pilot2isekai078Avatar border
TS
pilot2isekai078
Penggantian nama Kota Tua menjadi Batavia bertentangan dengan semangat dekolonisasi
Ajeng A. Airinikasih
Diterbitkan: September 21, 2022 3.54pm WIB


Penggantian nama Kota Tua Jakarta menjadi Batavia oleh Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menyusul pembukaan kembali kawasan tersebut setelah proses revitalisasi bertentangan dengan semangat dekolonisasi yang gencar dilakukan di seluruh dunia.

Dekolonisasi adalah upaya melepaskan diri dari sistem, ideologi, dan cara pandang kolonial yang represif. Dekolonisasi adalah proses panjang yang masih terus dilakukan dan belum selesai.

Belakangan, praktik dekolonisasi marak dilakukan oleh museum di berbagai belahan dunia. Caranya pun berbeda-beda. Di Prancis, Presiden Emmanuel Macron mengembalikan 26 koleksi Museum Quai Branly yang dijarah oleh Prancis ke negara asalnya Republik Benin.

Lalu, Rijksmuseum di Belanda justru mengakui sejarah kelam kolonialisme negerinya dengan pameran “Revolusi! Indonesia Independent” di awal tahun 2022 kemarin.

Sedangkan, Museum Barbados tidak lagi hanya menampilkan cerita tentang para pemilik perkebunan yang berbudaya Eropa. Museum kini menampilkan identitas plural masyarakat Barbados yang berakar dari perbudakan di era kolonial.

Tapi di Jakarta, semangat kolonialisme justru ingin dihidupkan kembali.

Anies menjelaskan alasan pemberian nama Batavia tersebut adalah agar wilayah Kota Tua dapat mencerminkan masa lalu di kota modern masa depan. Namun, saya melihat keputusan ini justru menunjukkan Jakarta membiarkan semangat kolonial tetap hidup.

Mengapa ini berbahaya

Batavia merupakan nama kota yang dibangun oleh  Jan Pieterszoon Coen, Gubernur Jenderal kongsi dagang Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) pada tahun 1621, setelah VOC meluluhlantahkan Jayakarta, yang sekarang dikenal sebagai Jakarta.

Mengganti nama Kota Tua Jakarta kembali menjadi Batavia berarti merayakan kemenangan Coen. Merayakan penjajahan dan kolonialisme.

Padahal sosok Coen menuai banyak kontroversi.

Bahkan di Hoorn, kota kelahiran Coen di Belanda, keberadaan patung Coen masih menuai kontroversi hingga hari ini. Sebagian masyarakat Belanda tidak ingin lagi patung tersebut tetap ada karena menganggap Coen bukan pahlawan, tapi merupakan pembunuh massal masyarakat di Kepulauan Banda pada abad ke-17 silam.

Ironisnya, di Indonesia, nama Batavia justru diangkat lagi.

Selain itu, mengganti nama menjadi Batavia juga berarti membiarkan warisan kolonial terus dipelihara, yakni rasa rendah diri dan perasaan inferior terhadap bangsa asing.

Pemerintah kolonial Belanda membagi masyarakat menjadi tiga kelas: Eropa/Indo-Eropa, Timur Asing, dan masyarakat lokal yang saat itu disebut dengan inlander atau pribumi. Ketika itu, masyarakat Indonesia terbiasa menjadi warga kelas tiga.

Dengan membiarkan nama Batavia dipakai kembali, saya melihat justru istilah ini merendahkan diri sendiri.

Tidak hanya itu, penggantian nama ini juga mengabaikan upaya dekolonisasi yang sudah dilakukan oleh mantan gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin sejak tahun 1970-an.

theconversation.com
T2Y
bukan.bomat
asurizal
asurizal dan 8 lainnya memberi reputasi
9
2K
64
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
670.7KThread40.8KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.