m60e38Avatar border
TS
m60e38
Seuntai Asa Bagi Teana | [COC] Cinta Lama Bersemi Kembali
SEUNTAI ASA BAGI TEANA


Quote:


Antara Kau, Aku, dan Mimpi


Tegal, 3 Desember 2015

Quote:


Lagu itu, ya Dahlia dari X Japan, selalu berhasil memutarkan segala imaji yang telah berlalu tentang mereka.

Apa kabar mereka di sana ya?

Kadang diri ini bertanya-tanya, seperti apa hidup mereka setelah segalanya ditinggalkan dengan sisa manis yang mungkin saja masih terkecap di asanya.

Masih teringat isi pesan singkat tersebut kepada Teana sesaat sebelum menikahi Cauthelia. Alih-alih membalas pesan itu, ia justru menelepon untuk mengucapkan selamat.

Namun segalanya langsung hilang bersama dengan asa yang telah terendap. Lagipula, ia sudah menikah dengan lelaki yang memilih untuk menerima segala keindahan dan kesempuraan itu. Lega rasanya mengetahui ia sudah berkeluarga meskipun tiada bisa dipungkiri, bara semara itu masih tetap membara walau hanya sepercik.

*****


Pagi ini, sediki terkejut tatkala resepsionis mengatakan ada seorang wanita yang ingin berkunjung ke kamar ini. Tanya itu mulai mengelana, menjelajahi tiap nama yang pernah disinggahi, namun segenap alpa terus saja memendam ingatan tentang mereka.

Wanita yang pernah dicampakkan karena ketidaktegasan hati ini.

Terhela napas begitu panjang, seraya memimpin langkah untuk bergegas turun ke lobi hotel. Itu lebih baik ketimbang menerimanya di kamar, selain dapat menjauhkan diri dari fitnah, tiada ingin rasanya mengulang romansa yang telah kuamputasi tiga tahun yang lalu.

Deg!

Sesak rasanya tatkala melihat sosok wanita itu berada di sana. Jantung ini bahkan terasa begitu cepat terburu, tereskalasi bersama dengan segenap imaji yang telah mengitari kepala ini dengan segenap indah. Ia masih cantik, tentu saja, rambut panjang bergelombangnya dibiarkan terurai, terlihat sedikit polesan tipis di wajahnya.

Sedikit ragu, akhirnya langkah ini terpimpin untuk menghampirinya.

Teana Andrianti, itu adalah sosok wanita yang melambaikan tangannya bersama dengan seutas senyum manis terkembang di bibir merah mudanya.

Ia masih sama, begitu cantik dengan tatapan yang teduh, seolah menjadi penenang bagi gelora jiwa tatkala raga ini hanya saling terpaku, satu-dua-meter di depan perimeternya. Wajahnya memerah tatkala senyuman balas diutaskan kepadanya.

“Tama, masih jelek aja kamu,” ujar wanita itu, tersenyum.

“Iya kak, kalo ganteng bukan Tama berarti,” ujarku menyambut tutur kata lembut wanita yang masih melekatkan sorotnya kepada raga ini.

“Kamu itu gak ganteng sumpah, tapi kamu ngangenin,” ujar wanita itu tertawa kecil.

“Saya udah nikah kak, tahu kan?”

Dianggukkan kepalanya pelan, “tahu lah, kamu kan SMS aku waktu itu,” ujarnya lalu memimpin langkah untuk menuju salah satu sofa di dekat sana.

“Siang ini ada waktu gak?” tanyanya pelan

Digelengkan kepala ini pelan, “gak ada kak, saya masih ada pekerjaan, besok harus meeting di Kantor Pusat, terus Senin balik lagi.”

“Kaku amat sih Mas Tama, pakai saya segala.”

“Loh, wajar Mbak, lima tahun gak ketemu saya jadi kaku ketemu kakak,” ujarku sedikit pelan.

“Ke kamarmu yuk,” pinta wanita itu.

Deg!

Sebuah permintaan yang begitu straight-forward.

Kugelengkan kepala ini lagi, “nanti terjadi hal yang saya tidak mau. Kebetulan waktunya breakfast, saya traktir kakak.”

Bukan, tentu bukan itu alasan utamanya.

Namun gelora yang telah padam ini seolah kembali menyeruak, menjanjikan kelezatan bersama dengan bisikan ablasa, terus-menerus menggoda dengan miliaran kelezatan di atas salahnya perayaan cinta. Sebuah kesalahan yang tiada pernah disesali, terjadi lima tahun belakangan.

Sejurus, terpimpin langkah yang langsung diikuti olehnya menuju ke restoran untuk sarapan. Kebetulan setiap pagi, properti ini menyediakan sarapan secara prasmanan dan membebaskan siapapun untuk menyantap semua hidangan, tentu setelah menyelesaikan administrasi terlebih dahulu.

Sungguh, segala imaji tentang dirinya langsung tertoreh begitu indah di hati. Momen berharga yang telah dilalui bersama semakin santer menyiksa batin ini dengan segenap alpa di masa yang telah lalu. Bahkan masih membekas bagaimana raga ini memperlakukan sosoknya.

Saat wanita itu akan duduk, tangan ini dengan cekatan menarik kursi itu, membiarkannya duduk lalu meninggalkannya. Mata ini terarah ke segala penjuru, mengambilkan beberapa penganan favorit yang masih terngiang di kepala.

Segelas kopi susu tanpa gula.

Dua butir telur setengah matang, tiga buah sosis sapi, dan tiga lembar roti bakar lengkap dengan selai.

Salad dengan dressing.

Disuguhkannya segala makanan itu tepat di depan wanita yang hanya memandang dengan wajah begitu merah.

“Seneng ketemu kamu, dan kamu masih sebegitu perhatiannya sama aku,” ujarnya dengan seutas senyum yang masih menawan.

“Makasih kak, seneng juga bisa ngeliat kakak, makin cantik,” ujarku berusaha memujinya dengan tanpa maksud.

Ia tersenyum, “kamu makin item Tam, tapi ya karisma kamu masih greget buat aku.”

“Oh, thanks then,” ujarku pelan.

“Kamu tahu kan, aku udah cerai sama Tobi?” tanyanya.

Kuanggukkan kepala pelan seraya mengunyah nasi goreng dan sosis sapi yang sudah kupotong kecil, “alasan apa kamu sampe pisah kak?”

“Kasar Tam, KDRT,” ujarnya pelan, “sampe aku pernah begini,” ia lalu menunjukkan bekas luka di pergelangan tangan kirinya.

“Oh you about to attempt suicide?” tanyaku ketus.

Ia hanya membalas dengan anggukan pelan, “kenapa gak mati?” cecarku mulai tidak suka dengan perbuatannya di masa lampau.

“Enak loh kalo bunuh diri gak kena siksa kubur, gak kena hisab, tapi langsung menjadi penghuni neraka nan kekal.”

“Tama, udah ah,” ujar wanita itu pelan dengan mata sedikit berkaca.

“Bunuh diri itu dosanya dua, satu ngambil nyawa orang yang haram dibunuh,” ujarku tegas, “kedua ia menyalahi Tauhid, karena gak percaya dengan adanya Allah yang akan menyelesaikan segala masalah.”

“Iya Tam, aku paham,” air mata mulai mengalir pelan di pipinya, “aku gak kuat waktu itu, pas aku lagi hamil Faristama. Aku bahkan namain anakku Faristama Aldrich, sama kayak nama kamu.”

“Cowok yah, kupikir anak kamu cewek,” ujarku datar seraya menghela napas panjang.

“Kamu masih mau lanjutin thread kamu di Kaskus?” tanyanya.

Sejenak kupandang wanita itu seraya mengangguk, “sampai selesai kak, sampai aku nikah sama Elya.”

“Terus rencana kamu nikahin Nadine, itu serius Tam?” matanya menelisik, seolah ada asa yang terlontar dari sorotan itu.

“Aku serius masalah itu, dan itu atas permintaan Elya,” ujarku seraya mengunyah lagi sarapan ini.

“Dimakan sana keburu gak enak,” ujarku lagi sejurus memandang mata cokelatnya yang indah, “oh iya, tumben dandan?”

Ia tersenyum dengan mata yang masih berkaca-kaca, “biar cantik di depan kamu.”

“Aku suka yang natural, karena Elya sama Nadine gak pernah dandan sama sekali,” ujarku dan tersenyum.

“Aku liat Facebooknya Elya, emang dia gak pernah dandan tapi kok mukanya selalu cerah yah?” tanya Teana penasaran.

“Bangun malem, Sholat dua rakaat, dan air wudhu,” ujarku lalu memandangnya, “kesetiaan dan ketaatan seorang Istri yang sholehah serta lisan dan hati yang tak pernah putus meminta ampun kepada Allah,” ujarku dan berusaha tersenyum, “karena itulah wajahnya selalu Munawar.”

“Kamu bener-bener suami yang baik Tam,” ujarnya lalu tertunduk, “gak salah kalau perasaan ini masih ada buat kamu,” ia memandangku dengan air mata yang mengalir lagi pelan.

“Pasti Elya bahagia sama kamu.”

Aku tersenyum, “bahagia itu masalah qonaah.”

“Iya Tam, belom sejam ketemu kamu kayaknya aku bisa gila,” ujarnya.

“Emangnya aku apaan?” tanyaku ketus.

“Aku gila pengen diimami sama kamu,” ujarnya dengan senyuman yang mengambang.

Kuhela napas panjang, “dua aja bikin aku gak bisa tenang, apalagi tiga.”

“Kamu itu, kenapa gak dari dulu aja bilang niat begini sih,” ujarnya pelan.

Kugelengkah kepala pelan, “emang aku mau, hora gelem sisan,” ujarku tegas.

“Tapi kok kamu mau?” tanya Teana lagi.

Aku lalu tersenyum, “kan udah aku bilang dari awal, itu permintaan Elya, dan masa lalu kita yang rumit.”

“Pas Nadine lindungin Elya dari Andre kan?” tanya wanita itu pelan.

Deg!

Segenap tubuh ini langsung terhentak, begitu kaget bahwa dirinya mengetahui peristiwa kelam yang pernah menimpa kedua sepupu itu. Mata ini masih memandang dengan penuh keheranan, namun ia masih menyunggingkan senyum begitu indah.

“Ka-kamu bisa tahu?”
“Aku sama Shinta tahu tentang pengorbanan Nadine buat Elya, dia rela jadi pelampiasan Andre,” ujar Teana, “dan aku juga tahu kalo Elya pernah ngorbanin sesuatu juga buat Nadine.”

Tidak banyak frasa terlontar dari lisan, hanya pandang penuh tiada percaya, membuat segalanya semakin rumit. Pasti banyak hal yang belum diketahui dari sosok wanita ini, namun menjauhinya semenjak pernikahan dengan Cauthelia adalah hal terbaik.

Setidaknya bagi awam ini.

Sungguh, asa tiada pernah berhenti memuji. Ia masih cantik, meski kini sedikit lebih gemuk, namun sosoknya masih menawan dengan segala yang dimiliki. Sayang mantan suaminya tiada pernah melihat dari sisi itu, sisi kesempurnaan seorang Teana.

Sorot ini saling baku pandang, membisu di antara terkuncinya lisan dan segala puji kekaguman yang terus menggema di hati. Sejenak, ada tanda tanya besar, bagaimana mungkin sosok yang tiada pernah ditemui ini mengetahui banyak hal, setidaknya tentang Cauthelia.

“Darimana kamu tahu kak?”

Ia tersenyum, pahit terlihat tersungging di sana, “gak lama abis kejadian Andre, Nadine sama Elya curhat sama aku.”

“Menurut kamu impas kah?” tanya Teana serius kepadaku.

Kuhela napas panjang, “Apa yang mereka berdua lakuin?”

“Gak ada kata impas kak. Mereka ngelakuin itu dengan tulus satu sama lainnya, dan aku seneng Nadine baik-baik aja.”

“Tapi mereka emang kompak ya Tam,” ujar Teana pelan, “terlepas dari apa yang pernah dia lakuin pas akhir kebersamaan kita.”

Sejenak terkenang masa delapan-tahun silam, momen yang mengubah segala sudut pandang tentang Nadine.

“Entahlah,” ujarku pelan.

“Cuma emang mereka deket banget bertiga sama Shinta.

“Terus, kenapa cuma empat nama di thread kamu?”

“Karena dari bidadari indah yang dateng di hidup aku, keempat nama itu yang bisa dikonfirmasi,” ujarku pelan, ”pengennya nambah nama kakak sama nama Shinta.”

Matanya lalu berputar, sekali lagi, bisa terlihat asa terlontar dari sorotnya. Seolah ada suatu hal yang ingin dibicarakan namun tiada kunjung terutarakan.
“Tam, kapan ada waktu kosong?” tanyanya pelan.

“Gak ada kak, nanti sore aja aku pulang, jam sepuluh aku udah harus di lokasi,” ujarku ringan seraya menggelengkan kepala pelan sejurus lalu melihat jam Alba di tangan kananku.

“Kirain bisa gitu main ke kamar kamu Tam,” ujarnya dengan senyum yang penuh makna.

“Aku gak segila itu kak,” ujarku yang mengerti maksudnya.

“Itulah Tama, hal yang udah jarang dimiliki laki-laki masa kini,” ujarnya dengan wajah memerah.

“Masa kini itu masakin yah kak, ato orang miskin?” ujarku memulai candaan garing.

“Apaan sih kamu Tam,” ujar Teana lalu tertawa kecil.

“Kak ceritain tentang Tobi dong,” ujarku pelan.

“Harus yah?” tanyanya pelan.

Aku lalu tersenyum, “cerita dari kakak akan aku tulis sebagai side story, jadi biar reader yang ngefans sama tokoh kakak tahu aftermath dari hubungan pernikahan kakak sama Tobi.”

“Jadi pertemuan hari ini mau kamu ceritain?” tanya Teana.

“Terus kenapa aku daritadi sibuk coba?” ujarku seraya menunjukkan isi percakapan kami yang kutulis dalam ponsel.

“Gak berubah, daily journal ya Tam.”

Ia lalu memejamkan mata seraya menghela napas panjang, lalu memandang dengan serius.

“Jadi, sebulan abis kamu nikah sama Elya, aku juga dinikahin sama Tobi, cowok ya cowok. Kalo Tama itu pria, kalo dia itu cowok,” ia menekankan diferensiasi antara priadan cowok di sana, “banyak cerita indah, pacaran selama 2 tahun terus aku bersedia dinikahin, tapi masih ngarep Tama berubah pikiran, skip aja deh sampe Januari 2013 aku positif hamil.”

“Jadi, nikah Agustus 2012, hamil Januari 2013? Gitu?” tanyaku mencoba meyakinkan diriku sendiri.

Ia mengangguk dengan pasti, “pas aku hamil, Tobi yang awalnya romantis dan baik berubah jadi kasar dan cuek,” ujarnya pelan, “singkat kata aku yang awalnya bahagia jadi gak bahagia.”

“Bahagia masalah qonaah, kan tadi aku udah bilang,” ujarku pelan, “terdzalimi mungkin maksud kakak.”

Ia terdiam, “ya bisa dibilang gitu Tam, terus pas aku lahiran bahkan dia gak dateng.”

Wajah cantiknya langsung terlihat sendu, tatkala berhikayat tentang kenangan hidupnya, sungguh terdengar begitu pahit. Tobi akhirnya diketahui memiliki banyak selingkuhan, ia bahkan menjabarkan tiada pernah meraih supernova selama pernikahan dengan lelaki itu.

Sungguh ironi mengingat apa yang telah terjadi di masa yang telah lampau.

Ironis, mengingat ia adalah wanita yang begitu cantik, cerdas dengan segala kelebihan akademisnya.

“Kenapa dia yang awalnya romantis jadi berubah Kak?”

Ia lalu memandang dengan sedih, “sederhana Tam, karena katanya aku gak perawan.”

Deg!

Baiklah, pada masa terlewati, perayaan cinta adalah hal yang sering dilakukan tatkala ia memiliki waktu bersama raga ini. Namun bunganya memang telah dipetik, bahkan ia begitu gamblang mengakuinya. Bagi awam ini, tiada pernah jadi satu permasahalan besar, namun mungkin tidak dengan tobi.

Seraya air mata mulai berderai, jemari ini mengusap pelan kepalanya. Sungguh tiada ingin rasanya membuat wanita ini mengulang kisah pahit yang begitu membekas.

“Cukup Kak,” ujarku pelan, “kamu udah banyak tersiksa gara-gara itu, dan aku gak mau kamu inget itu semua.”

*****


Pertemuan singkat itu sungguh membuka mata hati ini terkait apa yang telah terjadi. Sungguh, namanya masih terukir indah di sanubari, bersama dengan segenap imaji indah yang telah terjalani selama empat tahun itu. Sesak rasanya mengetahui akhir dari kehidupan cintanya yang begitu tragis.

Namun bukankah begitu cara kerja kehidupan?

Maafkanlah, maafkan salahku
Yang tak pernah bisa mengerti mu

Maafkanlah, maafkan khilafku
Tak dapat membalas tulus cinta
Yang auci dari hatimu
Hingga kau terluka atas semua sikapku
Izinkanlah kutebus seluruh dosaku
Seberkas maaf yang terucap
Tulus dari hati
Untukmu kasihku


Sebait reffrainSeberkas Maaf, lagu yang dibuat tahun tujuh-tahun yang lalu itu memang dipersembahkan bagi mereka yang pernah disakiti.

Sengaja ataupun tidak.

Mereka adalah sosok yang begitu tulus, mencurahkan segenap perhatiannya membuat presensi raga ini amat berharga bagi keseharian mereka. Sungguh mereka terlalu berharga untuk membuang waktunya demi asa ini, namun mereka tiada pernah menyesali itu semua.

Mereka adalah bidadari, memiliki ketulusan yang lebih tulus dari apapun, sosok yang begitu kuat di balik kerapuhan hatinya.

Seperti segenap frasa yang selalu dikatakan, cinta itu tidak pernah musnah, hanya berubah dari bentuk satu ke bentuk lainnya. Itu adalah apa-apa yang dirasakan kini, bahwa cinta ini tiada pernah hilang untuk mereka, hanya berubah dan itu membuat asa ini semakin nyaman.

*****


Hening, hanya suara lalu lalang kendaraan dan juga embusan angin yang melewati windshield LAMISAFE besutan AGC. Sungguh peredaman RM3 besutan Honda ini tiada sebaik sedan tua yang dimiliki di rumah. Namun berada satu kabin bersama wanita ini sungguh membangkitkan segenap imaji yang telah lalu.

Seraya kendaraan mulai mengarah ke barat setelah menyelesaikan pekerjaan hari ini, Teana meminta supaya kemampuan ini digunakan untuk memandunya pulang. Ia hanya bertindak sebagai penumpang, dan bisa melihat raga orang biasa ini terus menerus.

“Tam,” panggilnya pelan.

“Malem di Bandung itu, pertama kalinya aku liat kamu kacau, pertama kalinya aku liat kamu bukan sebagai kamu. Kamu murung, kamu diem, gak ada sinar dari mata kamu kayak biasanya. Aku berusaha buat ngehibur kamu, tapi kesedihan kamu lebih besar Tam.”

“Iya kak, aku kehilangan sosok Elya saat itu,” ujarku pelan, “aku tahu dia terpaksa lakuin itu, tapi aku tetep kehilangan sosok Elya.”

“Kan ada Nadine,” ujarnya pelan.

Aku menggeleng, “bukan gitu kak.”

“Jujur, kamu itu bener-bener bukan Tama yang biasanya pas malem itu,” ujar Teana.

“Aku tahu, kamu malah ajak aku jalan, seinget aku abis minum bandrek aku tidur, itu aja,” ujarku lalu berusaha mendahului truk 6 x 4 yang saat ini ada di depanku.

Entahlah, apakah ia masih mengingat kegilaan ketika malam itu.

Ketika mengajak serta wanita itu untuk bersama ke vila milik Cauthelia di Lembang.

“Kamu gak tidur, kamu jalan sama aku ke Lembang, di sana kamu nangis sama aku, kamu bilang kamu kangen sama Elya.”

“Aku emang bilang gitu kak?” tanyaku pelan, mencoba tetap seolah tidak pernah di posisi itu.

Ia mengangguk, “aku tahu Tam, betapa besar cinta kamu sama Elya, aku juga tahu semua yang kamu lakuin itu buat Elya kan?”

“Iya kak, semuanya buat Elya, karena dia itu seluruh hidup aku.”

“Makanya, aku sadar saat itu, cinta aku ke kamu hanya akan jadi cinta searah. Waktu itu aku udah cinta mati sama kamu Tam, bahkan aku rela kok jadi yang kesekian asal kamu mau nikahin aku,” ujar Teana pelan.

“Aku bisa kak, tapi aku gak mau ngikutin hawa nafsu doang.”

“Cinta Tam, bukan hawa nafsu,” ujar Teana pelan, “kalo cuma syahwat gak ada pengorbanan kamu buat kita, buat aku, Shinta, Nadine, apalagi Elya, kamu juga cinta kan sama aku?”

“Waktu itu ya, sekarang juga masih, tapi udah berubah.”

“Makanya Tam, seseorang pernah mengatakan cinta itu saar kita membahagiakan orang yang kita cinta, bener kan?” tanya Teana pelan.

Aku mengangguk pelan, “dan aku ngerasa gak akan bisa bahagiain kamu Tam, makanya aku mundur,” ujar Teana.

“Begitupun aku kak, seluruh perhatian aku cuma buat Elya.”

“Malem itu, kamu cerita semua perasaan kamu sama Elya, kamu cerita semua tentang Elya, kelebihan Elya, semuanya. Kamu bahkan bandingin Elya sama Shinta, Nadine, bahkan sama aku. Dan aku tahu perasaan kamu ke Elya kayak apa.”

“Maaf, mungkin di kata-kata aku malem itu, ada yang nyakitin kakak, “ ujarku pelan.

Wanita itu menggeleng dengan pasti, “apapun yang kamu omongin emang bener ada di Elya, semua kelebihannya. Terus aku juga gak nutup kisah aku tentang kamu kok Tam, rasa itu tetap di dalam hatiku sampe sekarang.”

“Makasih kak, tapi jangan cinta yang kakak punya bikin kamu lupa, kamu punya hidup yang harus dijalani,” ujarku pelan.

“Aku milih menjalani hidup dengan mencintai Faristama Aldrich, yang besar sama yang kecil, dan aku gak berharap kamu nikahin aku suatu saat.”

Sebuah pernyataan penuh ketulusan yang terlampau rumit diproses. Sesungguhnya hati ini masih begitu memujanya, namun tiada ingin rasanya membuatnya jemawa, salah-salah semua akan berakhir tidak seperti yang seharusnya.

“Aku akan coba ngomong sama Elya. Meskipun aku tahu, dia pasti setuju.”

“Be-bener Tam?”

Kuanggukkan kepala pelan, “aku tahu, segalanya berat buat kamu, bahkan buat Shinta, Nadine, atau Aluna. Tapi bukan begini akhir yang aku pengen. Aku cuma pengen kamu bisa bahagia dengan hati yang udah milih kamu buat ngebahagiain kamu.”

“Itu mustahil, seandainya kamu tahu betapa besar harapku sampe saat ini.”

Kuanggukkan kepala pelan, “cinta lama belom kelar, kali ini aku akan coba kelarin Kak. Apapun akhirnya buat kita.”
bukhorigan
bukhorigan memberi reputasi
6
1K
4
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.5KThread41.6KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.