luar biasa sekali nenek moyang kita.
Jika dibandingkan dengan sekarang, kita bisa membeli kertas dimana saja dengan harga yang sangat murah, bahkan tak sedikit kertas yang terbuang percuma. Padahal jaman dulu, butuh waktu 6 bulan 12 hari bagi nenek moyang kita hanya untuk membuat sebuah bahan tulis.
Kini kertas daun lontar hanya berupa manuskrip dan dokumen dari kerajaan-kerajaan jaman dulu. Meskipun masih banyak juga orang yang mempelajari proses pengolahan dan cara penulisan pada daun lontar ini.
Sebenarnya banyak sekali kegunaan dari daun lontar ini, selain sebagai bahan tulis, juga digunakan sebagai atap gubuk, aneka macam karya seni berupa lukisan, bahkan juga sebagai pembungkus makanan dan kerajinan anyaman tikar.
Source