- Beranda
- Sejarah & Xenology
MENGUAK SEJARAH DALAM SEMANGKUK SOTO
...
TS
rocket2019
MENGUAK SEJARAH DALAM SEMANGKUK SOTO
(Sumber Gambar:www.unileverfoodsolutions.co.id)
A. MENCARI MAKNA DIBALIK NAMA "SOTO" DAN VARIANNYA
Semangkuk Soto dengan Topping Telur Ayam dan Tomat
(Sumber Gambar:www.fimela.com)
Siapa orang Indonesia yang tidak mengenal kuliner berkuah dengan taburan daging bernama “soto”. Kuliner hangat berasa rempah dengan aroma kaldu yang kental ini ternyata tidak hanya menggugah selera makan tetapi juga menggugah rasa penasaran yang besar. Kira-kira kenapa ya kuliner ini dinamakan “soto”? Dan apa maknanya? Yuk kita kupas satu persatu, tentunya jangan lupa sotonya sambil dimakan keburu dingin loh! He … He … He …
Berdasarkan Hasil dari menyelam di samudera literasi baik daring maupun luring, kami menemukan beberapa petunjuk untuk memecahkan asal-muasal terkait nama “soto”, sebuah kuliner yang konon berasal dari negeri tirai bambu. Yuk kita simak penjelasannya:
1. Menurut almarhum Bapak Profesor Dr. Denys Lombard(Lahir: Marseille, 4 Februari 1938-Meninggal: Paris, 8 Januari 1998) mengutip buku karya Philip Leo, tahun 1975, yang berjudul “Chinese Loanwords Spoken by the Inhabitants of the City of Jakarta”, terbitan Lembaga Research Kebudayaan Nasional, L.I.P.I., menjelaskan jika soto berasal dari kata Cina, yakni “Căodù” (草肚). Kata Căodù dibaca “Chau Tu” atau “Chau To/Jao To” dalam dialek Hokkian. Kata Căo (草) [Chau/Jao] secara harfiah berarti “rumput/rerumputan”. Kata rumput mengacu pada “rempah-rempah”. Para imigran Cina di Nusantara yang tidak mengerti nama rempah atau bumbu masak tersebut dengan sederhana menamakannya rumput [Căo (草)]. Sementara kata Dù (肚) [Tu/To/Tō] bermakna “perut” (Bahasa Inggris: belly) atau bisa juga diartikan “babat atau jeroan sapi” (Bahasa Inggris: tripe). Jadi, “Căodù” (草肚) bermakna “Jeroan Berempah” [1] [2] [3] [4] [5].
2. Menurut almarhum Bapak Russel Jones(Lahir: Hay-on-Wye, 14 April 1926-Meninggal: Truro, 6 Juni 2019), seorang orientalis peneliti bahasa dan kebudayaan Malaysia dan Indonesia dari Britania Raya, menjelaskan dalam bukunya yang berjudul “Loanwords in Indonesian-Malay” (2008), jika soto berasal dari kata “Shāodù” (烧肚). Kata Shāodù dibaca “Sao Tu/Saoto/Siotō”. Kata Shāo (烧) [Sao/Sio] bermakna “memasak”. Sementara kata Dù (肚) [Tu/To/Tō] bermakna “perut” (Bahasa Inggris: belly) atau bisa juga diartikan “babat atau jeroan sapi” (Bahasa Inggris: tripe). Jadi, “Shāodù” (烧肚) bermakna “Memasak Jeroan” [6] [3] [4] [5].
3. Menurut dosen dan antropolog Jurusan Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Universitas Brawijaya (UB), Mas Ary Budianto, SS., MA.,menyebutkan jika soto merupakan ‘plesetan’ dari kata “Zhūdùtāng” (猪肚汤). Kata Zhūdùtāng dibaca “Joo/Soo Tu/To/Tō Tang” oleh masyarakat Cina di Malaysia dan Singapura. Kata Zhū (猪) [Joo/Soo] bermakna “sup”. Sementara kata Dù (肚) [Tu/To/Tō] bermakna “perut” (Bahasa Inggris: belly) atau bisa juga diartikan “babat atau jeroan sapi” (Bahasa Inggris: tripe). Dan terakhir kata tāng (汤) [tang] bermakna “babi”. Jadi, “Zhūdùtāng” (猪肚汤) bermakna “Sup Jeroan Babi” [4] [5].
Dari tiga pendapat tersebut sedikit rumit menentukan mana yang ‘benar-benar tepat’ dari mana akar atau asal-usul perubahan kata “soto” ini berasal. Menanggapi hal ini mungkin, pendapat almarhum Bapak Aji ‘Chen’ Bromokusumo(Lahir: Semarang, 14 Juli 1972-Meninggal: Tangerang, 25 Juni 2020) [3], seorang pengamat sosial-budaya peranakan Tionghoa sekaligus anggota DPRD Tangerang Selatan periode 2019-2024 dan Sekretaris Partai Solidaritas Indonesia (PSI) ini, mungkin ada benarnya. Beliau menekankan bahwa dalam penamaan masakan tidak ada pakem khusus harus begini dan begitu, bisa saja masyarakat di suatu daerah menyebutnya Căodù (草肚), lalu di daerah lain disebut Shāodù (烧肚), sementara di daerah lain disebut Zhūdùtāng (猪肚汤).
Namun, ketiga varian nama tersebut selalu terdapat unsur kata “Dù(肚) [Tu/To/Tō]” dan selalu merujuk pada sebuah sup berkuah berbahan daging jeroan binatang berkaki empat (babi, sapi, atau kerbau), bukan binatang berkaki dua [4]. Sup-sup itu sendiri di negeri asalnya berfungsi sebagai “sup obat herbal” dipercaya mengandung protein, lemak, karbohidrat, vitamin, kalsium, fosfor, besi, dan lain sebagainya, yang bagus untuk fisik lemah setelah sakit, kekurangan darah, kekurangan gizi, mengaktifkan fungsi limpa dan lambung yang lemah, mengencangkan kulit, sebagai tonik kecantikan, serta gangguan pencernaan [5].
Nah, barangkali ketika orang-orang negeri tirai bambu ini datang ke Nusantara, sangat memungkinkan sekali telah terjadi transfer pengetahuan bahwa sup-sup jeroan itu berfungsi sebagai asupan guna mencukupi kebutuhan zat besi dan protein tubuh. Baru dikemudian hari sup-sup itu berakulturasi dengan citarasa, bumbu serta bahan lokal (yang lebih halal bagi komunitas Muslim). Dan akhirnya, seperti pendapat dari Ibu Hiang Maharimin(wartawan kuliner senior Majalah Femina sejak tahun 1974 dan istri Ismail Maharimin, sastrawan dan dosen IKIP Medan dan Fakultas Sastra, Universitas Indonesia) [2] dari sup-sup jeroan Tionghoa tersebut lahirlah [varian-varian lokal dari Căodù (草肚), Shāodù (烧肚), dan Zhūdùtāng (猪肚汤)], seperti soto, taoto (tauto), saoto (sauto), coto, (sroto, pen) dan lain sebagainya.
Varian-varian lokal itu kemudian membentuk varian lagi berdasarkan citarasa daerah di kepulauan Nusantara. Tercatat hingga kini telah muncul aneka varian soto berdasarkan nama daerah, seperti: 1) Soto Aceh, 2) Soto Medan, 3) Soto Pekanbaru, 4) Soto Padang, 5) Soto Tenggiri Jambi, 6) Soto Palembang, 7) Soto Mie Udang Lampung, 7) Soto Bangka, 8) Soto Banten, 9) Soto Jakarta, 10) Soto Betawi Kuah Susu, 11) Soto Bandung, 12) Soto Sadang Purwakarta, 13) Soto Banjar, 14) Soto Tasik, 15) Soto Bogor, 16) Soto Ayam Semarang, 17) Soto Boyolali Seger, 18) Soto Kemiri Pati, 19) Soto Banjarnegara, 20) Soto Purworejo, 21) Soto Tamanwinagun Kebumen, 22) Soto Gombong, 23) Soto Kudus, 24) Soto Jepara, 25) Soto Ayam Lamongan, 26) Soto Lenthok Yogyakarta, 27) Soto Madura, 28) Soto Pamekasan, 29) Soto Ayam Pacitan, 30) Soto Malang, 31) Soto Kediri, 32) Soto Ayam Ngawi, 33) Soto Kriyik Purbalingga, 34) Soto Ayam Purbalingga, 35) Soto (Tauto) Tauco Pekalongan, 36) Soto Grombyang Pemalang, 37) Soto Ayam Surabaya (Ambengan), 38) Soto (Sroto) Sokaraja, 39) Soto (Sauto) Tauco Tegal, 40) Soto Banyumas, 41) Soto Babat Bali, 42) Soto Mataram, 43) Soto Banjarmasin, 44) Soto Mahakam Samarinda, 45) Coto Makassar Daging Ayam [7], dan lain sebagainya.
Semangkuk Kecil Soto Bertabur Topping Ayam
(Sumber Gambar:www.food.detik.com)
B. TELUSUR JEJAK SEJARAH SOTO
Sup Sothi/Sodhi
(Sumber Gambar:www.gracespotonline.com)
Baiklah, kita sudah masuk bab berikutnya, di atas kita sudah menemukan petunjuk jika soto merupakan perubahan bunyi dari beberapa kata Tiongkok untuk sejenis sup. Seakan menandakan bahwa soto berasal berasal dari negeri tirai bambu. Tetapi menurut seorang pengamat budaya yakni Bapak Dr. Anthony Hocktong Tjio, menolak dengan tegas pendapat bahwa soto berasal dari Tiongkok, sebab dicari bagaimanapun di sana tidak akan ditemui hidangan yang mirip soto dengan kekayaan rempahnya. Beliau yakin soto justru berasal dari sup kare ringan bernama “Sothi/Sodhi(Bahasa Inggris: Light Yellow Curry)” dari India Selatan tepatnya dari wilayah Kota Tirunelveli (Nellai) sekitar 162 km selatan Kota Madurai, Ibukota Tamin Nadu, Negara Bagian India, dekat Samudera Hindia diseberang Negara Sri Lanka. Shoti adalah sejenis sup kare ringan. Isinya terdiri dari sayur karena masyarakat Hindu-Buddha di sana tidak makan daging. Oleh sebab itu shoti terlihat mirip sayur “lodeh”. Sementara itu di Sri Lanka, Malaysia dan Singapura, sothi justru mengandung ikan dan dikenal sebagai “Fish Sothi/Sodhi”. Kuliner ini diduga dibawa oleh orang India ke Nusantara ketika menyebarkan agama Hindu-Buddha [8].
Pendapat Bapak Anthony ini diajukan beberapa keberatan oleh Mas Ary Budianto [5], pertama, sothi/sodhiini lebih dekat dengan lodeh dari pada kare (apalagi soto di Indonesia, pen). Kedua, sothi/sodhi justru diperkirakan berasal dari Sri Lanka atau Malaysia yang menjadi populer ketika hadir di Tirunelveli, India Selatan. Ketiga, ditinjau dari ilmu linguistik, perubahan bunyi/ucapan dari kata sothi atau sodhi menjadi ‘soto’ terlalu jauh. Adapun kata itu jika mengalami perubahan bunyi harusnya menjadi sochi/soji/sohi/soghi. Jadi, menurut Mas Ary, ia masih berpegang bahwa muasal kata soto masih berasal dari negeri Tirai Bambu. Walaupun nantinya resepnya mengalami akulturasi dengan kebudayaan Nusantara setempat.
Menurut Mas Ary [4] dari segi cita rasa, soto di bagian barat (Soto Betawi) dan timur (Soto Madura yang mewakili soto di Jawa Timur pada umumnya) Pulau Jawa, bumbunya telah banyak dipengaruhi oleh India bahkan Arab. Sementara soto di bagian tengah Pulau Jawa lebih berkerabat dengan kimlo(dari segi bahan atau resepnya) atau bahkan mendekati resep asli Căodù (草肚) atau Zhūdùtāng (猪肚汤), walaupun terdapat campuran dari hasil inovasi dari resep opor (sebangsa kare), yang diterapkan pada pembuatan Soto Jawa Tengahan ini. Disisi lain, anehnya resep Zhūdùtāng (猪肚汤) di Singapura dan Malaysia tidak mengalami evolusi atau berhibridasi terlalu jauh dengan resep-resep budaya lain seperti di Indonesia. Hal ini membuktikan bahwa bahwa resep soto awal dari Tiongkok di Nusantara telah mengalami akulturasi beragam dari berbagai macam kebudayaan lokal dan interlokal (India dan Arab).
Terkait dengan data sejarahnya, sementara ini belum ada data yang pasti kapan kuliner soto hadir pertama kalinya di Bumi Nusantara. Hanya saja kuliner ini boleh dikatakan telah mengalami transformasi panjang sampai dengan bentuk sajian yang kita kenali saat ini. Data tertua terkait kuliner ini disebut dalam naskah tradisional yang disebut dengan “Serat Centhini”. Naskah ini ditulis pada tahun 1814 Masehi dan selesai ditulis pada tahun 1823 Masehi. Naskah ini ditulis atas perintah Adipati Anom Amangkunagara III, yang kemudian menjadi raja Kasunanan Surakarta dengan gelar “Sunan Pakubuwana V” yang bertahta pada tahun 1820-1823. Sedangkan tim panitia kepenulisnya ada tiga orang, yaitu: 1) Kyai Ngabehi Ranggasusastra, 2) Kyai Ngabehi Yasadipura II, dan juga 3) Kyai Ngabehi Sastradipura (Kyai Haji Muhammad Ilhar)[9].
Terkait masalah soto, kuliner ini disebut dalam naskah Serat Centhini pada bagian “Pupuh 157, Tembang Dhandhanggula bait ke-16-20”. Dalam teks itu soto disebut dengan nama “Saoto Kambangan”, salah satu kuliner yang disajikan dalam pertunjukan atau perhelatan wayang di Mataram [9]. Dengan demikian kuliner ini di Jawa bahkan mungkin di belahan Nusantara lainnya setidaknya mungkin baru dikenal pada abad ke-18 dan awal abad ke-19 Masehi. Sebagai contoh di Pulau Kalimantan, tepatnya di Kerajaan Banjar di Kalimantan Selatan, kuliner soto ini tampaknya tidak dikenal sebelum abad ke-18, buktinya kuliner ini tidak disinggung sama sekali sebagai bagian dari sajian kuliner kerajaan dan masyarakatnya, dalam naskah “Hikayat Banjar”, yang selesai ditulis pada tahun 1663 Masehi (abad ke-17 Masehi). Dengan kata lain, kuliner soto ini, harusnya masuk ke Kalimantan setidaknya setelah tahun 1663 Masehi [10].
Naskah Serat Centhini
(Sumber Gambar:[url=]www. http.kebudayaan.kemdikbud.go.id[/url])
Lanjutannya klik link berikut ini https://kask.us/iNtPC
[spoiler=Lanjutannya klik link berikut ini MENGUAK SEJARAH DALAM SEMANGKUK SOTOhttps://kask.us/iNtPC ][/spoiler]
DAFTAR LITERATUR
1. Denys Lombard. (2005). Nusa Jawa: Silang Budaya, Kajian Terpadu, Bagian II: Jaringan Asia. Cetakan III. (Judul Asli: LE CARREFOURJAVANAIS Essai d’histoire globale II Les reseaux as). (Penerjemah: Winarsih Partaningrat, Arifin Rahayu S., dan Hidayat Nini Hidayati Yus). Hal. 320 & 488 (Catatan No. 1360). Buku ini diterbitkan dalam rangka program bantuan penerbitan atas dukungan Departemen Luar Negeri Prancis, melalui Kedutaan Besar Prancis di Indonesia Bagian Kerjasama dan Kebudayaan serta Pusat Kebudayaan Prancis di Jakarta. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama bekerjasama dengan Forum Jakarta-Paris dan École française d’Extrême-Orient.
2. Hiang Marahimin. (2011). Seri Masak Femina: Masakan Peranakan Tionghoa Semarang. Cetakan I. (Editor: Linda F. Adimidjadja). Jakarta: Gaya Favorit Press.
3. Aji ‘Chen’ Bromokusumo. (2013). Peranakan Tionghoa dalam Kuliner Nusantara (Plus Resep-Resep Khas Peranakan). (Asisten Penulis: Novie Chen dan Ennita ‘Peony’ Wibowo). Cetakan I. Hal. 70-73. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
4. Ary Budiyanto dan Intan Kusuma Wardhani. (2013). ‘Menyantap Soto Melacak Jao To: Merekonstruksi (Ulang) Jejak Hibriditas Budaya Kuliner Cina dan Jawa’. Dalam Chinese-Indonesian: Their Lives and Identities: Proceedings of International Conference on Chinese Indonesians, Grand Candi Hotel, Semarang 14-16 November 2013. (Reviewers: Prof. Esther Kuntjara, Ph.D., Setefanus Suprajitno, Ph.D., dan Elisa Christiana, M.A., M.Pd. ketiganya dari Center for Chinese Indonesian Studies, Petra Christian University). Hal. 153-166. Surabaya Institute for Research and Community Service, Petra Christian University.
5. ____________. (2017). ‘Historiografi Soto Jejak Metodologi Sejarah Kosmopolitanisme Indonesia’. Dalam Menemukan Historiografi Indonesiasentris: Kumpulan Tulisan Seminar Sejarah Nasional Tahun 2017. Seminar diadakan oleh Perkumpulan Program Studi Sejarah se-Indonesia (PPSI), Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI), dan Departemen Sejarah Universitas Gadjah Mada (UGM). (Editor: Sri Margana, Retno Sekarningrum dan Ahmad Faisol). Hal.118-144. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
6. Russel Jones (General Editor). (2008). Loan-Words in Indonesian and Malay: Compiled by the Indonesian Etymological Project. (Editors: C.D. Grijns† dan J.W. de Vries & Assistans Editor: M. Siegers). Cetakan I. Hal. 295. Jakarta: Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (KITLV) dan Yayasan Obor Indonesia (YOI).
7. Susilaningsih, Martina Andriani, dan Bara Yudhistira. (2017). Kuliner Soto Nusantara: Kumpulan Resep. Cetakan I. Hal. 02. Jakarta-Surakarta: Badan Ekonomi Kreatif Indonesia (BEKRAF) dan Universitas Sebelas Maret (UNS).
8. Anthony Hocktong Tjio. (2015). ‘Rubrik Sejarah: Asal-Usul Soto dari Mana’. Dalam Majalah Indonesia Media: Berdaya Lewat Lintas Budaya (An Independent Biweekly Magazine), Edisi Early February 2016. Hal. 23-24. Glendora: Indonesia Publisher Publications.
9. Wahjudi Pantja Sunjata, Sumarno, dan Titi Mumfangati. (2014). Kuliner dalam Serat Centini. Cetakan I. Hal. 13, 34 & 94. Yogyakarta: Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Daerah Istimewa Yogyakarta.
10. Murasalin. (2021). ‘Rubrik Anjungan: Mencicipi Soto Banjar, Membayangkan Sejarah’. Dalam KANDIL: Majalah Kebudayaan, Empar Bulanan, Edisi Juli 2021. Hal. 40-43. Banjarmasin: Lembaga Kajian Keislaman & Kemasyarakatan (LK-3).
11. Cornelis Leendert van der Burg. (1904).De Voeding in Nederlandsch-Indië. Hal. 47. Amsterdam: J.H. de Bussy.
12. Charles Edgar (Eddy) du Perron. (1961). Het Land van Herkomst. Hal. 241 & 335. Amsterdam: G.A. van Oorschot.
13. Olivier Johannes Raap. (2013). Pekerdja di Djawa Tempo Doeloe. Cetakan II. Hal. 19. Yogyakarta: Galang Pustaka.
14. Bara Yudhistira dan Ani Fatmawati. (2020). ‘Diversity of Indonesian Soto’. Dalam Journal of Ethnic Foods, Vol. 07, No. 27, Edisi 2020. Hal. 01-09. London: BioMed Central, Ltd.
benche87 dan 36 lainnya memberi reputasi
37
10.7K
190
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Sejarah & Xenology
6.5KThread•11.1KAnggota
Urutkan
Terlama
Komentar yang asik ya