Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

shinsounAvatar border
TS
shinsoun
Malu Aku Jadi Profesor di Indonesia
Malu Aku Jadi Profesor di Indonesia

GURU besar (profesor) merupakan jabatan akademis tertinggi seorang dosen di perguruan tinggi (PT). Bagi seorang dosen, menjadi profesor adalah gabungan antara ambisi, prestasi, gengsi, sensasi, dan ekonomi.

Keberadaan sejumlah guru besar merupakan salah satu penentu kualitas, kemajuan, dan wibawa sebuah PT. Semakin banyak jumlah guru besar, semakin baik kualitas PT dan semakin bertambah kepercayaan publik. Karena itu, semua PT saat ini berlomba-lomba mendorong para dosen untuk mencapai jabatan guru besar.

Kuantitas profesor yang sedikit berkorelasi terhadap rendahnya kualitas PT di Indonesia. Berdasarkan Times Higher Education 2022, tiga perguruan tinggi terbaik Indonesia hanya menempati posisi seribuan: UI (801-1000), ITB (1001-1200), dan UGM (1201+).

Posisi ini jauh di bawah universitas terbaik di negara berkembang anggota G20 seperti University of Cape Town, Afrika Selatan (183), University of Buenos Aires, Argentina (176-200), King Abdul Aziz University, Saudi Arabia (190), University of Sao Paulo, Brazil (201-250), Indian Institute of Science, India (301-350), Cankaya University, Turki (401-500), dan Monterrey Institute of Technology, Mexico (601-800).

Peringkat universitas terbaik Indonesia bahkan masih jauh di bawah universitas di negara Afrika yang tingkat kemajuannya berada di belakang Indonesia, seperti Addis Ababa University di Ethiopia (401-500), University of Nairobi di Kenya (501-600), University of Lagos di Nigeria (501-600), dan Makerere University di Uganda (601-800).

Selain kuantitas, kualitas profesor juga berkontribusi terhadap rendahnya kualitas PT di Indonesia. Prof Mikrajuddin Abdullah, Guru Besar ITB, mengkritisi bahwa para dosen “berubah menjadi santai” ketika memperoleh jabatan profesor. Puncak karya dosen di Indonesia terjadi pada periode pengajuan jabatan dari lektor kepala ke guru besar, dan prestasi tersebut meluruh begitu SK guru besar turun (Abdullah, 2022).

Bagaikan pendaki gunung, profesor adalah dosen yang telah mencapai puncak karir. Yang dilakukan kemudian adalah menikmati hasil jerih payahnya, terutama berupa tunjangan sertifikasi profesor yang besarnya tiga kali lipat tunjangan dosen yang bukan profesor. Aktivitas ilmiah yang terpenting adalah menulis satu buku dan satu jurnal internasional bereputasi, atau satu buku dan tiga jurnal internasional, setiap tiga tahun untuk mempertahankan agar tunjangan profesornya tetap mengalir setiap bulan.

Seperti dosen pada umumnya, motivasi profesor juga dapat dikelompokkan menjadi enam: profesor akademis, profesor politis, profesor sosialis, profesor kapitalis, profesor selebritis, dan profesor agamis. Inilah yang menyebabkan profesor Indonesia jarang sekali yang menghasilkan karya ilmiah, inovasi maupun teknologi yang bermutu tinggi yang bermanfaat dan dapat mengangkat harkat martabat dirinya, PT-nya, dan bangsa Indonesia.

Prof. Mikrajuddin Abdullah juga mengungkapkan bahwa hanya sebagian kecil dosen tertentu yang berkontribusi signifikan dalam membesarkan nama PT, sedangkan sebagian besar lainnya “hanya menikmati” nama besar PT-nya. Sebagian kecil tersebut adalah dosen akademis dan profesor akademis, sedangkan sebagian besar adalah lima kelompok dosen dan profesor lainnya.

Lebih dituntut bikin laporan keuangan dibanding laporan penelitian
Kendala para dosen dan profesor akademis dalam menghasilkan karya ilmiah dan buah pemikiran yang bermanfaat bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kemaslahatan masyarakat bukan hanya masalah dana, melainkan administrasi laporan keuangan. Di negara yang terkenal korupsinya ini, laporan keuangan justru dianggap lebih penting daripada laporan penelitian.

Seorang profesor yang meneliti mobil listrik misalnya, tidak cukup melaporkan hasil berupa prototipe mobil listrik atau luaran jurnal internasional bereputasi, melainkan juga harus mempertanggungjawabkan laporan keuangan setiap rupiah yang digunakan. Jika diduga bersalah, dia harus siap diperiksa BPK atau kejaksaan.

Seorang profesor yang dalam proposalnya menyebutkan “biaya membeli rumput 10 ton sebesar Rp 10 juta” misalnya, akan dianggap bersalah jika dalam laporan keuangannya menjadi “upah memotong rumput (ngarit) 10 ton sebesar Rp 10 juta”. Sejumlah profesor kemudian melakukan “taubatan nasuha” untuk tidak mengajukan proporal penelitian berdana besar yang berisiko terhadap kebahagiaan hidupnya.

Baca juga: 2 Profesor IPB Jadi Ilmuwan Terbaik 2022 Versi AD Scientific Index

Para profesor juga tidak tertarik menjadi penulis buku bermutu. Menulis buku bermutu itu membutuhkan pengorbanan waktu, tenaga, pikiran, dan perasaan yang luar biasa. Royalti menulis buku juga tidak besar, hanya sekitar Rp 10 ribu per buku.

Jika bukunya tidak laku di pasaran, maka mereka tidak memperoleh royalti sesuai harapan. Jika bukunya laku keras di pasaran, maka akan terbit buku bajakan atau fotokopian yang merugikan dirinya.

Oleh karena itu, sejumlah profesor tidak lagi tertarik menjadi peneliti unggulan dan penulis buku bermutu. Mereka lebih bahagia jika bisa menjadi pejabat pemerintah, pejabat kampus, politisi, konsultan, nara sumber, penceramah, atau bintang iklan.

Sumber: https://www.kompas.com/edu/read/2022...-di-indonesia?
servesiwi
agam69
steven.thereds
steven.thereds dan 4 lainnya memberi reputasi
3
1.8K
35
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
672.1KThread41.8KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.