Salah satu efek negatif punya rumah di pinggir jalan adalah kebisingan yang harus saya hadapi setiap harinya. Setiap pagi dibangunkan oleh suara knalpot racing anak-anak badung yang lewat membuat rambut saya rontok perlahan-lahan. Suara itu sama seperti suara kucing kawin, mengesalkan dan tak terhentikan.

Kira-kira siapa orang jenius yang punya ide menciptakan knalpot bersuara seperti auman macan? Ahh ya, knalpot semacam itu memang sering sekali digunakan di arena balapan karna itu adalah salah satu daya tarik utama yang disukai oleh penonton. Meski demikian, apa ada faedahnya menggunakan knalpot semacam itu di jalan raya milik umum?



Saya adalah manusia bertelinga sensitif, jika ada jarum jatuh di Kutub Utara saya tak akan bisa dengar. Keberadaan motor dengan knalpot racing ini mengganggu saya lebih daripada orang lain dan itu terjadi setiap hari, tiga kali dalam satu jam.

Menurut pasal 106 ayat 3 UU Nomor 22 Tahun 2009 mengenai Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ), pengendara yang menggunakan knalpot bising bisa dipenjara paling lama satu bulan dengan denda maksimal 250 ribu. Namun, sama seperti banyak sekali hukum di negara ini, peraturan ini tampaknya cuma jadi pajangan di kitab undang-undang yang tebal itu. (Not always, but yeah, yo know)



Yang paling saya herankan adalah, apa sebenarnya yang dipikirkan oleh orang-orang yang mengenakan knalpot semacam itu? Apa sudah sebegitu hancurkan hati nurani pengendara motor sampai-sampai mereka tak peduli dengan orang yang terganggu dengan suara cempreng knalpot? Coba bayangkan jika seseorang kentut di depan wajahmu, apakah rasanya menyenangkan?

Atau apakah mereka tidak sadar bahwa suara itu mengganggu orang lain? Sama seperti orang bermulut bau, mereka tak sadar bahwa orang lain merasa jijik dengan bau napasnya. Kalau kasusnya memang seperti itu ya saya cuma bisa merasa kasihan. Orang-orang akan terus mengutuknya tanpa dia sendiri paham kenapa.

Tapi kok saya malah curhat di sini ya? Ahh, whateverlah. Sekian dan terima kasih.




sumur