newsmerahputihAvatar border
TS
newsmerahputih
Jangan Jijik, Ini Manfaat Konsumsi Serangga


Merahputih.com - Tangannya meraup belalang goreng di piring tanpa ragu. Dia mengarahkannya ke mulut. Suara giginya mengunyah belalang goreng terdengar jelas. "Krauk... Krauk." Seperti suara orang mengunyah udang atau gorengan.

Harmini (40 tahun), pekerja rumah tangga itu, sudah biasa mengonsumsi belalang goreng. Di kampung halamannya, Wonogiri, dia mengonsumsinya sejak kanak-kanak. "Banyak yang bikin di sana. Keluarga bikin bukan buat dijual. Rasanya enak. Sedikit mirip udang," kata Harmini kepada merahputih.com.

Praktek menyantap serangga atau entomofagi bukan hal lumrah di Indonesia. Banyak orang merasa jijik dengan serangga. Membayangkannya saja sudah enek. Rasanya pasti tak karuan. Begitulah kesan banyak orang yang ditangkap oleh F.G. Winarno, Guru Besar Ilmu Pangan dan Teknologi Institut Pertanian Bogor (IPB).

"Saat mengonsumsi serangga, masyarakat akan mengalami bias yang besar, baik dari segi psikologi maupun budaya. Padahal banyak diantara serangga yang memiliki rasa lezat," terang F.G. Winarno dalam Serangga Layak Santap : Sumber Baru bagi Pangan dan Pakan.

Selain itu, serangga dipandang sebagai pengganggu atau hama. "Nyamuk dan lalat sering masuk ke rumah dan membawa penyakit, rayap menghancurkan furnitur berbahan kayu, dan beberapa serangga yang masuk ke makanan dapat memicu rasa jijik," terang I Made Adi Prema Nanda dalam "Analisis Risiko Penularan Zoonosis dari Serangga Konsumsi" termaktub dalam Jurnal Balairung, Volume 2, Nomor 2, Tahun 2020.

Tapi penelitian Food Agricultural Organization pada 2013 telah membuktikan sebagian besar anggapan itu tak benar. Dari 1 juta spesies serangga, hanya 5.000 spesies yang dianggap berbahaya. Sisanya digolongkan layak santap (edible insects).

"Lebih dari 1.900 spesies dilaporkan telah digunakan sebagai makanan. Serangga memberikan sejumlah manfaat ekologi yang penting bagi kelangsungan hidup umat manusia," tulis Arnold van Huis dkk dalam Edible Insects Future Prospects for Food and Feed Security.

Penelitian lainnya menyatakan kandungan gizi serangga tergolong tinggi. "Serangga dapat memenuhi kebutuhan nutrisional dari manusia dan kebanyakan mengandung asam amino penting yang diperlukan oleh tubuh," catat Lutfi Afifah dalam "Entomophagy : Serangga sebagai Sumber Protein Alternatif dalam Perspektif Keamanan Pangan", termuat di Prosiding Seminar Nasional Perhimpunan Entomologi Indonesia Cabang Bandung Tahun 2017.

Nilai gizi yang terkandung dalam serangga layak santap telah lama diakui oleh World Health Organization. "Serangga layak santap juga telah dinyatakan bagus untuk memenuhi kekurangan protein bagi penduduk miskin, termasuk mereka yang positif terkena HIV--menuntut asupan protein tinggi untuk melawan kerusakan fungsi imunitas.

Serangga juga disimpulkan mempunyai risiko lebih rendah menularkan penyakit kepada manusia (zoonosis) dibandingkan hewan ternak seperti sapi, kambing, babi, dan unggas. "Sampai saat ini belum ada bukti bahwa serangga konsumsi dapat menularkan zoonosis pada manusia karena hubungan kekerabatan antara serangga dan manusia sangat jauh. Kemungkinan penularan penyakit melalui permukaan tubuh serangga dapat diatasi dengan pengolahan yang tepat sebelum konsumsi," tambah I Made Adi Prema Nanda.

Beberapa kelompok masyarakat di Indonesia mempunyai kebiasaan menyantap serangga. Masyarakat di Gunung Kidul, Yogyakarta, mengonsumsi belalang sebagai lauk-pauk sehari-hari. Sebagian mereka menjualnya sebagai tambahan penghasilan.

"Belalang yang diolah masyarakat Gunung Kidul adalah jenis belalang kayu yang banyak hidup di dahan pohon jati dan semak belukar. Penduduk mengolah belalang goreng menjadi 3 rasa, yaitu rasa gurih, pedas dan manis," urai Pratiwi Girsang dalam "Serangga, Solusi Pangan Masa Depan", terkandung dalam Jurnal Pembangunan Perkotaan Volume 6, Nomor 2, Juli-Desember 2018.

Potensi serangga juga ditangkap oleh masyarakat Ciamis, Jawa Barat; Jawa Timur; dan Papua. Orang Ciamis mengolah jangkrik goreng, orang Jawa Timur menjual rempeyek laron, dan orang Papua mengenalkan sate ulat sagu.

Di sebalik manfaatnya, serangga tak lepas dari kemungkinan membawa alergi bagi beberapa orang. "Serangga dan Crustacea (udang) secara umum mengandung senyawa alergen sehingga selalu berpeluang menimbulkan reaksi alergi," terang F.G. Winarno.

Winarno mengingatkan pula bahwa nilai gizi yang terkandung dalam serangga akan sangat bervariasi karena perbedaan spesies satu sama lain. Juga lantaran perbedaan cara pengolahan dan penyajiannya. Apakah itu dikeringkan, direbus, atau digoreng.

Seperti pada sumber pangan lainnya, potensi penyebaran bakteri dari serangga juga masih ada. Tapi ini bisa diatasi oleh pendinginan, pembekuan, dan pemasakan seperti yang diterapkan pada daging sapi, unggas, dan ikan. Dengan begitu, potensi perkembangbiakan bakteri dapat dicegah.


Sumber
yeduoka
jagotorpedo
Cucigosok
Cucigosok dan 5 lainnya memberi reputasi
6
863
9
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The LoungeKASKUS Official
922.9KThread82.7KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.