Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

lingkarpolitikAvatar border
TS
lingkarpolitik
Badai PHK Meluas ke Vietnam, Saatnya Pemerintah RI Ambil Langkah Nyata


Konfederasi Umum Perburuhan Vietnam mencatat sebanyak 1.200 perusahaan di negara itu telah melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) dalam empat bulan belakangan. Selain itu, lebih dari 470 ribu pekerja juga telah dipangkas jam kerjanya. Mengutip AFP, Rabu (14/12), PHK itu sebagian besar terjadi di sektor garmen, alas kaki, furnitur, serta elektronik.

Salah satunya, perusahaan raksasa Taiwan Pouyuen, produsen sepatu Nike. Mereka telah merumahkan 20 ribu pekerjanya secara bergiliran. Bahkan, perusahaan sepatu lainnya yakni Ty Hung Company juga memecat 1.200 dari 1.800 stafnya.

Sementara laporan lain mengatakan investor asing terbesar Vietnam, Samsung Electronics, telah mulai mengurangi produksi ponsel pintarnya di pabrik-pabrik di utara.

PHK ini terjadi karena penurunan pesanan dari negara negara Barat yang mencapai 30 hingga 60 persen. Penurunan itu pu diklaim lebih parah dibandingkan tahun lalu di mana pandemi covid-19 masih merajalela.

Kondisi ini pun serupa dengan yang terjadi di Indonesia. Anggota Dewan Pertimbangan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) sekaligus Wakil Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Anne Patricia Sutanto mengatakan buruh industri sektor Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) yang terkena PHK mencapai 58.572 orang per November 2022.

Ia mengungkapkan jumlah itu mencakup seluruh pabrik TPT di seluruh Indonesia.

"Itu (PHK 58.572 karyawan) seluruh Indonesia, bukan seluruh Jawa Barat. Member Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Asosiasi Produsen Serta Benang Filamen Indonesia (APSyFI), dan Asosiasi Pengusaha Korea Garmen (KOGA)," terang dia kepada CNNIndonesia.com beberapa waktu lalu.

Anne mengatakan data tersebut diperoleh dari survei yang dilakukan terhadap 78 anggota non-API dan 146 anggota API.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Firman Bakri mengungkapkan 25.700 pekerja sudah terkena PHK per Oktober 2022 ini. Jumlah ini pun diproyeksi terus bertambah hingga 2023.

Firman menyebut PHK massal ini terjadi karena penurunan permintaan industri sepatu yang sudah menyentuh 50 persen. Permintaan menurun dan order yang masuk masih kecil juga didorong oleh negara-negara tujuan ekspor Indonesia yang masih mengalami kelebihan stok.

"Masing-masing dari retailer, brand semua pegang inventori. Kemudian pabrik kita juga sedang di-hold dulu jangan ekspor. Jadi stoknya menumpuk. Ini kalau belajar di 2020 lalu, ketika pasar domestik kita stoknya penuh semua dan tidak laku, butuh waktu 1 tahun lebih untuk order masuk lagi ke pabrik," jelas Firman.

Melihat kondisi tersebut, pemerintah pun belum melakukan intervensi secara nyata untuk mencegah gelombang PHK terjadi kian masif. Menteri Keuangan Sri Mulyani misalnya. Ia baru akan berkoordinasi dengan otoritas terkait untuk menyiapkan kebijakan dalam menangkal PHK ini.

Berdasarkan data yang ia miliki, memang ada usaha yang mulai mengalami tekanan, yakni industri TPT. Sementara untuk industri alas kaki masih relatif baik.

"Sampai Oktober memang ada tekanan terutama untuk TPT, kalau alas kaki relatif masih cukup baik. TPT terlihat mulai ada tekanan terhadap beberapa korporasi, ini yang akan kita waspadai dengan langkah-langkah apa yang harus disiapkan," katanya.

Menyikapi hal tersebut, Kementerian Perindustrian membentuk Satuan Tugas Pengamanan Krisis Industri Tekstil, Kulit dan Alas Kaki. Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita mengatakan tim bertugas menginventarisasi industri TPT serta alas kaki yang terdampak oleh krisis perekonomian global.

Tim juga bertugas mempersiapkan langkah-langkah mitigasi untuk industri tekstil dan produk tekstil dan alas kaki yang dilaporkan sejumlah asosiasi mengalami perlambatan.

"Satgas juga berkoordinasi dengan kementerian/lembaga terkait dalam pelaksanaan strategi mitigasi yang diambil tersebut," kata Agus.

Ia mengatakan agar badai PHK di sektor padat karya itu tak mengganas, pihaknya akan menjalankan beberapa strategi.

"Pertama, kami upayakan pencarian pasar baru untuk ekspor bagi sektor industri. Kami mencoba buka akses untuk pasar ke Amerika Latin dan Selatan, Afrika, negara-negara Timur Tengah, dan Asia," katanya.

Kedua, memperkuat penguasaan pasar dalam negeri, dengan menggencarkan dan mendorong promosi serta kerja sama lintas sektoral agar program peningkatan penggunaan produk dalam negeri (P3DN) semakin tumbuh.

"Melalui program ini juga akan menumbuhkan sektor industri itu sendiri," imbuhnya.

Ketiga, memperkuat daya saing industri dengan kemudahan akses bahan baku, penguatan ekosistem usaha, dan penguatan sistem produksi.

"Kita bisa lihat dengan berbagai instrumen seperti BMDTP (Bea Masuk Ditanggung Pemerintah), juga larangan terbatas (lartas), dan banyak lagi instrumen lain yang bisa kita pergunakan," ujarnya.

Sementara itu, Kementerian Perdagangan (Kemendag) akan memperbarui kebijakan trade remedies guna mencegah dan memulihkan kerugian para pelaku industri dalam negeri, khususnya sektor TPT.

Trade remedies merupakan instrumen yang digunakan untuk melindungi industri dalam negeri dari kerugian akibat praktik perdagangan tidak sehat (unfair trade). Bentuk kebijakan ini bisa berupa bea masuk anti dumping (BMAD) maupun bea masuk tindak pengamanan sementara (BMTP) atau safeguards.

Di sisi lain, OJK juga memberi sedikit angin segar bagi pelaku industri TPT dan alas kaki dengan memperpanjang kebijakan restrukturisasi kredit dan pembiayaan dari yang semula berakhir pada Maret 2023 menjadi 31 Maret 2024.

Menyinggung upaya pencarian pasar baru untuk ekspor yang disebut menteri perindustrian, Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P Sasmita mengatakan persoalannya bukan cuma itu. Menurutnya, Indonesia juga harus menyiapkan produknya agar tidak kalah saing dari China dan India.

Jika tidak, niatan menjajaki pasar Timur Tengah atau Afrika hanya menjadi angan. Sebab, di negara-negara tersebut produk padat karya dari China dan India pun masih dominan.

"Kalau produk manufaktur kita lebih mahal dan kualitasnya kalah saing, maka jangan berharap bisa memenangkan persaingan di sana. Yang jelas, China telah lebih dulu melakukan penetrasi pasar ke Timur Tengah dan Afrika," kata Ronny.

Selain itu, pemerintah juga harus memberikan dukungan dengan cara membangun diplomasi ekonomi yang lebih serius. Hal ini perlu dilakukan agar upaya melebarkan pasar produk-produk ekspor nasional bisa berkelanjutan.

Ronny mengatakan selama ini perdagangan Indonesia dengan negara lain terjadi karena faktor 'butuh' saja. Artinya, negara tujuan ekspor membeli produk RI karena sebatas memerlukan barang yang dipesan. Atau Indonesia menjadi destinasi investasi asing yang hasil produksinya diekspor kembali ke negara asal investasi tersebut.

"Artinya, niat untuk melebarkan pasar baru sebatas wacana, tidak didukung oleh kebijakan dan kelembagaan yang jelas," imbuh Ronny.

Lebih lanjut, ia juga mengatakan pemerintah perlu memberikan insentif yang lebih cocok kepada pelaku usaha. Ronny menilai insentif-insentif untuk sektor padat karya belum berjalan dengan baik.

Menurutnya, baik insentif untuk melakukan transformasi teknologi maupun insentif fiskal berupa kelonggaran pajak belum terlihat imbasnya. Buktinya, industri padat karya RI masih kalah bersaing di tingkat global.

"Nah, dengan kondisi yang demikian, sangat masuk akal jika pelan-pelan untuk industri-industri tertentu di sektor padat karya kita akan mengalami hal yang sama dengan Vietnam," imbuh Ronny.

Ia menambahkan upaya-upaya tadi seharusnya sudah dilakukan pemerintah sejak tahun lalu atau saat pandemi covid-19 agar gelombang PHK pun bisa dihindari. Namun, Ronny juga menyebut saat ini belum terlambat untuk membenahi sektor padat karya. Asalkan, pemerintah serius dan setiap kebijakan yang dikeluarkan jelas arahnya.

Sementara itu, Ekonom Core Indonesia Yusuf Rendy Manilet menyebut sebenarnya pemerintah sebelum pandemi pun sudah berusaha mencari pasar ekspor alternatif baik dalam bentuk bilateral ataupun multilateral agreement.
Sehingga dalam konteks penurunan permintaan barang dari negara Barat, seharusnya pemerintah melakukan intensifikasi hubungan dagang yang selama ini telah dijalin.

Namun, upaya intensifikasi itu tampaknya belum dilakukan. Oleh karena itu mencari alternatif pasar ekspor saat ini menjadi hal yang bisa gencarkan.

Memang, kata Yusuf, pangsa pasar negara-negara lain itu tak sebesar pangsa pasar Eropa dan AS. Tapi jika penjajakan dilakukan ke banyak negara, itu bisa membantu pelaku industri orientasi ekspor untuk menjaga kinerja mereka.

Meski begitu, penjajakan pasar alternatif itu memerlukan waktu. Karenanya, Yusuf menyebut sembari menunggu, ada hal yang bisa dilakukan oleh pelaku usaha demi meningkatkan produksi dan mencegah PHK.

"Untuk pelaku usaha bisa mempertimbangkan pasar domestik yang pertumbuhannya relatif lebih baik jika dibandingkan dengan negara lain," ujarnya.

Di sisi lain, paket insentif padat karya bisa dijalankan oleh pemerintah. Insentif bisa diberikan dalam beragam bentuk, termasuk di dalamnya insentif pajak untuk badan dan wajib pajak (WP) karyawan serta program bantuan subsidi upah.

"Dan bagi mereka yang kemudian terkena PHK melalui program Kartu Prakerja dalam beberapa bulan," sambung Yusuf.

https://www.cnnindonesia.com/ekonomi...-langkah-nyata


muhamad.hanif.2
s.c.a.
aldonistic
aldonistic dan 3 lainnya memberi reputasi
4
2K
21
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
671.3KThread41.1KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.