Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

NegaraTerbaruAvatar border
TS
NegaraTerbaru
Melawan Terorisme Bergaya Takfiri
Spoiler for teroris jilbab biru:


Spoiler for Video:


Oh adek yang jilbab biru. Hilang manis diterjang peluru. Dapat salam dari ayah ibu. Salah siapa jadi begitu.

Plesetan lirik lagu “Oy Adik Jilbab Biru” tersebut terpikirkan oleh penulis setelah melihat aksi teror di Mabes Polri pada 31 Maret 2021 lalu yang dilakukan oleh Zakiah Aini. Dalam video amatir dan rekaman CCTV terlihat sosok berjilbab biru yang berjalan di dalam area Mabes sambil mengacungkan senjata dan melepaskan tembakan. Tak lama, terduga teroris tersebut berhasil dilumpuhkan dengan timah panas. Pihak Kepolisian menyatakan bahwa Zakiah bergerak sendirian alias lone wolf.

Menariknya, kejadian teror tersebut tak lama berselang setelah aksi bom bunuh diri di depan Gereja Katedral Makassar, yang menewaskan dua pelaku dan melukai 20 orang pada 28 Maret 2021 silam.

Jika dilihat dari pola serangannya, kedua aksi terorisme tersebut mengikuti pola terorisme JAD, sebuah kelompok teroris yang memiliki affiliasi dengan ISIS.

Berdasarkan jurnal studi terorisme yang ditulis mahasiswa UI, Aysha Rizki Ramadhyas, target penyerangan kelompok JAD adalah otoritas keamanan dan non-muslim. Dapat dilihat dengan pola serangan yang menargetkan gereja dan markas Kepolisian.
.
Menurut pengamat terorisme dan direktur Istitute for Policy Analysis of Conflict, Sidney Jones, penggunaan sel-sel kecil dan pelaku tunggal (lone wolf) dalam melakukan serangan teror menjadi strategi yang sering dijalankan demi menjaga keamanan jaringan mereka. Sebab terlalu berbahaya bagi mereka untuk bergerak sebagai satu organisasi besar.

Pengamat terorisme Taufik Andrie mengatakan, pola eksekusi seorang diri atau dalam sel-sel kecil membuat serangan berikutnya sulit untuk dideteksi. Akibatnya pola serangan teror menjadi acak, tidak harus menggunakan bom.

Sumber : Kompas[Pola Teror JAD, Serang Polisi dan Non-Muslim secara Acak lewat Sel-sel Kecil]

Serangan kecil-kecilan ala JAD dan ISIS ini berbanding terbalik dengan serangan teror Jamaah Islamiyah (JI) yang berafiliasi dengan Al Qaeda. Al Qaeda lebih linier dalam menentukan target dan melakukan serangan terhadap pihak yang mereka anggap sebagai musuh Islam, dimana serangan teror biasanya benar-benar menimbulkan korban jiwa massal dari pihak yang menjadi target. Al Qaeda tidak bergulat pada polemik wacana pasca teror, tujuannya lebih kepada memberi pesan yang jelas kepada lawannya.

Sementara ISIS dan kelompok-kelompok affiliasinya memiliki tujuan dan pola yang berbeda. Berdasarkan pengamatan para pemerhati terorisme seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, penentuan target dan pola serangan dari ISIS sering kali terlihat tidak masuk akal. Tengok saja bom Katedral Makassar, korban jiwa hanya kedua pelaku. Begitu pula penembakan di Mabes Polri, bisa-bisanya pelaku nekat menenteng senjata di markas Kepolisian.

Dari pola acak seperti itu saja, dapat kita simpulkan bahwa tujuan dari ISIS bukanlah menjatuhkan korban di pihak lawan, melainkan menciptakan polemik wacana pasca teror. Seperti Islamophobia, serangan rekayasa, polarisasi politik, dan sebagainya.

Tidak percaya? tengok saja pasca teror katedral Makassar dan Mabes Polri, banyak pihak yang berpikir bahwa serangan teror hanyalah rekayasa. Menurut peneliti terorisme Ridlwan Habib, dalam JAD memang ada anggota kelompok teroris yang beroperasi di media sosial. Tujuannya, untuk mengaburkan penyidikan sekaligus membuat masyarakat tidak percaya.

SUmber : Merdeka [Peneliti Terorisme Sebut Kelompok JAD Ada yang Beroperasi di Media Sosial]

Bahkan, pola ISIS yang acak seperti ini mampu menimbulkan perdebatan di kalangan organisasi besar Islam seperti NU dan Muhammadiyah. Pada 30 Maret 2021, Ketua Umum PBNU Said Aqil berbicara mengenai strategi untuk menghabisi jaringan terorisme. Said Aqil mengatakan pemberantasan terorisme harus dilakukan dari benihnya atau pintu masuknya ajaran ekstremisme, yaitu ajaran Wahabi.

Ketua PP Muhammadiyah Syafiq Mughini lantas merespons pernyataan Said Aqil tersebut. Syafiq menegaskan terorisme bisa masuk melalui berbagai pintu.

"Salafi itu bukan mazhab yang monolitik. Ada banyak varian di dalamnya. Kalau ada teroris yang berpaham Salafi, tidak berati salafiyah identik dengan terorisme. Jika ada teroris yang beragama Islam, tidak berarti Islam mendorong terorisme. Jika ada teroris berbangsa Indonesia, tidak berarti bangsa Indonesia itu teroris. Terorisme bisa masuk melalui pintu agama, ideologi, politik, etnisitas, ekonomi, dan lain-lain. Berwacana memerlukan logika, tidak sekedar retorika," kata Syafiq pada 31 Maret 2021.

Sumber : Detik [Muhammadiyah: Jika Ada Teroris Salafi, Tak Berarti Salafiyah Identik Terorisme]

Dari contoh itu saja, ISIS telah berhasil mencapai tujuan dari terornya. Menciptakan polemik pasca teror, menciptakan polarisasi politik, hingga menciptakan ketidakpercayaan dan berbagai teori konspirasi.

Pertanyaannya, mengapa ISIS memilih menggunakan pola menimbulkan polemik panjang seperti ini?

Seorang mantan pengikut ISIS menyebutkan ada sifat yang sangat unik dari ISIS. Yakni gampang memusyrikaan seseorang yang berbeda pemahaman. Mereka yang berbeda dianggap murtad, kafir, fasik.

Sumber : Detik [Sifat ISIS Menurut WNI Mantan Pengikut: Gampang Kafirkan Orang]

Maka dapat kita simpulkan, garis perjuangan ISIS adalah pengkafiran ekstrim antar pihak alias takfiri. Berdasarkan Dhawabit At-Takfir (kriteria pengkafiran), mereka yang mudah memvonis kafir disebut dengan ifrath fi at-takfir. ISIS sangat sukses dengan garis perjuangan pengkafiran ekstrim seperti ini, ditandai dengan keberhasilan mereka merekrut anggota ata partisipan yang menyetujui pengkafiran ekstrim. Bahkan keberhasilannya membuat pihak yang berseberangan dengan ISIS (Islam moderat, non muslim, dll) juga melakukan pengkafiran ekstrim terhadap ISIS.

Sumber : MUI-Jateng [Kriteria Pengkafiran (Dhawabit At-Takfir)]

Oleh karena itu, keberhasilan teror ISIS bukan pada serangan itu sendiri, melainkan berada di tangan kelompok ifrath fi at-takfir ekstrim muslim, sekuler, dan kritikus.

Akibatnya setelah serangan teroris ISIS, muncullah kesan Islamophobia pada kelompok NU dan pemerintah, timbullah bingkai rekayasa teror oleh negara yang digaungkan kritikus setelah serangan teroris ISIS sehingga menimbulkan polemik politik bernuanasa polarisasi agama. Hal yang diinginkan dari serangan ISIS.

Secara sederhana, Strategi dan taktik pola serangan ISIS adalah menciptakan jurang pemisah antar manusia dengan membakar ego masing-masing kubu.

Oleh karena itu, agar terorisme ISIS dapat hilang, caranya adalah meredam ego dari masing-masing kubu, baik yang kelompok Islam yang berseberangan dengan pemerintah maupun kelompok Islam dan sekuler yang sejalan dengan Istana. Tak sadarkah mereka bahwa ego itulah yang menyebabkan terorisme di Indonesia hingga kini masih saja terjadi?

Hal ini diperparah pula dengan kelompok pendukung istana yang memiliki sikap-sikap berlebihan terhadap kelompok Islam oposisi. Ironis, cara yang mereka yakini dapat menekan ekstremisme, radikalisme, dan terorisme, justru menjadi bahan bakar bagi teror ISIS selanjutnya. 
Diubah oleh NegaraTerbaru 06-04-2021 08:49
normankhalif
keniapardede
keniapardede dan normankhalif memberi reputasi
2
1.6K
28
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The LoungeKASKUS Official
923.1KThread83.3KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.