lonelylontong
TS
lonelylontong
Opini Ane Berkaitan Dengan Kasus Ridwan Kamil Vs Sabil
Setelah membaca beberapa trit di kaskus, tentang pemecatan seorang guru yang berawal dari kritiknya pada Ridwan Kamil, maka ane merasa perlu membuat trit ane sendiri.

Karena dari sekian banyak trit, belum ada yang bisa mewakili perasaan dan opini ane mengenai kasus ini.

Dalam melihat masalah ini, ane akan membaginya jadi tiga bahasan :

1. Masalah bahasa.
2. Unggah-ungguh seorang rakyat.
3. Unggah-ungguh seorang pemimpin.

Ane nggak akan bahas Pak Sabil dan Pak Ridwan Kamil-nya secara pribadi. Ane juga tidak akan menyampaikan opini ane tentang kasusnya sendiri secara spesifik.

Tentang hal-hal itu, mikiro dhewe-dhewe.

-----

Gbr diambil dr ClassicalWisdom.com

1. BAHASA

Seringkali kita meremehkan bahasa. Coba diingat-ingat atau dirasa-rasa, menurut diri kita, mana yang lebih penting? Pelajaran Bahasa Indonesia, atau Matematika, Fisika, Kimia dan Biologi?

Padahal, secara keilmuan, bahasa itu sangat penting.

Secara filosofis, bahasa itu alat kebenaran. Bahasa latin Logos, bisa diartikan sebagai kata/bahasa, tapi juga punya arti logika, kebenaran, dst.

Tanpa bahasa, manusia tidak akan berkembang sepesat sekarang ini. Kemampuan menghadirkan sebuah simbol (bahasa) untuk mendeskripsikan sebuah realita, konsep dan pemikiran, itu salah satu syarat utama bagi manusia untuk menjadi semaju sekarang ini.

Dari salah satu sudut pandang perkembangan bahasa menurut masyarakatnya, menurut TS pribadi ada dua kelompok besar.

Yaitu kelompok masyarakat, di mana bahasa itu hadir (dengan kental) secara berjenjang. Misalnya Bahasa Jawa, ada kromo inggil, kromo dan ngoko.

Ada perkembangan bahasa dalam masyarakat yang relatif tidak berjenjang, contohnya Bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia yang baku, tidak secara jelas mengkotak-kotakkan kata-kata, berdasarkan kelas sosial penggunanya.

Apa yang tersirat di sini (ketika bahasa dibuat berjenjang dan berkasta)?

Ketika bahasa dibuat berjenjang, berkasta dan berkelas, maka secara tersirat dia mengatakan, bahwa manusia itu tidak sederajat. Ada perbedaan kasta. Ada perbedaan kelas.

Sehingga untuk kelompok manusia tertentu, harus menggunakan bahasa tertentu.

Maka tidak heran, jika perkembangan jenis bahasa semacam ini, sangat umum terjadi di masa-masa feodal.

Ketika dikaitkan dengan fungsi bahasa (logos) sebagai pembawa kebenaran, maka muncul konsekuensi, bahwa "kebenaran"-pun jadi dilihat dari kasta mana yang mengucapkan.

Kebenaran jadi semakin sulit untuk muncul dan ditafsirkan secara obyektif, karena ketika dia dikatakan (bahasa digunakan) pada saat itu juga, sudah muncul embel-embel tambahan : siapa yang mengatakan dan kepada siapa pesan itu disampaikan.

Secara tersirat, saat dia dibahasakan, langsung muncul sebuah pertanyaan yang membayangi pesan itu, "Kastamu itu apa? Kamu bicara dengan kasta apa?"

-----

Sebaliknya ketika bahasa itu sendiri hadir "minim" pemisahan kasta. Maka secara tersirat, dia mengakui kesederajatan setiap manusia, bahwa tiap insan memiliki hak untuk menyatakan kebenaran yang dia yakini.

------

Karena kasus yang terjadi itu adalah dalam konteks penggunaan bahasa, di mana bahasa itu dibuat berjenjang.

Maka 2 poin bahasan berikutnya hadir dalam konteks di mana bahasa itu menunjukkan, siapa yang bicara dan terhadap siapa dia bicara.

***********

Gbr diambil dr BBC.com


2. Unggah-ungguh seorang Rakyat.

Ketika rakyat jelata bicara pada penguasa, atau strata yang harusnya dia hormati. Maka bahasa yang dipakai, berbeda dengan bahasa yang dia pakai dengan orang yang sederajat.

Di sini, mestinya ada kesuka relaan yang muncul dari dalam hati. Sebuah pengakuan, bahwa yang diajak bicara itu memang pantas untuk dihormati. Misalnya ketika berbicara pada orang tua, guru, dst.

Ketika bahasa itu digunakan, bukan dari rasa hormat yang memang muncul dari dalam hati, maka disadari atau tidak, penggunaan bahasa itu menjadi bentuk kemunafikan dan kepengecutan.

Sehingga, kalau seorang rakyat bicara pada pemimpin yang baik dan layak dihormati, tetapi menggunakan bahasa yang kasar, itu bisa diartikan dua hal.

1. Orang tersebut tidak punya sopan santun.
2. Secara tersirat, orang tersebut menyatakan pendirian/opini/perasaannya, bahwa yang diajak bicara itu, tidak layak untuk menjadi seorang pemimpin. Sedemikian rupa sehingga bahasa yang digunakan pun, bukanlah bahasa yang mestinya digunakan ketika berbicara pada seorang yang dihormati.

Ketika kasus kedua yang terjadi, maka tentu itupun adalah pandangan subyektif dari orang yang berbicara tadi.

Rakyat lain yang mendengar bisa beresonansi, bisa tidak.

Mungkin akan ada yang menganggap dia kurang ajar dan mungkin juga sebaliknya.

Tergantung pada sosok pemimpin tadi. Semakin dia dicintai rakyatnya, akan semakin banyak yang menganggap penggunaan bahasa tadi kurang ajar. Demikian pula sebaliknya.

-------

Gbr diambil dr wartakota.tribunnews.com

3. Unggah-ungguh Seorang Pemimpin.
Penghormatan itu selayaknya muncul secara sukarela. Seorang pemimpin yang mawas diri, tidak akan memaksa rakyatnya untuk menghormati dia. Sebaliknya, rakyatnya akan secara sukarela menghormati dia.

Dan ketika pemimpin yang mawas diri tadi, bertemu dengan rakyat yang tidak menghormati dia, seyogyanya yang timbul adalah intropeksi diri, "Apakah ada kebijakanku yang salah, sehingga orang ini bersikap demikian?"

Tentu akan selalu ada orang yang tidak puas, sebaik apapun seorang pemimpin itu bekerja. Sehingga pemimpin memang seyogyanya memutuskan dan melakukan apa yang terbaik menurut dia.

Akan tetapi, bukan berarti kemudian, seorang pemimpin memaksa setiap rakyatnya untuk menghormati dia.

Justru pemimpin yang didambakan rakyat (dari jaman dulu sampai jaman sekarang) adalah pemimpin yang merakyat.

Dalam banyak dongeng kanak-kanak yang sering kita dengar, salah satu tema yang sering muncul adalah raja atau putera mahkota, yang terjun ke tengah-tengah rakyatnya, sambil menyamar sebagai orang miskin.

Ini salah satu gambaran, betapa secara psikologis, di dalam hatinya, setiap rakyat itu menginginkan pemimpin yang merakyat.

Bukan pemimpin yang justru berusaha menegaskan "kasta"nya sebagai kasta di atas rakyat jelata.

Pemimpin itu mendapatkan penghormatan rakyat, lewat bakti dia pada rakyat, lewat pengayoman dia pada rakyat, lewat kepedulian dia pada rakyat.

Bukan lewat kekuasaannya.

------

Pemimpin yang dihormati rakyatnya, karena pengabdian, pengayoman dan kepeduliannya pada rakyat, akan dikenang sebagai seorang pemimpin yang besar.

Sementara seorang pemimpin yang menuntut rakyat untuk menghormatinya, lewat kekuasaan yang dia miliki, akan dikenang sebagai seorang tiran.



Sumber referensi
1. https://www.newworldencyclopedia.org/entry/Logos
2. https://ojs.unm.ac.id/pubpend/article/view/1413
3. https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-64987596
Diubah oleh lonelylontong 18-03-2023 17:32
indrag057xoxoansenioradolfsbasthian
adolfsbasthian dan 14 lainnya memberi reputasi
15
3.4K
245
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Education
Education
icon
22.4KThread13.2KAnggota
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.