Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

cangkeman.netAvatar border
TS
cangkeman.net
Penyebab Multiverse Dalam Sastra Jawa


Cangkeman.net - Belakangan ini, saya agak tertarik membaca karya-karya ke-kuno-an buatan masyarakat Jawa masa lalu. Barangkali bagi yang newbie seperti saya, saat melakukannya akan terkejut. Tak jarang ditemukan berbagai konsep, tokoh dalam suatu cerita, dan sebagainya yang tidak sesuai dengan aslinya. Pastinya, bagi seseorang yang berjiwa puritan akan membantah keras. Namun, saya pikir hal ini bisa saja di maklumi dalam sudut pandang multiverse.

Multiverse atau multisemesta bisa dikatakan suatu konsep yang memungkinkan adanya sekumpulan alam semesta, termasuk di mana kita tinggal, yang secara keseluruhan berbagai aspeknya tetap ada, misal: ruang, waktu, energi, dan sebagainya. Konsep multiverse erat kaitannya dengan dunia alternatif.

Misal, di dunia ini kita mengenal Kolonel Sanders sebagai pencipta waralaba KFC. Namun di dunia alternatif belum tentu demikian. Seperti yang diandaikan Haruki Murakami. Penulis asal Jepang tersebut “menciptakan” sang kolonel sebagai gigolo dalam novelnya yang berjudul Dunia Kafka. Konsep multiverse juga digunakan oleh “dunia” Marvel dan DC. Menariknya, dalam karya sastra Jawa, multiverse pun diterapkan sampai-sampai pembaca bisa saja mengalami kebingungan lantaran tidak sesuai dengan “realita” di dunia ini.

Contohnya dalam Kidung Sudamala dikisahkan sang bungsu Pandawa, yakni, Sadewa, melakukan aksi menyelamatkan Batari Durga yang sebelumnya berwujud serupa iblis perempuan, kembali menjadi sosok dewi yang cantik. Sebuah kisah yang tidak bisa ditemukan dalam naskah Mahabharata asal India. Ternyata, kisah tersebut tidak sampai di situ saja. Kita akan menemukan sekuelnya dalam Lontar Sri Tanjung yang menjadi landasan dari legenda asal-usul Banyuwangi. Dikisahkan, Sri Tanjung merupakan cucu dari Sadewa.

Masih agak berkaitan dengan contoh sebelumnya karena menyinggung Batari Durga. Terdapat suatu konsep sang shakti Batara Guru ini yang bisa dikatakan cukup ekstrim. Misalkan, masih dalam sumber yang sama, yakni, Kidung Sudamala, dikisahkan sang Dewi bermain serong dengan Dewa Brahma yang membuat Dewa Siwa murka. Dikutuklah sang Dewi menjadi Durga Ra Nini. Sosok serupa iblis yang memimpin bala tentara setan bertempat tinggal di istana bernama Setra Gandamayu atau juga dikenal sebagai Setra Gandamayit. Tidak hanya dalam karya sastra, ini juga ditemukan dalam bentuk relief di Candi Sukuh dan Candi Tegowangi.

Masih dengan sosok yang sama, dalam kitab Tantu Panggelaran, dikisahkan Dewi Uma, bentuk lain dari Durga, murka dengan Kartikeya atau Kumara, lantaran tersinggung dengan ucapan sang anak kandung. Kumara berkata bahwa sang dewi tidak lebih dari “saluran”. Di robek tubuh Kumara, diminum darahnya, dan dihisap sumsum anaknya oleh sang Dewi. Melihat insiden ini, Sang Rajadewa menjadi jijik. Dikutuklah Dewi Uma menjadi Durga Ra Nini.

Dalam Kakimpoi Arjunawiwaha karangan Mpu Kanwa, yang hidup pada masa kerajaan Kahuripan, Diceritakan bahwa Arjuna bertapa di gunung Mahameru. Para dewa mengujinya, sampai pada akhirnya, Arjuna diberi tugas untuk melawan Niwatakawaca, sosok raksasa yang memporak-porandakan suralaya atau kayangan. Setelah mengalami kemenangan, Arjuna mendapatkan kesempatan untuk tinggal di kayangan selama beberapa waktu dan menikahi tujuh bidadari. Sebuah kisah yang tidak bisa kita temukan dalam naskah Mahabharata versi India.

Contoh terakhir, terdapat sebuah legenda berasal dari gunung Nglanggeran, Yogyakarta, yang ada kaitannya dengan sosok Ongkowijoyo. Tokoh ini merupakan sebutan lain dari Angkawijaya, alias Abimanyu, anak dari Arjuna, merupakan bagian dari Pandawa. Masyarakat setempat juga meyakini bahwa Ongkowijoyo dan para punakawan tinggal di sekitar gunung tersebut. Terdapat suatu larangan keras untuk tidak boleh mementaskan lakon berisi kekalahan yang dialami Ongkowijoyo. Kalau menebak, bisa jadi lakon yang dimaksud adalah saat Abimanyu dikepung lalu mengantarkannya pada kematian. Sengaja atau tidak sengaja melakukannya, diwajibkan rajapati: menumbalkan manusia.

Mungkin pembaca lain juga akan menemukan berbagai “dunia” alternatif dalam naskah-naskah sastra kuno buatan pujangga Jawa. Pertanyaannya, mengapa terdapat berbagai konsep atau kisah yang beragam namun dengan aspek yang sama, seperti yang telah saya contohkan dalam berbagai paragraf sebelumnya. Misalkan, baik India maupun Jawa, mengenal tokoh-tokoh tersebut, namun terdapat kisah yang berbeda yang hanya ditemukan dalam karya sastra Jawa Kuno.

Pertama, dugaan termudah adalah penyebaran kisah-kisah tersebut tidak berjalan dengan baik pada awalnya. Sehingga, masyarakat pada masa itu hanya mendapatkan sepotong dari suatu kisah, kemudian mereka mengimajinasikan kelanjutan dari kisah tersebut. Apalagi ditambah dengan adanya fakta bahwa pendidikan pada masa itu bukan sebagai kewajiban seperti saat ini. Jika ada yang ingin “sekolah”, yang pada masa itu berupa kadewaguruan dan karesyan, mereka harus mencarinya sendiri jika yang bersangkutan bukanlah dari kalangan istana. Tentu saja jumlah penduduk terbanyak bukanlah dari kalangan tersebut. Padahal, instansi pendidikan merupakan suatu badan yang sangat mampu untuk menyamakan suatu konsep.

Dugaan kedua, terlepas mereka menjalankan atau tidak fase brahmacari, atau masa menuntut ilmu, terdapat kemungkinan adanya unsur kesengajaan. Bahasa mudahnya adalah menggubah. Apalagi ditambah dengan adanya Kitab Wertasancaya karangan Mpu Tan Akung yang hidup pada masa kerajaan Kediri. Kitab ini memuat nasihat dan tata cara dalam menciptakan syair yang baik. Jadi, dengan ilmu yang berasal dari Kitab Wertasancaya, masyarakat Jawa Kuno menggubah berbagai cerita.

Masih berkaitan dengan dugaan sebelumnya, ada kemungkinan suatu karya merupakan pesanan dari kalangan sosial atas. Misalkan, Kakimpoi Arjunawiwaha merupakan permintaan dari Raja Airlangga kepada Mpu Kanwa untuk membuat suatu kisah yang mencerminkan keberhasilannya dalam peperangan yang terjadi pada masa tersebut.

Faktor lainnya adalah untuk memperkuat suatu aturan tertentu, seperti dalam legenda gunung Nglanggeran. Sejauh ini, saya tidak tahu siapa sosok yang sebenarnya yang dipersonifikasikan sebagai Ongkowijoyo. Dugaan saya, barangkali yang bersangkutan merupakan seorang pemimpin suatu wilayah, atau paling tidak pemimpin pasukan prajurit. Kemungkinan dia mengalami kekalahan telak dan tidak ingin masyarakat setempat mengingat hal itu. Maka, dibuatlah aturan dengan harapan “mematikan” ingatan masyarakat tentang kejadian tersebut.

Terdapat dugaan lain yang menurut saya tak kalah menarik. Berbagai kisah dianggap sudah tidak sesuai dengan kondisi zaman. Misalkan, dalam Mahabharata, kita mengenal adanya sosok Drupadi yang bersuami lima, yakni, Pandawa. Konsep poliandri jelas tidak masuk dalam masa Islam. Hal inilah yang kemudian kisah Mahabharata di-islamisasi. Sehingga yang terjadi adalah, Drupadi hanya memiliki satu suami, yaitu, si sulung Pandawa; Yudhistira. Tujuannya tentu saja untuk menyebarkan pengaruh.

Dugaan terakhir, berbagai pujangga yang hidup pada masa Jawa Kuno menggubah berbagai cerita dan disesuaikan dengan kondisi zaman sebagai bentuk kritik kepada penguasa. Pada saat yang sama, masyarakat, utamanya yang berasal dari kalangan bawah, tidak mau sepenuhnya untuk meninggalkan ajaran lama. Dengan kekuatan sinkretisme, akulturasi, mereka melakukan peleburan di setiap sudut, salah satunya yang terjadi dalam karya sastra. Sangat jelas bentuk perlawanannya adalah tidak memberikan kesetiaan suatu ajaran yang berasal dari luar, misalkan, dari sumber India, seperti ajaran Hindu dan Budha. Adapun berbagai karya sastra yang terkenal adalah: Tantu Panggelaran, Pararaton, Serat Calonarang, Kidung Sudamala, dan sebagainya. Jenis perlawanan ini pada masa mendatang pun juga terjadi, seperti saat periode Islam dan masuknya agama Kristen. Kita mengenal salah satu produk mereka sebagai aliran Islam Kejawen, Kristen Kejawen, dan seterusnya.

Terlepas apapun alasan yang sebenarnya, dampak yang terjadi adalah lahirnya berbagai kisah dan suatu konsep yang tidak ditemukan dalam suatu kisah atau bahkan sampai ajaran murni. Hal inilah kemudian terlahir banyak “semesta” meski berbagai aspeknya yang digubah lantaran suatu faktor atau kepentingan tertentu namun tetap bisa ditemukan pada yang asli. 


Tulisan ini ditulis oleh Angga Prasetyo di Cangkeman pada tanggal 5 Juli 2022
0
588
3
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The LoungeKASKUS Official
923.1KThread83.4KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.