Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

cangkeman.netAvatar border
TS
cangkeman.net
Apa Salahnya Membaca Buku Fiksi?
Apa Salahnya Membaca Buku Fiksi?

Penulis:            Nurul Fatin Sazanah
Editor:             Fatio Nurul Efendi


Cangkeman.net - “Emangnya baca novel gitu dapat apa sih? Isinya kan cuma fiksi, karangan doang. Halu semua.”

Kalimat seperti itu seringkali singgah di telinga saat ada yang melihatku sedang membaca novel. Memang, dari dulu aku merupakan penggemar berat buku fiksi. Mulai dari cerpen-cerpen di majalah Bobo sewaktu kecil, hingga buku-buku novel ketika usia semakin bertambah.

Namun, ada saja orang di sekitarku yang menganggap sebelah mata terhadap hobi membaca novel atau buku fiksi. Ditambah lagi, mereka juga melontarkan wejangan yang nggak jauh-jauh dari kalimat seperti ini, “Kalo baca tuh yang ada manfaatnya dong” atau “Mending kayak aku gini, baca buku X tentang bla bla bla. Lebih berbobot, bisa nambah ilmu”.

Duh, kenapa orang-orang yang suka baca buku non-fiksi sering banget merasa bacaannya paling keren dan paling paling baik sih? Udah gitu, dengan gampangnya mereka suka menganggap buku fiksi sebagai bacaan yang buruk dan nggak lebih baik dari buku non-fiksi.

Yah, mungkin nggak semua penyuka non-fiksi begitu, sih. Tapi kebanyakan orang di sekitarku, entah itu teman atau keluarga, kebanyakan punya pemikiran yang seperti itu.

Padahal, meski isi novel hanya cerita fiksi, bukan berarti nggak mengandung ilmu di dalamnya. Penulisan cerita fiksi nggak lepas gitu aja dari riset. Dalam pembuatan cerita, selalu ada proses penelitian mendalam yang dilakukan oleh penulisnya. So, kalau berbicara tentang ilmu, pada dasarnya semua buku merupakan sumber ilmu, termasuk juga novel atau buku fiksi. Pernah dengar pepatah “buku adalah jendela dunia”, kan? Nah, di situ nggak disebutkan tuh kalau cuma buku non-fiksi aja yang jadi ‘jendela dunia’.

Sebenarnya, aku bukanlah orang yang anti dengan bacaan non-fiksi. Aku juga termasuk penikmat buku non-fiksi, meskipun memang lebih menyukai buku-buku fiksi. Hanya saja, terkadang aku merasa kesal dengan pembaca non-fiksi yang suka meremehkan buku fiksi.

Menurutku pribadi, dengan membaca buku fiksi bisa mendapat dua hal sekaligus, yaitu hiburan dan juga wawasan. Tujuan utama membaca novel atau buku fiksi memang untuk melepas penat alias sarana untuk healing. Tapi, di samping mencari hiburan untuk meredakan stress, aku bisa mendapat banyak pelajaran dari buku fiksi yang aku baca. Misalnya, dari dwilogi novel yang pernah aku baca berjudul “Summer Triangle” dan “Love in Twilight” karya Hara Hope. Dari kedua novel tersebut aku juga bisa mendapat wawasan tentang astronomi, terutama terkait rasi-rasi bintang dan beberapa kisah mitologi Yunani.

Dari novel, kita juga bisa menambah wawasan tentang tempat-tempat tertentu di belahan bumi lain yang belum pasti bisa kita kunjungi, ataupun budaya dan tradisi dari kelompok-kelompok masyarakat yang nggak pernah kita dengar sebelumnya. Bahkan, novel juga bisa menjadi sarana untuk belajar Bahasa Asing.

Dalam novel atau buku fiksi selalu ada wawasan tak terduga yang aku dapatkan, yang sering kali membuat pikiran berkata, “Oh, ternyata ada ya yang kayak gini.” atau “Wah, baru tau deh ada hal-hal semacam ini di dunia”.

Yang nggak kalah penting, dalam buku fiksi selalu terselip pelajaran tentang kehidupan. Ada aja gitu kalimat-kalimat yang ‘ngena’ di hati. Kalimat-kalimat yang bukan hanya sekadar cantik untuk jadi quotes, tapi juga bisa meningkatkan kualitas hidup sekaligus membuat siapapun yang membacanya merasa lebih baik.

Bagiku, membaca buku fiksi merupakan upaya menambah wawasan dengan cara yang menyenangkan. Menyelam sambil minum air, eh maksudnya, nambah ilmu sambil healing, gitu.

Di samping itu, buku fiksi bisa membuat pikiran menjadi lebih terbuka, sehingga mereka yang membaca buku fiksi bisa menjadi lebih toleran dan bisa memahami sudut pandang orang lain.

Buku fiksi juga dapat meningkatkan rasa empati dan melatih kepekaan kita terhadap orang lain. Menurut penelitian Keith Oatley, seorang novelis dan profesor di University of Toronto Kanada, bacaan fiksi mampu mempengaruhi pikiran dan respon empati pembaca di dunia nyata. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa orang-orang yang membaca fiksi mendapat skor lebih tinggi dalam hal kemampuan berempati jika dibandingkan dengan orang yang hanya membaca buku non-fiksi.

Nah, dari sini dapat dilihat kan kalau buku genre apapun sebenarnya punya kedudukan yang sama. Nggak ada yang lebih keren dan nggak ada yang lebih buruk. Keduanya punya peran masing-masing dan dapat saling melengkapi satu sama lain. Aku pun selalu percaya bahwa setiap buku pasti mengandung ilmu yang bermanfaat untuk pembacanya, baik itu buku fiksi maupun non-fiksi. Bahkan, sereceh apapun sebuah novel, menurutku tetap ada ilmu yang bisa diserap di dalamnya.

Sebetulnya ini hanya tentang selera saja. Setiap orang punya selera atau kesukaannya masing-masing, termasuk dalam hal buku bacaan. Menganggap seleramu adalah yang paling baik nggak akan membuatmu jadi kelihatan keren. Begitupun juga dengan menjelekkan kesukaan orang lain.


Tulisan ini ditulis di Cangkeman pada tanggal 25 November 2022.
0
839
4
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The LoungeKASKUS Official
923.4KThread84.5KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.