cangkeman.netAvatar border
TS
cangkeman.net
Kenapa Ada Larangan Berambut Gondrong di Sekolah?


Cangkeman.net - Larangan berambut gondrong yang diberikan kepada peserta didik memang suatu aturan konvensional sekaligus kontroversial. Alasannya klasik, perkara rambut tidak akan mengganggu aktivitas belajar. Jika memang demikian, mengapa guru tega memangkas rambut siswa; peserta didik laki-laki, yang gondrong?

Sebetulnya, saya agak kesulitan mencari sumber dari aturan rambut yang diperuntukkan kepada seluruh siswa di sekolah. Namun, saya malah menemukan informasi yang menarik terkait dengan asal-usul dari aturan tersebut. Ada sebuah artikel berjudul, “Perkara Rambut Gondrong dan Sejarah Aturan Rambut di Sekolah”, ditulis oleh Ismail Alviano dalam laman Kompasiana pada 3 Desember 2018.
Dalam artikel tersebut menyebutkan, larangan rambut gondrong merupakan hasil doktrinisasi dari Instruksi Pangkopkamtib Jenderal Soemitro lewat radiogram No. SHK/1046/IX/73. Sebuah larangan berambut gondrong untuk kalangan tentara beserta seluruh anggota keluarganya. Katanya sih, hal ini dilandaskan pada paham bahwa rambut gondrong tidak mencerminkan pribadi bangsa. Entah seperti apa definisi pribadi bangsa, saya tidak tahu.

Jika melihat dari dikeluarkannya instruksi tersebut pada tahun 1973, menurut pandangan pribadi, ya, masa Orde Baru sepertinya agak ketakutan dengan fenomena budaya Hippies yang berkembang pada masa itu, tersebar melalui berbagai media, terutama hiburan seperti film dan sebagainya. Budaya Hippies identik dengan ketidakteraturan hidup alias tidak rapi. Akibatnya banyak masyarat kala itu utamanya laki-laki gemar memanjangkan rambut.

Mungkin, ya, definisi pribadi bangsa yang disebutkan sebelumnya, erat kaitannya dengan pengaruh tentara pada rezim Orde Baru. Ekonomi adalah panglima negara, merupakan jargon yang di gembar-gemborkan pada masa tersebut. Secara tersirat memang tentara berpengaruh banyak pada masa Orde Baru jika menilik dari kata panglima dari jargon tersebut.

Hippies jelas merupakan bentuk produk dari counter budaya. Berisi pandangan anak muda era '70-an agar punya hidup berbeda dengan gagasan yang dominan waktu itu. Mungkin kalau di zaman sekarang, budaya hippies, sepertinya agak mirip dengan fenomena SCBD itu. Berpakaian urakan di tempat yang menjadi sentral bisnis di Jakarta. Baik Hippies dan SCBD bisa dikatakan dikatakan sebagai bentuk perlawanan sosial melalui jalan fashion.
Mungkin, adanya kubu yang sama kuat antara fashion Hippies dan gaya hidup tentara yang terkesan rapi dan mengikuti aturan, berpotensi menimbulkan pergolakan yang mengancam kestabilan sosial. Maka, pada tahun '70-an, doktrin agar hidup rapi dan teratur juga disebarkan. Salah satunya dalam bentuk atutan yang berisi tentang larangan agar laki-laki tidak boleh berambut gondrong.

Penerapan aturan itu tidak main-main. Bahkan sempat ada suatu instansi bernama Bakorperagon atau Badan Koordinasi Pemberantasan Rambut Gondrong yang menjadi sumber ketakutan para pemuda berambut panjang pada tahun '70-an. Bakorperagon merazia siapa pun yang diketahui berambut gondrong. Apalagi pemilik rambut gondrong juga dikaitkan dengan pelaku kriminal, manusia tak tahu aturan, pengangguran, dan seterusnya, yang intinya identik dengan penyakit masyarakat.

Zaman boleh berganti tetapi larangan rambut gondrong tetap hidup. Salah satunya berada di lingkungan pendidikan. Baik secara tertulis atau tidak, larangan tersebut berlaku di setiap sekolah. Paling tidak sekolah bertitel negeri. Sementara “aktivis” Bakorperagon adalah guru. Terkadang, guru, yang biasanya bagian dari Kesiswaan, akan siaga di depan pintu sekolah dengan membawa gunting. Mereka akan memangkas kepala siswa berambut gondrong. Sesekali melakukan razia di dalam kelas.

Lantas, apakah guru boleh melakukan pemangkasan rambut kepada siswa? Masalah ini agak sulit juga dijelaskan secara pasti. Hanya ada aturan yang termuat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 74 tahun 2008, Pasal 39 ayat 1. Kira-kira seperti ini: guru diberikan kebebasan memberikan sanksi kepada siswa yang melanggar berbagai norma dan aturan yang sifatnya tertulis maupun tidak.

Kemudian diberikan penjelasan tambahan di ayat 2, berisi mengenai sanksi yang diberikan untuk setiap peserta didik. Adapun bentuknya bisa berupa teguran dan/atau peringatan, bersifat tertulis maupun lisan, dan jenis sanksi lain yang bersifat mendidik sesuai dengan kaidah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan.

Jadi, jawaban pertanyaan apakah guru boleh membabat rambut gondrong di kepala siswa laki-laki, adalah boleh dan sah-sah saja dilakukan. Meskipun misalkan, aturan berisi peserta didik laki-laki dilarang memanjangkan rambut hingga batas tertentu dan aturan tersebut tidak tertulis, tidak membatalkan wewenang guru dalam memangkas rambut siswa.

Pernah juga guru melakukan pemangkasan dengan cara yang terkesan agak berlebihan dalam sudut pandang orang tua murid, kemudian insiden tersebut dijadikan bahan perkara dan dimasukkan ke pengadilan. Kejadian ini terjadi pada tahun 2016-an. Meski pada akhirnya, pihak pengadilan membebaskan guru tersebut dari gugatan.

Memang, sanksi yang diberikan guru kepada siswa berambut gondrong terkadang agak berlebihan. Mungkin ada tujuan baik agar peserta didik taat aturan yang berlaku di tempat mereka belajar dan menuntut ilmu. Namun kalau bicara tentang potensi, bisa saja yang terjadi tidak sesuai harapan. Salah satunya, berawal dari sakit hati yang dirasakan seorang siswa, membuatnya semakin enggan untuk taat aturan. Perkara perasaan terkadang memampukan seseorang bertindak sebaliknya.

Maka, ada baiknya dalam memberikan sanksi, tak perlu berlebihan atau menimbulkan kesan urakan dalam menerapkannya. Paling tidak, dalam menerapkan sanksi kepada murid, mesti mempertimbangkan beberapa tahapan lebih dahulu. Karena perkara memberikan penguatan atau reinforcement baik yang sifatnya positif maupun negatif, serta punishment atau hukuman bisa memimbulkan efek terkejut. Iya kalau baik, bagaimana kalau sebaliknya? Terlebih di zaman sekarang. Apa saja bisa viral. 

Sementara dari pihak peserta didik dan/atau orang tua murid, sebaiknya mulai menyadari akan adanya aturan baik tertulis atau tidak, yang berlaku di sebuah lingkungan. Setiap aturan mengandung konsekuensi jika melanggar. Sebetulnya juga fenomena aturan tidak hanya berlaku di lingkungan sekolah. Berbagai aturan pun berlaku dalam skala sosial yang lebih kecil, misalkan di lingkungan keluarga. Apakah setiap aturan mengandung suatu konsekuensi selalu ditulis di lingkungan keluarga? Kan tidak. Kebanyakan bersistem tahu sama tahu saja.

Menilik konten yang beberapa waktu lalu sempat viral, mengenai adanya orang tua murid kelas satu sekolah dasar yang marah lantaran anaknya dicukur oleh guru, saya pikir kedua pihak yang berkonflik itu menanggapinya agak berlebihan. Seperti yang sudah saya katakan di paragraf sebelumnya, dalam memberikan sanksi kepada peserta didik, hendaknya diberikan secara bertahap alias tidak langsung ke sanksi final.

Memang, informasi yang saya dapatkan terbatas. Hanya bersumber pada konten video singkat yang dibuat oleh pihak orang tua murid. Saat menuliskan artikel ini, saya belum mendapatkan informasi berisi tanggapan dari pihak sekolah, khususnya guru yang melakukan eksekutor potong rambut. Jadi memang informasi ini saya anggap tidak berimbang. Hanya berdasarkan satu sudut pandang. Namun bukan berarti tidak bisa dijadikan masukan agar sekolah tersebut menjadi lebih baik lagi kedepannya.

Salah satunya, memberikan pesan berisi teguran dan/atau peringatan melalui pesan atau telepon ke orang tua murid jika anak mereka melakukan suatu pelanggaran. Dalam video singkat tersebut, pihak ibu menyatakan tidak mendapatkan hal ini. Meskipun pihak guru mengatakan sudah memberikan teguran kepada si anak.

Saya sendiri merasa agak aneh tentang perilaku guru kalau melihat bagaimana sistem komunikasi antara pihak sekolah dengan orang tua murid berjalan mulus di keluarga saya. Kebetulan sudah ada manusia kecil masuk sekolah dasar. Saat pertama kali dinyatakan diterima, emak si anak langsung dimasukkan ke grup WhatsApp sekolah. Pesertanya tentu saja orang tua murid dan pihak guru, seperti wali kelas, dan guru lain, yaitu: guru agama, Bahasa Inggris dan olahraga. Grup ini masih berjalan hingga sekarang. Kebetulan si anak sekarang sudah kelas dua, anggota grup yang terganti hanyalah wali murid saja.

Melalui grup tersebut, pihak sekolah biasanya menyebarkan berbagai informasi mengenai kehidupan sekolah. Dari sekadar mengingatkan pekerjaan rumah pelajaran tertentu, mengirimkan berbagai file dalam bentuk dokumen, video, atau lainnya yang dibutuhkan selama proses belajar, dan yang paling utama menyampaikan teguran akibat perilaku anak melalui pesan pribadi antara pihak wali murid atau guru lain dengan orang tua siswa. Saya pikir, metode komunikasi ini patut digunakan. Oh, jangan salah, guru-guru di mana si anak bersekolah, sudah mau masuk pensiun.

Sementara untuk pihak ibu yang kesal di video singkat tersebut secara khusus, dan orang tua murid secara umum, marilah mulai menyadari dan kembali mengingat bahwa ketika anak masuk ke dalam lingkungan baru, dalam kasus ini adalah lingkungan sekolah, pasti akan ada berbagai aturan yang sifatnya tertulis dan tidak, yang salah satunya tentang aturan larangan rambut gondrong pada siswa.

Kalau dari sumber video singkat yang saya sempat saya lihat, anak kelas satu tersebut memang berambut panjang dan berponi. Samar-samar juga terlihat bahwa rambut si anak agak kemerahan. Timbul pertanyaan, apakah akibat disemir atau sebab lain?

Terlepas larangan rambut gondrong merupakan larangan kuno dan kontroversial, tetapi hingga sekarang masih tetap diterapkan dilingkungan sekolah. Artinya, mau tidak, setuju atau tidak, suka atau tidak, namanya sebuah aturan memang mesti ditaati. Jika tidak, akan ada konsekuensi yang harus ditanggung.

Ada peribahasa, when you in rome, do as romans do. Atau dalam bahasa indonesia, kita mengenal dengan peribahasa, di mana bumi dipijak, di situlah langit dijunjung. Dua contoh peribahasa ini erat kaitannya dengan nalar bersosial.

Saya yakin, pihak ibu dalam video singkat tersebut pasti pernah bersekolah. Aturan berisi larangan rambut gondrong saya pun juga yakin jika si ibu tersebut pasti pun tahu mengenai hal ini. Lantas, mengapa ia terkesan tidak peduli?

Mau si anak ditegur atau tidak, seharusnya jika menggunakan nalar bersosial, ibu tersebut mestinya tahu betul, jika anak laki-lakinya masuk masa sekolah, mbok ya minimal poni si anak dipotong. Meskipun ini hanya pandangan pribadi, saya menganggap memang si anak berambut gondrong. Seperti yang sudah saya tulis secara panjang lebar, siswa dilarang berambut gondrong saat berada di lingkungan sekolah.

Katanya, si anak kandung mengalami tekanan mental pasca rambutnya diberangus seorang guru yang membuat anak-anak lain melakukan perundungan terhadapnya. Namun hal ini bisa saja dihindari jika sang ibu punya nalar bersosial yang baik. Mengingat anak umur segitu, pasti masih mudah menurut permintaan orang tua.

Jika si anak tidak mau menurut, misalkan tidak mau mencukur rambut, orang tua bisa menjelaskan konsekuensi yang akan ditanggung si anak. Jika memang tidak bisa diberitahu, biarkan saja si anak merasakan dampaknya. Dari sini, anak kemudian bisa belajar tentang konsekuensi bila melanggar suatu hal. Sebagai orang tua saat dihadapkan membesarkan anak, sifat tegas tetapi toleran memang harus dikedepankan.

Bisa jadi karena saat ini sekolah dianggap sebagai cara mendapatkan ijazah sehingga bisa melanjutkan jenjang pendidikan yang lebih tinggi lagi, sehingga tidak terlalu terlihat bahwa instansi pendidikan formal merupakan sarana yang tepat dalam mendidik anak. Salah satunya, tentang kehidupan bersosial dalam lingkup sekolah.

Erik Eriksson yang merupakan tokoh psikologi, membuat teori Delapan Tahap Perkembangan. Dalam tahap keempat, yakni tahap laten, yang terjadi pada usia sekolah dasar (6-12 tahun), wilayah sosial yang dihadapi anak menjadi lebih luas lagi daripada tahapan sebelumnya. Wilayah sosial tersebut bernama sekolah dasar. Semakin luas wilayah sosial, maka semakin banyak pula pihak-pihak yang terlibat. Tidak hanya orang tua, tetapi juga guru dan murid yang menjadi teman bermain si anak di lingkungan sekolah.

Berbagai pihak yang terlibat pada masa tahap laten, punya peran masing-masing dan mempengaruhi anak. Orang tua mesti mendorong agar anak giat belajar, guru harus mendidik, dan teman sebaya belajar menerima si anak. Dalam prosesnya, setiap pihak punya aturan main sendiri. Setiap aturan pastinya akan mengandung reward dan punishment.

Mengambil kasus yang viral itu, meskipun barangkali saya dianggap dingin karena pendapat saya, perundungan yang didapatkan si anak akibat guru memotong rambutnya, disebabkan karena ibu yang saya kesankan mengabaikan nalar bersosial dalam lingkungan sekolah. Seharusnya, jika ibu menyadari lebih cepat akan adanya larangan rambut gondrong yang berpotensi menimbulkan perundungan, hal semacam ini bisa dihindari. Malah seharusnya, sebelum masuk sekolah pun, orang tua sudah harus sadar akan hal ini.

Jangan salah, tidak hanya akibat perundungan, pengabaian suatu aturan bisa mempengaruhi kondisi mental seseorang juga. Secara ekstrim mampu melahirkan dan mengembangkan pribadi anti-sosial: tidak tahu aturan dan gemar melanggar setiap rules yang berlaku. Atau yang paling ringan, seseorang menjadi tidak peduli dengan kondisi lingkungan sosial. Seperti tidak tahu tata krama, tidak tahu etika, dan sebagainya. Patut diketahui, suatu masalah mental tidak melulu lahir dan berkembang akibat pengalaman atau kejadian yang tidak menyenangkan.

Ingat, hal yang besar selalu dimulai dari yang kecil. Jika sudah terbiasa melanggar aturan kecil, bukan tidak mungkin seseorang menjadi kebal, lalu akhirnya ia melakukan pelanggaran yang lebih tinggi dari sebelumnya. Kita ini hidup bermasyarakat. Agar berjalan dengan damai, apa salahnya mengikuti aturan meski hanya berskala kecil?


Tulisan ini ditulis oleh Angga Prasetyo di Cangkeman pada tanggal 23 Agustus 2022.

0
1.2K
9
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The LoungeKASKUS Official
922.7KThread82.1KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.