Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

Novena.LiziAvatar border
TS
Novena.Lizi
Bahaya Kebijakan Xi Jinping Rangkul Tionghoa Perantauan

Bahaya Kebijakan Xi Jinping Rangkul Tionghoa Perantauan
28 Feb 2023, 09:00 WIB




Pemain Barongsai berlatih di kawasan Babakan Pasar, Kota Bogor, Jawa Barat, Rabu (18/1/2023). Latihan Liong dan Barongsai yang diikuti warga tempatan jadi tanda membaurnya kebudayaan Tionghoa.


RRC masa Xi Jinping coba satukan etnis Tionghoa.
Komunitas keturunan Tionghoa saat ini bisa dibilang telah jadi bagian tak terpisahkan dari tenun kebangsaan Indonesia. Sentimen-sentimen lama soal keberadaan komunitas tersebut pelan-pelan mulai terkikis. 
Kendati demikian, kebijakan terkini Republik Rakyat Cina (RRC) dinilai mengganggu kohesi tersebut. Mengancam munculnya kembali anggapan bahwa etnis Tionghoa di Indonesia memiliki kesetiaan ganda terhadap Tanah Air dan Cina Daratan.
Ketua Forum Sinologi Indonesia (FSI) Johanes Herlijanto mengungkap kekhawatiran atas kebijakan Presiden Tiongkok Xi Jinping yang mulai merangkul etnik Tionghoa di perantauan itu. Johanes mengamati kebijakan Presiden Xi Jinping terhadap orang-orang Tionghoa seberang lautan (Chinese Overseas) jauh berbeda dari kebijakan para pemimpin Cina sebelumnya. 
 
Pada masa lalu terdapat pembedaan antara orang-orang Tionghoa yang disebut huaqiao (warga negara Cina perantauan) dan mereka yang disebut sebagai huaren (etnik Tionghoa) serta huayi (keturunan Tionghoa). Dua yang disebut belakangan merujuk pada orang-orang Tionghoa yang tidak berkewarganegaraan Tiongkok. Tapi pada era Xi Jinping, pembedaan tersebut menjadi kabur. 
"Xi Jinping sendiri maupun para pejabat tinggi di bawah kepemimpinannya seringkali menggunakan istilah-istilah yang menegaskan kembali hubungan antara Tiongkok dan orang-orang Tionghoa yang tersebar di seluruh dunia, tanpa memandang apapun kewarganegaraan mereka," kata Johanes dalam keterangan yang diterima Republika, Senin (27/2). 
Padahal saat masih berada di bawah kepemimpinan Deng Xiaoping, RRC telah secara tegas melepaskan pengakuannya atas orang Tionghoa Perantauan yang telah memperoleh kewarganegaraan asing. Pengakuan tersebut tertuang dalam undang-undang kewarganegaraan yang diterbitkan pada tahun 1980. 
Johanes menganalisa perubahan kebijakan terkait orang-orang Tionghoa di luar Cina terlihat jelas tak lama setelah Xi dikukuhkan sebagai pemimpin tertinggi RRC untuk pertama kalinya melalui konsep “Impian Cina” (China Dream) yang bertujuan pada peremajaan kembali  bangsa Tiongkok. 
"Dalam upaya peremajaan kembali bangsa Tiongkok inilah Xi mempopulerkan konsep ‘satu keluarga besar Tionghoa’ (Zhonghua da jiating), yang merujuk pada seluruh orang-orang Tionghoa tak peduli apapun status kewarganegaraan mereka," ucap Johanes. 
Xi Jinping juga menggunakan istilah ‘saudara sebangsa dari seberang lautan’ (haiwai qiaobao) untuk merujuk etnik Tionghoa di berbagai belahan dunia. Johanes mensinyalir pernyataan yang seolah menegaskan kembali hubungan antara Tiongkok dan etnik Tionghoa di luar Tiongkok dapat menimbulkan kekhawatiran bagi pemerintah dan elit politik di negara tempat orang-orang Tionghoa tersebut tinggal. 
Johanes mengatakan pernyataan-pernyataan yang seolah menegaskan kembali hubungan antara Tiongkok dan etnik Tionghoa di luar Tiongkok dapat menimbulkan kekhawatiran. Namun menurutnya, kekhawatiran itu bukanlah tanpa jalan keluar. 
"Dalam kasus Indonesia, makin kuatnya akar kebangsaan Indonesia di kalangan seluruh etnik Tionghoa kiranya dapat menjadi sebuah penangkal yang jitu baik terhadap kecurigaan yang muncul di kalangan non-Tionghoa," ucap Johanes. 
Sementara itu, Co-founder Roemah Bhineka, Michael Andrew berpandangan dalam kasus di Indonesia, etnik Tionghoa telah mengalami berbagai peristiwa kontekstualisasi sehingga memiliki nasionalisme keindonesiaan yang mengakar. Apalagi Tionghoa Indonesia menurutnya sudah berpisah sangat lama dengan Tiongkok dan masyarakatnya.  "Sehingga memiliki kebudayaan yang saling berbeda," ujar Michael. 
Etnis Tionghoa diketahui sudah sejak lama berdiam di tanah Air. Para pencatat sejarah yang tergabung dalam armada Laksamana Cheng Ho pada abad ke-14 telah merekam keberadaan mereka di wilayah pesisir Jawa. 
Wartawan Republika Alwi Shahab menuliskan, ketika menaklukkan Jayakarta pada 30 Mei 1619, Gubernur Jenderal JP Coen mengusir penduduknya yang kemudian hijrah ke Jatinegara Kaum di Pulo Gadung, Jakarta Timur.
Untuk mengisi kekosongan Kota Batavia yang baru dibentuknya, ia mendatangkan warga Tionghoa dari Banten, tempat yang ia pernah datangi pada 1611 di masa Gubernur Jenderal Pieter Both, yang saat itu berkedudukan di Maluku.
Di Banten, JP Coen berkenalan dengan Souw Beng Kong, saudagar besar yang memiliki perkebunan lada yang luas dan sekaligus orang yang berpengaruh. Atas bujukannya, Souw Beng Kong beserta sejumlah masyarakat Tionghoa meninggalkan Banten menuju Batavia.
Kala itu, orang Tionghoa sudah banyak berdatangan ke Batavia dan mereka tinggal di perkampungan dekat muara Ciliwung. Berkat pimpinan Souw, jumlah penduduk Tionghoa di Batavia melonjak dari 400 orang menjadi 1.000 orang pada akhir 1622.
JP Coen telah mengangkatnya sebagai kapiten Cina. Dia memiliki seorang sekretaris bernama Gouw Tjay yang beragama Islam. Pada 1625, ia mendirikan sebuah masjid di Kampung Bebek, Angke, yang hingga 1965 masih berdiri. Itu membuktikan sejak dulu sudah berdatangan orang Tionghoa yang beragama Islam.
Pemerintah kolonial Belanda kala itu juga menjauhkan penduduk "pribumi" dengan keturunan Tionghoa dan Arab melalui hirarki status. Setelah kemerdekaan, hirarki ini kemudian dileburkan. Kendati demikian, sentimen lama masih kerap muncul.
Selepas peristiwa G30S pada 1965, misalnya, etnis Tionghoa kerap diasosiasikan dengan RRC yang dituding ikut mendalangi pemberontakan PKI. Hal ini membuat pemerintahan Orde Baru di bawah Presiden Soeharto melarang pertunjukan kebudayaan Tionghoa. Penggunaan nama-nama Tionghoa juga kemudian tak dianjurkan.
Bagaimanapun, penguasaan ekonomi etnis Tionghoa tetap lestari pada masa Orde Baru. Saat terjadi krisis ekonomi pada 1997, hal itu jadi salah satu faktor yang digunakan memprovokasi warga untuk melakukan kekerasan rasial terhadap etnis Tionghoa di berbagai daerah.
Selepas Reformasi pada 1998, Presiden KH Abdurrahman Wahid memulihkan ekspresi kebudayaan Tionghoa. Perayan Tahun Baru Imlek kembali menjadi hari libur nasional. Terbukti pada tahun-tahun setelah Reformasi, peleburan etnis Tionghoa masih terus jadi hal yang harus dijaga.


https://www.republika.id/posts/38027...hoa-perantauan
Jalan Cinta
nomorelies
bukan.bomat
bukan.bomat dan 9 lainnya memberi reputasi
0
1.7K
50
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
671.1KThread41KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.