bukhoriganAvatar border
TS
bukhorigan
Sejengkal Kopi | sebuah refleksi diri


Jadi petang ini aku menjengkal waktu bersama kopi. Orang bilang menikmati kopi di sore hari membuat mata kita sulit terpejam di tengah malam. Apa daya, tanpa Kopi-pun belantara pikiranku membelit di ujung bantal. Insomnia. Mata tetap terbuka dengan banyak hal, menerawang ke langit-langit malam--melamunkan hidup. Lelah mengambang.

Aku masih ingat dengan kepulan dari cangkir kopi yang ku suguhkan untuk orang tuaku. Sebuah cangkir yang sempat ku aduk serotasi bumi. Geletak di atas meja teras yang ditangkap hangat beliau. Betul, bahasa terbaik antara anak dan ayah adalah suguhan kopi untuk melepas pekatnya gundah. Letih menafkahi keluarga.

Terkadang sewaktu kecil, mataku bertanya-tanya kenapa Ayahku sering kali duduk sampai larut demi cangkir kopi yang mendingin? Apa demi kepulan kretek yang terhempas angin malam? Menerawang gelap demi apa? Demi sebuah rasa kopi?

Ayah. Pernah satu waktu, aku tidak ingin membuat beliau kepanasan saat meminum kopi. Sempat aku campurkan antara air mendidih dengan air dingin. Hal itu justru membuat ayahku kebingungan. Kenapa harus mencampur yang panas dengan dingin di cangkir kopi? Begitu katanya.

Dengan perasaan bersalah, aku masih melihatnya yang terpaksa meneguk hasil dari kekonyolan ku. Duduk. Menghembuskan nafas tercampur asap di peraduan malam.

Sebenarnya apa yang kerap dipikirkan Ayah?

Mungkin pertanyaan itu terjawab saat aku beranjak dewasa, aku memahami banyak beban yang dipikul Ayah demi menjaga keluarganya tetap hidup. Melamunkan semuanya di teras rumah dengan kopi yang diteguk beliau. Manis yang terlarut bersama pahit. Begitu bukan filosofinya, bagaimana mungkin kita bisa membedakan manis dengan rasa lain jika kita tidak tahu tentang rasa pahit?

Ayahku dipaksa mengecap rasa pahit berkali-kali, karena tahu diujung nanti ada rasa manis yang akan membekas lebih lama.

Kini, di teras yang sama seperti Ayah dulu. Aku kembali mengaduk kopi yang kuseduh. Sendiri. Tidak hitam seperti kopi kegemaran ayahku dulu. Se-jingga langit sore, air kopi ini tetap hangat seperti warnanya yang terang. Melantunkan sebait senja di peraduan pikiran. Melamunkan kembali apa yang silam.

Keluarga ku sebenarnya pejuang kopi, utamanya ayahku yang asli dari pulau Timor. Koloni Portugis dulu memaksa suku Timor untuk menanam kopi di halaman Gereja. Timpang dengan ajaran religi yang mengajar kasih sayang. Tapi ini bukan masalah Agama. Lebih dari itu, Portugis harus selamat dari gempuran pesaingnya, Spanyol. Mereka harus berperang di dataran Maluku sana. Namun, Portugis terpukul mundur ke pulau Timor. Akhirnya, memaksa mereka untuk sebisa mungkin bertahan hidup. Tentunya dengan jerih payah tangan suku setempat.

Menggelikan bukan? Indonesia sejak dulu bertikai satu sama lain oleh pihak luar. Bahkan sampai sekarang. Untuk alasan yang masih sama, harta.

Uniknya, dalam setiap konflik akan selalu ada hal yang bisa bermanfaat. Portugis, mampu merampas benih kopi dari Spanyol yang dibawanya dari Amerika Selatan. Betul, kopi berasal dari peradaban suku Aztec di benua jauh sana.

Indonesia adalah bangsa cerdikiawan, setidaknya itu yang dikatakan orang. Saat ada konflik atau petaka bencana. Kita bisa berpikir cepat untuk bertahan. Maka tidak aneh jika ada bencana, orang-orang akan berpikir untuk menjarah. Beras, Mie rebus, air mineral dan tentunya sebungkus kopi jadi komoditas utama penjarahan.

Bukannya tidak baik? Entahlah, diriku dan jutaan manusia Indonesia tidak berpikir untuk jahat. Kami, hanya ingin bertahan dalam situasi genting apapun. Kami, hanya ingin nyaman di tanah kami sendiri.

"Ah, bertahan..." Kembali aku menyeruput sisa-sisa kopi di teras, kala sanubari ingin pulang berisitirahat dari petala.

Nenek moyangku mengajarkan untuk bertahan, dari biji-biji kopi Portugis yang mampu menyekolahkan Ayah sampai di Pulau Jawa. Hingga sampai bertemu dengan Ibuku. Cinta benar-benar misteri. Namun menghubungkan harapan semua orang. Termasuk Ibu dan Ayahku yang bertemu di antara keajaiban jarak dan waktu.

Ibu, seorang agamis yang taat. Aku tidak terlalu dekat dengan beliau. Tapi, aku tahu jika seorang Ibu begitu menyayangi keluarganya. Kami berdua punya kegemaran kopi yang sama. Tidak suka yang pahit, menengah saja. Oleh karenanya sifat Ibu tidak terlalu suka mengambil resiko untuk mengambil jalan hidup. Ikuti alurnya seperti sungai, tenang menenangkan. betul-betul tipikal perempuan Sunda pada umumnya.

Ayah seorang Timor yang keras dan Ibu seorang Sunda yang sahaja. Cinta memang menyatukan, namun kerap kali berbeda jalan. Hati mampu bersatu, tapi pemikiran manusia punya cara pandang berbeda. Sulit untuk disatukan. Hal itu yang membuat mereka berpisah. Meninggalkanku dan tiga saudaraku yang lain.

Anak-anak Ibu dan Ayah mungkin bisa dikatakan stabil. Pendidikan kami masih berlanjut. Namun, bagiku perpisahan mereka membuatku sedikit apatis dengan perasaan. Terlebih tentang menyayangi, diperhatikan dan seperangkat kata-kata lain yang mengambarkan soal cinta.

Mungkin, aku hanya benar-benar takut jika aku tidak mampu membahagiakan seorang perempuan. Aku tidak ingin menciptakan seseorang yang berakhir seperti Ibuku. Getir dengan hatinya sendiri akan lelaki. Bagiku, perempuan itu mulia. Tidak pantas bagi lelaki manapun untuk memberi derita kepada hati seorang perempuan.

Adam-pun, manusia pertama yang dicipta, rela untuk diturunkan ke bumi. Demi keinginan seorang perempuan. Demi membuat Hawa tercukupi dahaga keinginannya. Mereka adalah contoh pertama bagi lelaki manapun di dunia, bahwa cinta adalah pengorbanan. Menanggalkan kenikmatan surgawi sekalipun. Rela terbuang dan bertahan di kesunyian alam dunia. Gulita akan belantara takdir dan nestapa.

Ayahku mungkin tidak memahami ini, dia hanya memutuskan bertahan dengan cangkir kopi di teras malam.

Buah Khuldi adalah persembahan tulus dari Adam untuk Hawa, yang justru menyebabkan Adam diturunkan ke bumi. Buah Kopi membuat jarak antara Ayah dan Ibuku berjauhan. Buntu akan solusi. Tapi Adam mampu bertahan, sedangkan Ayahku tidak demikian. Sering kali aku berpikir apa yang membuat jalan takdir lelaki itu berbeda?

Di jengkal terakhir sore ini, saat petala meyambut malam. Aku masih berkutat di pikiran masa lalu yang gamang. Sakit kepala rasanya. Gulana akan keluarga dan masa depanku sendiri.

Di sore itu, ibuku datang dan tersenyum memberi arahan untuk makan. Kakak yang sepulang mengajar pulang, membawa keponakanku yang masih kecil. Jadi guru melelahkan katanya. Adik perempuanku pulang dengan es kopi dalam genggaman. Klinik yang dia tangani lebih ramai dari biasanya. Aku memandang pada mereka semua, ternyata masing-masing dari mereka masih berjuang akan pengorbanan dengan cara mereka sendiri.

"Ting..." Gawaiku berbunyi, pesan datang darinya. Perempuan yang masih setia menungguku untuk masa depan. Besok ingin mengajak pergi minum kopi katanya.

Aku seruput tetesan terakhir, berusaha tersenyum di akhir jenggala pemikiranku sendiri.

Buah Kopi, adalah saksi nyata kehidupan manusia. Bahwasanya, cinta bukan hanya seberapa besar kita rela berkorban, tapi seberapa besar kita mampu bertahan.

Bertahan sehangat mungkin, walau tahu akan berakhir gigil dalam dingin. Memberi nyaman di kelamnya malam. Seperti secangkir kopi di teras rumah.

Mungkin, kita harus banyak mencoba dalam kehidupan. Lebih berani berjuang untuk seseorang. Lebih rendah untuk berkorban. Pada seruput pertama memang terasa panas, namun kita seharusnya yakin jika tegukan berikutnya akan membuat segalanya terasa nikmat. Berakhir dengan nyaman dan melegakan.


Quote:


Spoiler for image source:
anasaufarazi810
terbitcomyt
citraresmi8359
citraresmi8359 dan 7 lainnya memberi reputasi
8
1.2K
14
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Heart to Heart
Heart to Heart
icon
21.6KThread27KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.