Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

mabdulkarimAvatar border
TS
mabdulkarim
Dewan Papua mendesak TNI hentikan operasi penyelamatan pilot Susi Air

Dewan Papua mendesak TNI hentikan operasi penyelamatan pilot Susi Air

Ketua Nieuw Guinea Raad atau Dewan Papua, Aminus Balingga (kenakan topi) didampingi Wakil Ketua Dewan Papua Wilayah Tabi, Hakim Pahabol (tengah), dan Wakil Ketua Dewan Papua Wilayah Lapago, Siram Wenda (kanan). – Jubi/Theo Kelen.
Jayapura, Jubi – Nieuw Guinea Raad atau Dewan Papua mendesak TNI/Polisi menghentikan operasi penyelamatan pilot Susi Air, Kapten Philip Mark Mahrtens yang disandera kelompok bersenjata Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat atau TPNPB sejak Februari 2023. Dewan Papua juga harap bupati maupun DPRD dapat menyuarakan situasi yang sedang terjadi di Papua.
Ketua Dewan Papua, Aminus Balingga menyatakan Pemerintah Indonesia melalui TNI/Polri harus menghentikan operasi penyelamatan pilot pesawat Susi Air karena hanya akan membahayakan keselamatan warga sipil dan nyawa pilot pesawat Susi Air itu. Menurut Balingga operasi penyelamatan pilot pesawat Susi Air ini juga mengakibatkan terjadi pengungsian di beberapa daerah, yakni di Kabupaten Nduga, Papua Pegunungan dan Kabupaten Intan Jaya dan daerah Ilaga, Kabupaten Puncak, Papua Tengah.

Pemerintah Indonesia tidak bisa selesaikan [masalah Papua maupun penyelamatan pilot pesawat Susi Air] dengan pendekatan militer. [akibat konflik] ini sampai hari ini masyarakat takut keluar [rumah untuk ke] kebun. Ini masalah, ini masyarakat kecil bukan TPNPB. Tentara [TPNPB] mereka itu ada di hutan harusnya TNI/Polri kejar di hutan,” kata Balingga di Kota Jayapura, pada Kamis (20/4/2023).

Operasi penyelamatan pilot Susi Air dijalankan TNI/Polri setelah TPNPB yang dipimpin Egianus Kogoya menyandera pilot pesawat Susi Air berkebangsaan Selandia Baru, Philip Mark Mahrtens pada 7 Februari 2023. Dalam operasi itu, TNI terus berupaya membatasi pergerakan kelompok Egianus Kogoya, hingga terjadi serangan TPNPB terhadap pasukan TNI di Distrik Mugi, Kabupaten Nduga, pada Sabtu (15/4/2023).

Dewan Papua mendesak TNI hentikan operasi penyelamatan pilot Susi Air
Pilot Susi Air, Kapten Philip Mark Mahrtens bersama kelompok bersenjata TPNPB. – dok
Serangan itu menyebabkan Pratu Miftahul Arifin, Pratu Ibrahim, Pratu Kurniawan, dan Prada Sukra meninggal dunia. Pada Selasa, Panglima TNI mengumumkan status operasi penyelamatan pilot Susi Air ditingkatkan menjadi siaga tempur.

Balingga menyatakan Dewan Papua sangat prihatin atas operasi dalam upaya operasi penyelamatan pilot pesawat Susi Air yang disandera TPNPB. Balingga menyatakan operasi yang dilancarkan TNI/Polri tidak akan menyelesaikan masalah melainkan hanya menimbulkan konflik berkepanjangan.

Balingga menyatakan negosiasi damai yang dimediasi Perserikatan Bangsa-Bangsa merupakan langkah yang tepat dalam upaya pembebasan pilot pesawat Susi Air. Ia menyatakan Pemerintah Indonesia harus berani membuka diri menyelesaikan masalah di Papua melalui meja perundingan.

Jakarta [pemerintah Indonesia] harus buka diri, tapi selama ini Jakarta tidak pernah buka diri. Kami harap pemerintah Indonesia punya hati nurani kemanusian bisa duduk sama-sama di meja perundingan. Supaya jangan sampai konflik ini [membuat] rakyat yang tidak tahu masalah menjadi korban,” ujarnya.

Balingga juga menyatakan bupati maupun DPRD tidak boleh hanya duduk diam melihat konflik sedang terjadi di Papua. Balingga berharap para pimpinan pemerintah daerah secara serius terlibat dalam penyelesaian konflik di Papua.

“Itu harapan kami terhadap pemerintah Papua yang ada di wilayah konflik harap tidak boleh tutup informasi. Bupati, DPRD tidak boleh semua membisu atau diam,” ujarnya. (*)
https://jubi.id/tanah-papua/2023/dew...ilot-susi-air/

aku jarang dengan dewan Papua ;D









Negara Sering Gunakan Pasal Makar Membungkam Ruang Demokrasi di Tanah Papua
Dewan Papua mendesak TNI hentikan operasi penyelamatan pilot Susi Air
Tiga pembicara Dr Methodius Kossay, SH, M.Hum, Helmi, SH, dan Emanuel Gobay, SH, MH saat tampil dalam diskusi publik bertajuk Profesionalisme Hakim Dalam Pemeriksaan dan Putusan Kasus Pasal Makar di Pengadilan Negeri Klas 1A Abepura di Aula Kebesma Universitas Cenderawasih (Uncen), Jayapura, Papua, Kamis (20/4). Foto: Alpius Uropmabin
  986 Total Pengunjung,  986 Pengunjung Hari Ini
JAYAPURA, ODIYAIWUU.com — Pasal makar sering digunakan negara melalui aparat penegak hukum, terutama para hakim dalam proses dan praktik penegakan hukum untuk membungkam ruang demokrasi dan kebebasan berekspresi di muka umum di tanah Papua. Pasal Makar masih salah ditafsir berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 7 Tahun 2017 tentang Penggunaan Pasal Makar.

Pasal makar di tanah Papua masih dijadikan alat negara kemudian digunakan oleh aparat penegak hukum untuk membungkam ruang demokrasi dan berekspresi di muka umum,” ujar aktivis Koalisi Penegak Hukum dan Ham Papu Helmi, SH dalam diskusi publik di Aula Kebesma Universitas Cenderawasih (Uncen), Jayapura, Papua, Kamis (20/4)

Diskusi yang digelar Amnesty Chapter Uncen bertajuk Profesionalisme Hakim Dalam Pemeriksaan dan Putusan Kasus Pasal Makar di Pengadilan Negeri Klas 1A Abepura, Jayapura, mengadirkan pula dua pembicara lain yaitu Koordinator Penghubung Komisi Yudisial RI Provinsi Papua Dr Methodius Kossay, SH, M.Hum dan Direktur Lembaga Bantuan Hukum Papua Emanuel Gobay, SH, MH.

Saya melihat hakim tidak profesional dalam menegakkan hukum dan hak-hak asasi manusia di tanah Papua. Misalnya, kasus hukum yang membelit sejumlah mahasiswa seperti Gerson Pigai, Camus Bayage serta juru bicara internasional KNPB sekaligus juru bicara internasional Petisi Rakyat Papua Victor Yeimo,” lanjut Helmi.

Helmi menilai, hingga saat ini negara masih menerapkan sistem kolonial membungkam ruang demokrasi dan kebebasan berekspresi melalui pasal makar menjerat aktivis mahasiswa di tanah Papua.

Esensi pasal makar masih salah direkatkan dalam berbagai kasus hukum yang terjadi di Papua, terlebih terkait kasus yang dialami mahasiswa atau berbagai kelompok pro demokrasi,” tegas Helmi.

Helmi mengatakan, ruang gerak mahasiswa Papua hendak menyampaikan aspirasi sulit. Pemerintah selalu membangun pendekatan dengan pihak aparat guna membungkam bahkan menghadang aksi massa saat mengisi ruang demokrasi melalui kebebasan berekspresi di muka umum.

“Kami sangat prihatin perkembangan hak asasi manusia di Indonesia, terutama yang terjadi di tanah Papua. Melarang bahkan membungkam ruang demokrasi dan kebebasan berekspresi di muka umum merupakan tindakan melanggar hukum dan konstitusi negara,” ujar Helmi.

Menurut Emanuel, saat ini orang Papua diperhadapkan dengan stigma politik dan rasisme yang mengakar. Aparat keamanan masih menerapkan pola-pola lama dalam praktik penerapan hukum. Aneka stigma politik dominan dan selalu mempengaruhi keputusan hukum.

“Atas dasar berbagai stigma terhadap orang Papua, kerap aparat penegak hukum, termasuk para hakim terkesan tidak profesional dan mengabaikan kode etik dalam penerapan hukum. Contoh nyata adalah kasus yang dialami aktivis Victor Frederik Yeimo. Ruang demokrasi dibungkam,” ujar Emanuel.

Menurut Emanuel, belakangan tersiar informasi bahwa hakim yang menangani kasus Victor Yeimo akan memindahkan berkas Yeimo untuk menjalani proses persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Makassar, Sulawesi Selatan.

Skenario memindahkan berkas Victor Yeimo ke Pengadilan Negeri Makasar adalah cara untuk menunda putusan kepada Victor Yeimo. Buktinya, putusan perkara sudah kali ditunda dua kali,” lanjut Emanuel.

Emanuel menyebut, pihak kepolisian terus membatasi hak-hak demokrasi mahasiswa dengan alasan tidak boleh dilakukan karena tidak ada surat izin ke pihak kepolisian. Padahal, dalam undang-undang kegiatan berekspresi di muka umum hanya berupa pemberitahuan.

Kepolisian menggunakan alasan bahwa aksi demo harus mengantongi surat izin sehingga menghalang-halangi mahasiswa. Padahal, sesuai aturan bukan demimikian tetapi yang dimaksud berupa pemberitahuan,” katanya.

Methodius menegaskan, hakim yang tidak menjalankan kode etik segera dilaporkan kepada Komisi Yudisial. Hukum berlaku adil untuk semua orang, tidak memihak kepada golongan atau etnis tertentu.

“Bila ada hakim yang ketahuan tidak menjalankan profesi sesuai instruksi konsitusi segera dilaporkan. Setelah menerima laporan, kami akan turun dan melakukan pemantauan terhadapa sepak terjang hakim dalam proses penegakan hukum,” ujar Methodius, intelektual muda putra asli Papua dan doktor hukum lulusan Universitas Trisakti, Jakarta.

Methodius, Magister Hukum lulusan Universitas Atma Jaya Yogyakarta, lebih jauh mengatakan, Komisi Yudisial Provinsi Papua baru bekerja di Papua sejak November 2022 dan kini baru memasuki empat bulan usianya. Hal ini tentu membuat masyarakat dan elemen-elemen lain belum tahu keberadaan lembaga ini.

“Saya berharap Komisi Yudisial RI Perwakilan Povinsi Papua didukung masyarakat dan semua pihak guna melancarkan tugas dan tanggug jawab untuk melayani masyarakat guna mewujudkan keadilan di tengah masyarakat, terutama masyarakat kecil dan terpinggirkan di tanah Papua,” kata Methodius.

“Kami sangat membutuhkan dukungan masyarakat dan semua elemen demi mewujudkan keadilan di tanah Papua, termasuk melonggarkan ruang demokrasi dan kebebasan berekspresi yang kerap tersumbat,” lanjut Methodius, doktor muda asal Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua Pegunungan. Diskusi dipandu Jhon F Tebai. (Alpius Uropmabin, Ansel Deri/Odiyaiwuu.com)

https://www.odiyaiwuu.com/2023/04/21...kam-demokrasi/

Pembungkaman pasal makar untuk menghalangi aspirasi kemerdekaan KNPB dan gerakan anti rasisme berbalut seperartisme..
tpnpbopm
scorpiolama
nomorelies
nomorelies dan 2 lainnya memberi reputasi
3
1.5K
13
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
672.2KThread41.8KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.