Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

rakitpcmendingAvatar border
TS
rakitpcmending
Fundamental Kokoh, Bank di RI Tak Akan Kolaps Seperti SVB!



Jakarta, CNBC Indonesia - Krisis yang dialami bank Amerika Serikat (AS), Silicon Valley Bank (SVB) hingga Signature Bank, yang menghebohkan pasar global membuat investor pasar saham domestik ikut was-was. Kabar baiknya, kondisi perbankan utama RI terbilang solid dan hanya mengalami riak-riak kehebohan tersebut.

Sedikit kilas balik. Sebelum krisis, SVB mengalami berkah tech boom ketika startup tumbuh tinggi kala pandemi 2020. Maklum, SVB dikenal bank ramah startup.
Angka dana simpanan SVB pun menggelembung dari US$60 miliar pada 2019 menjadi hampir US$200 miliar pada 2022.

Kemudian, bank asal California tersebut menginvestasikan dana simpanan ke surat utang pemerintah AS (US Treasuries) jangka panjang dan Mortgage-Backed Securities (MBS) atau Efek Beragun KPR.

Masalah lantas muncul ketika bank sentral AS, Federal Reserve (The Fed), mulai menaikkan suku bunga secara agresif.

Bersamaan dengan itu, tingkat bakar uang (cash burn) para klien SVB, yang adalah startup, tetap tinggi di tengah pasar saham yang sedang melemah. Para perusahaan startup pun mulai menarik dana deposit mereka untuk menjaga kelangsungan bisnis.

Dampaknya, SVB mulai mengalami kerugian yang belum teralisasi (unrealized loss) untuk aset investasi yang ditahan sampai jatuh tempo (HTM) US$15 miliar. Unrealized loss tersebut melampaui modal inti utama (common equity Tier 1/CET1) bank yang sebesar US$13,7 miliar dan hampir mendekati total modal US$18,4 miliar per akhir 2022.

Informasi saja, CET1 adalah instrumen modal berkualitas tinggi dalam bentuk saham biasa (common stock) dan tidak memiliki fitur preferensi dalam pembayaran dividen/imbal hasil.

CET1 adalah ukuran modal yang berguna sebagai alarm dini untuk melindungi ekonomi dari krisis finansial.

Melihat kondisi tersebut, lembaga rating macam Moody's dan S&P pun menurunkan peringkat SVB satu atau dua notch dengan outlook negatif.

Kemudian, pada 8 Maret, SVB mengumumkan, bank sudah menjual US$21 miliar dari portofolio yang tersedia untuk dijual (AFS) dengan kerugian hingga US$1,8 miliar. Bank pun memutuskan untuk mencari tambahan modal sebesar US$2,25 miliar via saham biasa dan mandatory convertible preference shares.

Upaya penambahan modal, di tengah salah satu bank ramah kripto Silvergate Bank yang juga baru saja kolaps, membuat nasabah SVB panik dan memicu penarikan dana (rush) hingga US$42 miliar (24% dari total dana simpanan) pada 9 Maret.

Pada 10 Maret SVB pun mengumumkan bank mengurungkan rencana penjualan saham tapi gagal menenangkan nasabah dan pemegang saham hingga akhirnya regulator AS menutup bank tersebut dan menjamin dana nasabah.

Singkatnya, sejumlah problem utama SVB bermula dari terlalu terkonsentasinya basis deposan atau nasabah yang merupakan startup dengan tingkat bakar yang tinggi.

Kemudian, masalah lainnya investasi yang terlalu besar di kala kenaikan suku bunga (57% dari total aset per akhir 2022). Alhasil, SVB kesulitan dan terpaksa mencairkan investasi tersebut untuk melayani penarikan dana simpanan.

Artinya, SVB tidak memerhatikan problem risiko konsentrasi baik soal aset dan liabilitas. Selain itu, SVB tidak memerhatikan pentingnya likuiditas jangka pendek untuk berjaga-jaga kala ada penarikan dana deposan.

Meneropong Bank RI

Apabila melihat kasus di atas, secara umum bank besar di Indonesia, yang menjadi penopang ekonomi dan pasar saham Tanah Air, memiliki fundamental yang positif, dengan likuiditas yang baik pula.

Angka liquidity coverage ratio (LCR) bank-bank utama RI lebih dari 150%, di atas batas minimum 100%.

Sebut saja, PT Bank Sentral Asia Tbk (BBCA) dengan rasio LCR sangat tinggi, sebesar 401,8%, kemudian PT Bank CIMB Niaga Tbk (BNGA) 230,9%.

Tiga bank besar BUMN juga punya LCR yang bagus. PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) 223,4%, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) 199,4%, PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) 186,8%.

Secara sederhana, LCR adalah aset likuid berkualitas tinggi (HQLA) dibagi dengan outflow kas bersih (net cash outflow).

Sedangkan, net cash outflow berarti total aliran kas keluar yang diharapkan selama 30 hari.

LCR berguna sebagai ukuran penting bagi bank untuk menghindari krisis likuiditas.

Sejumlah riset menyebut, bank-bank RI juga menaruh dana di instrumen pasar uang dengan wajar dan dapat dikonversi menjadi kas melalui divestasi dan repurchase agreement (repo).

Selain LCR, bank-bank kakap RI juga punya penyangga (buffer) modal yang cukup.

Rasio CET1 bank-bank tersebut di atas ketentuan regulator (4,5% dari aset tertimbang menurut risiko/ATMR). Sebut saja, BBCA memiliki rasio CET1 sebesar 25,9%, Bank Danamon (BDMN) 25,5%, hingga BBRI 24,1%.

Komentar Moody's hingga OJK

Pada Selasa (14/3), Moody's juga menyebut, mayoritas institusi keuangan di kawasan Asia-Pasifik (APAC) hanya mengalami dampak terbatas dari bangkrutnya bank-bank AS seiring LCR dan Net Stable Funding Ratio (NSFR) yang sehat.

"Sebagian besar lembaga [keuangan] APAC tidak terekspos pada kebangkrutan bank-bank AS, dan hanya segelintir lembaga yang memiliki eksposur tidak material. Akhirnya, sebagian besar institusi tidak rentan terhadap kerugian besar dari kepemilikan efek utang seperti Silicon Valley Bank," kata Moody's.

Moody's berpendapat, nasabah atau deposan bank-bank APAC terdiversifikasi dengan baik di berbagai sektor, tidak hanya berfokus ke perusahaan teknologi.
Di samping itu, jelas Moody's, dana simpanan bank tidak terlalu terkonsentrasi pada nasabah/klien tunggal.

Sementara, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai penutupan SVB oleh Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC)ASpada Jumat (10/3/2023) lalu tidak akan berdampak langsung terhadap industri perbankan Indonesia yang disebut memiliki kondisi yang kuat dan stabil.

Terlebih, menurut Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae, industri perbankan Indonesia yang tidak memiliki hubungan bisnis, facility line maupun investasi pada produk sekuritisasi SVB.

Selain itu, berbeda dengan SVB dan perbankan di AS umumnya, bank-bank di Indonesia tidak memberikan kredit dan investasi kepada perusahaan technology startup maupun kripto.

"Oleh karena itu, OJK mengharapkan agar masyarakat dan Industri tidak terpengaruh terhadap berbagai spekulasi yang berkembang di kalangan masyarakat," kata Dian dalam keterangan resminya, Senin (13/3/2023).

Menurutnya, Indonesia setelah krisis keuangan tahun 1998 telah melakukan langkah-langkah yang mendasar dalam rangka penguatan kelembagaan, infrastruktur hukum dan penguatan tata kelola serta perlindungan nasabah yang telah menciptakan sistem perbankan yang kuat, resilien dan stabil.

Hal ini tercermin dari kinerja Industri Perbankan yang terjaga baik dan solid serta tetap tumbuh positif di tengah tekanan perekonomian domestik dan global yang selama ini berlangsung.

Pada saat ini, kondisi perbankan Indonesia menunjukkan kinerja likuiditas yang baik dengan AL/NCD dan AL/DPK di atas threshold yakni sebesar 129,64% dan 29,13%, jauh di atas ambang batas ketentuan masing-masing sebesar 50% dan 10%.

Aset perbankan juga terjaga pada komposisi yang proporsional dengan komposisi Dana Pihak Ketiga (DPK) yang didominasi oleh current account and saving account (CASA) atau dana murah yang semakin meningkat sehingga tidak sensitif terhadap pergerakan suku bunga.

Demikian juga, untuk kinerja lainnya seperti risiko kredit, risiko pasar, permodalan dan profitabilitas masih terjaga dan tumbuh positif.

Selain itu, saat ini tidak ada bank umum di Indonesia yang masuk dalam kategori "Bank Dalam Resolusi" yaitu bank yang mengalami kesulitan keuangan, membahayakan kelangsungan usahanya, dan tidak dapat disehatkan.

Di samping itu, OJK juga terus melakukan berbagai langkah kebijakan kolaboratif dan sinergi dengan Bank Indonesia (BI), Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), baik secara langsung maupun melalui Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) dalam mengantisipasi potensi dampak dan tekanan global.

Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.

https://www.cnbcindonesia.com/resear...ps-seperti-svb

Wih, kokoh ya, ora akan kolaps bank di RI. Jadi santai saja kan ya?
nomorelies
nomorelies memberi reputasi
1
1.7K
22
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
671.8KThread41.4KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.