makolaAvatar border
TS
makola 
Bunga dan Kambing

Cerita Indah Nan Teruji Abadi






Yogyakarta, Tahun  2000-an



Renita menyusut jejak bening yang menemani tuturan kisahnya. Setangkup wajah bermanik hitam bulat menyimak tanpa jeda.


"Begitulah, jalan hidupku. Andai pun dirimu ingin mundur, mengurungkan niat mencatat kisah kita dalam naungan mitsaqan ghaliza, diri ini ikhlas," desahnya pada calon nakhoda kapal rumah tangga.

"Sungguh, menjalani hidupmu bukan sebuah kenikmatan. Namun, yakinlah bahwa jodoh ada dalam ketentuan-Nya," tegas lelaki dengan bulu halus menghiasi dagunya.


Butuh kekuatan yang tidak sedikit bagi Renita membuka masa kecil yang tidak ingin dia ingat lagi. Sepanjang usia, selama napas menderu, bertahan dan berjuang adalah udara yang kerap menemani kala terang. Tergantikan hujan air mata, raungan pilu, dan cacian tanpa sosok, bila malam menyelimuti kelam.

Kafe kecil di sudut perempatan jalan protokol kampus UGM menjadi pilihan, mencurahkan seluruh muasal dirinya pada sosok pria yang hemat bicara itu. Mengalami kegagalan menikah hanya karena masa lalu yang tidak jelas, kerap terjadi pada diri perempuan yang tidak pernah muluk dalam berkeinginan itu.

Semerbak aroma hidangan, memutus romansa kedua insan yang sedang saling mengenal itu. Mereka bukanlah teman sepermainan bahkan juga bukan teman sekolah. Dunia maya mempertemukan keduanya. Berlatar belakang gulana karena ditinggal orang terkasih, kedekatan terjalin. Kesukaan akan menulis menjadi faktor berikutnya yang makin mengakrabkan dua hati yang tak pernah bertaut janji meski hanya dalam buaian mimpi.

Benar kiranya pepatah mengatakan panas setahun terhapuskan hujan sehari.

Saat hati terjerawut pedih maka penutup cabikan itu pastilah serpihan hati yang terluka juga. Dalam luka gulana, akan lebih sulit mengabaikan secuil peduli. Beda lagi jika larut dalam gempita, seolah diri merasa tak butuh siapapun.


"Kutegaskan sekali lagi. Sudikah dirimu menjadi ibu dari anak-anak kita, nanti?" tanyanya lagi.

"Iya, aku bersedia, Mas. Justru diri ini yang takut kalau keluarga besarmu tidak setuju." Renita menjawab tanpa menunggu lama.


Selain kuatir akan terdengar pelayan yang sedang berjalan menuju meja mereka, Renita pun tak ingin kehilangan asa lagi. Cukup sudah penatnya menjalani elegi. Bilakah tiba waktu untuk merenda bahagia maka inilah saatnya.


"Baiklah. Nanti akan kusampaikan pada ibuku, calon mantu idamannya telah berhasil kurayu. Walaupun aku harus berpanjang telinga mendengarkan ceramah."

"Apa, Mas …! Iihh, dasar yaaa!"


Gelak tawa keduanya terhenti seketika saat pelayan tiba di meja mereka.

Dinginnya malam Yogyakarta sangat menusuk. Dua piring bakmi godog ditambah dua gelas teh tanpa gula menjadi penawar suasana. Dalam hening, mereka melahap porsinya.

Satu beban, terselesaikan. Akan tetapi, masih ada runutan keminderan yang harus dia kemukakan. Ibarat mengurai benang kusut. Lepas satu helai,  tetap tersisa gumpalan yang mengusut. Jika masih butuh, maka harus sabar mengurainya.


"Mas, lusa aku kembali ke Jakarta. Paginya masih bisa ketemu ibu. 'Gimana …?"

"Yaa, boleh saja. Lakukan mana yang kamu suka. Menyimak ceritamu, aku paham seperti apa dirimu."

"Terima kasih. Nanti aku usahakan, ya."

"Saat bertemu ibuku nanti, tak perlu cemas. Semua keputusan ada di tanganku. Hanya saja, hormatilah jika beliau mengajukan satu atau dua pertanyaan."

"Ya, akan kuingat. Jangan kuatir. Aku 'kan biasa mewawancarai orang."


Tatap mata keduanya bertemu. Semoga saja, jodoh mereka memang sudah tepat.


"Renita, ketahuilah … sepanjang masa lajang, tak sekali pun aku menjalin kasih dengan wanita lain. Walaupun pernah jatuh hati, hal itu kusimpan erat dalam dada," bisiknya seraya menggenggam tangan Renita.  "Kamu, yang pertama dan terakhir."

"Wah, aku harus bersyukur apa bersedih?" Renita menjawab dengan sedikit tersipu, antara malu dan tersanjung.

"Suka-suka kamu saja, asal tetap ijinkan aku bertahta di singgasana hatimu," rayu pria berperawakan sedang dengan rambut setelinga itu.

"Gombal! 'Udah ngga musim, tauuu …!"


Setelah menghabiskan makanan, mereka pun beranjak pergi. Malam belum larut, sepasang insan yang baru saja saling mengenal, hanyut dalam pusaran keriangan. Yogyakarta boleh jadi masih porak-poranda, tapi impian dan harapan dua insan bahkan baru saja tertata rapi. Sebongkah demi sebongkah, tersusun dengan bermodalkan semen cinta yang dibeli di "toko kasih sayang".

Renita menguatkan tekad bahwa dirinya sanggup menjalani kehidupan rumah tangga yang utuh, jauh dari bayangan masa kecilnya. Kehadiran lelaki yang tidak mengajukan berbagai keinginan berlebih, adalah lebih dari cukup. Bahagia, tak selalunya bertemankan kemewahan dan gelimang harta. Terkadang, seiris singkong kukus hangat dilahap dengan cocolan gula jawa cair sudah sanggup menghasilkan surga sesaat penebus lapar.


🍂🍁🍂🍁🍂🍁🍂🍁🍂


Malioboro di malam hari sangat romantis. Kerlipan lampu-lampu dari kendaraan yang melintas bagaikan percikan sinar bintang dalam benak dua sejoli, Renita dan lelaki yang berdarah asli Jawa Barat tapi lahir dan besar di Yogyakarta. Sang pria menghentikan kendaraannya di depan Gedung DPRD Yogyakarta. Renita pun patuh tanpa banyak tanya. Kebetulan, masih ada yang ingin disampaikan terkait masa lalunya.





"Kita makan ronde, yuk? Kamu pasti belum coba makanan penghangat tubuh itu," tawar lelaki berkulit sawo matang.

"Ronde ... macam babak pertandingan saja. Semoga habis makan, mukaku tidak babak belur," seloroh Renita menggoda tambatan hatinya.

"Tenang saja. Dijamin kamu malah bakal minta babak tambahan, sebab lidahmu yang babak belur keenakan!"

"Gombal terus, bisa mual aku." Renita meninju pelan bisep jodohnya.



Tidak lama, dua mangkuk ronde pun terhidang. Pelataran di depan bangunan yang merupakan muara aspirasi rakyat Yogyakarta, memang ramai diisi oleh berbagai jenis pedagang.  Sembari menyeruput kuah hangat bercita rasa manis, selayaknya impian yang sedang diwujudkan, terlontar  sebuah tanya dari lisan calon imam bagi Renita tersebut.



"Oh ya, berarti nanti aku akan menggenggam tangan adikmu saat ijab kabul, ya …?"

Seketika, Renita tersedak karena baru teringat satu hal. Resah pun menyeruak, mencarut-marut rasa di hati yang semula hampir menjadi kebun bunga.

"A-apaa, Mas? Wali nikah  ... ya?"

"Iya. Dari kisahmu, sepertinya aku hanya bisa bertemu dengan adik lelaki satu-satunya 'kan?"

"Mas ... aku lupa. Sepertinya bapakku telah berganti keyakinan. Bahkan yang lebih menyedihkan, kondisinya sudah tidak bisa dikatakan sehat dalam berpikir," tutur perempuan yang tak lepas dikuntit gulana itu seraya menarik napas sedalamnya, "bapakku ... dia sudah tidak waras. Aku pernah berusaha mencarikan RSJ untuknya, tapi nihil."


Tidak ayal lagi, kuah dalam mangkuk ronde yang hampir habis nyaris terisi penuh oleh kucuran air mata Renita. Ingin rasanya tertelan bumi saja.  Harus dengan apalagi dia membentengi mental dan logikanya. Inilah fakta yang selalu dia hindari. Sebuah kenyataan yang disebabkan oleh perbuatan bapaknya sendiri.

Untuk sesaat, dunia berhenti berputar. Malam pun bertambah kelam, gemintang yang bertaburan di langit sontak padam. Kelu menyergap lidah Ardi, sang calon suami. Benaknya sibuk menata antrian kata yang siap memberondong gadis berpenampilan sederhana tersebut. Sesederhana keinginannya, menikah dan memiliki keturunan yang sehat dan baik.

Pada sosok Ardi, Renita akhirnya menangis tersengguk. Membebaskan seluruh himpitan nestapa yang menjepit bertahun lamanya. Bukan kehendaknya  menjalani seluruh guratan takdir yang tidak pernah indah dalam bayangan seorang anak.
Ardi terdiam. Lama. Sekadar membiarkan Renita melepaskan beban batinnya. Gadis periang dan penuh canda itu, ternyata menabung elegi berbalut sembilu. Lantas, apakah yang membuatnya tidak goyah? Terngiang pesan ibu Ardi untuk tidak sembarangan memilih pasangan hidup. Jangan seperti membeli kucing dalam karung.


Setinggi-tingginya layang-layang melayang. Benangnya tetap berada dalam genggaman yang menerbangkan. Sedalam apapun menutupi asal-usul, ada masa untuk membongkarnya.


Sepasang insan yang sudah bersiap menuju satu mahligai, harus tercerai sebelum terikat …. 


Semesta kali ini sedang tidak berpihak pada kedua hati yang tertaut oleh rasa cinta yang tersemai ….


Bukan takdir yang kejam … melainkan semesta yang sedang ingin menguji kesungguhan hati sepasang insan penuh selaksa romansa. Cinta, bukan hanya butuh rentetan kekata puitis nan meronai bilik hati.

Quote:



"Renita … habis ini, kamu kuantar kembali ke hotel tempatmu menginap, ya. Nanti kuberi kabar, kapan kiranya kau bisa menemui ibuku …." Kelu lidah Ardi menyampaikan alasan yang terlalu mendadak hadir dalam benaknya.


"I-iy-yaa, Mas … aku ikut saja. Semoga ibumu bisa memahami keadaanku …."


Hanya sampai di situ, Renita sanggup menjawab tegar. 


Sepanjang perjalanan menuju hotel, benak Renita diamuk badai hati yang kembali harus dia terima. Adakah keadilan bagi dirinya? Tersebab dia tak bisa memilih terlahir dari orang tua yang ideal, berlebihan materi dan sarat jabatan. 


Malang tak mampu ditolak, untung pun sulit diraih meski berkuat sungguh. 


Sepasang hati penuh romansa kasih, terlunta di jalan cinta ….


🍂🍁🍂🍁🍂🍁🍂🍁🍂



Jakarta, Idul Adha 2007


Panitia kurban sedang riuh menyiapkan area sembelihan. Terpal-terpal sudah tergelar, jejeran betung sudah terpasang kokoh. 


"Renita! Ada yang nyari, tuh! Kayaknya bukan orang sini, deh, abisan gayanya kagok gitu!" teriak Zulham pada Renita yang sedang beranjak menjauh dari area sembelihan hewan kurban.


"Apaan, Ham? Yekalik, ada yang butuh ama gue, ini hari Iedul Qurban, lu, gosah ngeprank gue, bisa kagak!" sengit Renita pada Zulham karena kerap dijahili.


"Hadeh …! Makanya, liat sono! Suujon aje, lu, ama gue … kalo bo'ong, 'tar gue sembelih dah, nih, rombongan kambing!" sungut Zulham tetapi bibirnya sudah menyeringai lebar.


"Iye, iye … ngomong kambingnya gosah sembari liatin Eko juga, keleus …! tawa Renita pun pecah saat menghampiri tempat Zulham dan Eko.


"Jiaaah, hlah dhalaaah … 'ngapa jadi inyong sing dikorbankee, siiih, yaaak!" protes Eko dengan logat ngapaknya yang kental.



Tidak ingin menunda lebih lama, Renita segera menemui orang yang mencarinya. Walau masih diliputi sekelebat tanya, siapa gerangan yang mencarinya. Status sebatang kara, membuat Renita lumayan tertutup akan hal pribadinya.


Ah … dia ….


Bila saja dibolehkan berkurban raga, maka detik itu Renita akan mendaftar nomor satu. Agar terbebaskan dari selaksa beban hati yang telah susah payah dipendamnya selama tujuh kabisat. Sosok yang bertahun lamanya dia nantikan kabar kelanjutan hubungannya, kini hadir di hadapan tanpa diiringi cuaca apapun. Gelegar guntur hanya hadir dalam hati Renita. Seketika sepasang tangannya berpegangan pada pagar masjid. Sekujur badannya lemas tiada terkira, bak tersetrum listrik sekian voltase yang tak  mampu ditahan tubuhnya. Tersisa hawa dingin yang mencipta gigil hingga geliginya nyaris bergemeletuk.


"M-maa-maas Ardi …? Hanya kalimat itu yang berhasil Renita rangkai. Selebihnya lenyap tertelan bayangan kelam masa lalu.


" Iya, Renita … ini, aku. Maafkan, bila lama tak berkabar padamu. Maukah dirimu memaafkanku …?" Melihat reaksi Renita, kecil harapan Ardi, gadis yang sekian tahun menjadi penghuni hatinya itu bisa memaafkannya.



Renita pun terduduk lemas, setelah tertatih menuju teras masjid. Ardi mengikuti dari belakang. 


Kembali, dua insan dipertemukan oleh semesta, tanpa rekayasa manusia lainnya. Bila ada anugerah sutradara terbaik sepanjang masa, berikan saja pada semesta. Sungguh piawai sekali, semesta mengaduk-ngaduk emosi dua hati yang sekian lama terceraikan oleh sebuah kepastian yang tiada kunjung tiba. 



"Renita, maafkan atas segala sikapku bertahun lamanya mengabaikanmu. Sungguh, aku tak kuasa menyampaikan asal-usulmu pada ibuku. Beliau menginginkan menantu yang baik-baik, jelas dan tiada cacat akan bibit, bobot dan bebetnya." Ardi akhirnya mengungkapkan perihal sebab dirinya tak berkabar sekian tahun pada Renita. 


Embusan napas panjang, keluar dari mulut Renita. Sesak dalam dada, kekusutan dalam minda, terpancar jelas dari bahasa tubuh gadis yang meski senang menyendiri tapi berpembawaan ceria itu. 


"Hmmhh … apakah untuk kabar sepenting itu, layak tertunda ratusan purnama, Mas …?" Getar suara Renita tak ubahnya sekujur tubuhnya yang masih saja gemetar dan lemas.


"Maafkan aku, Sayang … aku-memang-lelaki-pengecuut …!" Pengakuan Ardi pun akhirnya terlontar jua.



Renita tergugu. Deru tangis tak tertahankan. Sesak dalam dadanya seakan memaksa tanggul hatinya jebol tak terbendung. Bagaimana tidak, hanya pada lelaki yang tak banyak suara, yang dulu kerap mencipta gelak tawa tatkala berkomunikasi, semuanya terlabuhkan. Hanya dia, lelaki yang dipercaya Renita sekukuh genggaman tangannya yang dulu pernah memegang Renita, bahkan hingga tujuh tahun lamanya, rasa hangat dari tangan lelaki itu tak pupus dari benak Renita.


Dua pasang manik bertemu. Tertaut lama, seolah mencari jawaban, masihkah rasa itu saling menguat …. 


Renita pun berkata lirih, "Apakah Mas Ardi membaca puisi yang kutulis dalam milis kita? Puisi itu selalu kutulis ulang tiap bulan tiap tahun … selepas bulan terakhir kita bertemu, tujuh tahun yang lalu ….







"Pagi dan Bulan


bulan yang tersisa di shubuh hari ini
seketika bawaku pada senyum
terlafazhkan dari lisan sebuah doa dan harap
terkesan semua kenang
lanjutkan semua kisah berdua
tak kan lekang oleh waktu
tak kan terlukiskan lewat kata-kata
aku masih pada sikap yang sama,
lalui semua bersama


pagi yang indah
seindah senyummu di pagi ini
layaknya bulan yang menyambutku."





Tetiba, Ardi pun melisankan puisi yang disebutkan Renita ….


Renita hanya mampu terpana. Seketika, hatinya kembali diliputi rona merah jambu. Ah, bunga-bunga yang sekian lama melayu, kini bermekaran. Hati Renita telah menjadi kebun bunga dan Ardi adalah petani bunga itu. Indah …! Haru kali ini adalah haru bahagia …. Renita tak menyangka bila Ardi sampai hapal akan isi puisi itu.  Wahai semesta, untuk kali ini, tolong jangan bercanda lagi. Piknik sajalah  ke universe lainnya, bila masih usil pada sepasang insan yang kembali menyemai cinta mereka. 


"Kau tau, Sayang … selepas malam itu, adalah hari-hari penuh gulita bagiku. Bagai diberi buah simalakama, aku tak sanggup memilih. Pada akhirnya, aku memilih untuk tidak memilihmu … tapi aku harus sanggup menerima siksaan dan deraan dalam hatiku ini. Sakit sekali. Seolah lubang menganga setiap saat, selama tak mengetahui kabarmu, hingga bertahun lamanya …." Ardi pun kembali bercerita.


"Teruuus, sekarang … Mas ke sini, mau ngapain …,?" tanya Renita yang berangsur pulih dari rasa kagetnya. 


"Aku ingin meminangmu, Renita, Sayang …! Sekaligus mentraktir kawan-kawanmu untuk tasyakuran pernikahan kita … hari ini …!" Gegap gempita Ardi menyampaikan lamarannya pada Renita, seolah yakin tiada tertolak.


"Apaaa, Mas Ar-di … m-mauu melamarku dan mengucap aqad hari-i-ni-ju-gaaaa, Maas …?" Seluruh persendian Renita selunglai ujung janur masjid  yang meliuk-liuk diterpa angin.



Rupanya, Ardi hari itu datang bersama ibunya.  Zulham dan Eko telah berhasil menjadi punggawanya dalam misi yang tidak boleh menuai gagal lagi. Ardi pun telah mendaftarkan 2 ekor kambing di masjid tempat Renita biasa berkegiatan. 


"Iiih .. pantesaaaan, kemarin sore kok tumben bangeet, Zulham, Eko sama yang lain, pada bikin janur. Biasanya mana pernah, Idul Adha pake janur segala!" Renita pun mulai menjawab sendiri keheranannya sejak kemarin. 


Terdengar suara dari belakang posisi Ardi dan Renita duduk.


"Saya terima kurbannya, Ardi Irawan, seekor kambing jantan dibayar tunai … sah!" Zulham dan Eko kompak berucap sembari menyunggingkan tawa pada Renita dan Ardi yang berbalik badan menghadap mereka.


"Ternyata … lu, berdua, ikutan bantuin Mas Ardi, yaaa! Dasar, temen gak punya aklak!" Renita spontan menutupi malu dengan mengomeli kedua temannya.


"Halah, halah … udah, napa, terima ajaaaa,  mau nunggu sampe kapan lagi. Ibarat mobil, tujuh tahun 'mah udah kelar dicicil …!" seloroh Zulham tak mau kalah menanggapi omelan Renita.


"Iya, Ren, trima baee, ngaapaa. Kita, kiyek, pada pegel, nahan tutup mulut seminggu lamana. Lah, sira, kok setia bener, siy, nungguin jawabana tekan tujuh tahun. Kalah wess, pelemna drakor …!" Eko pun menimpali.


"Weh, gue gak doyan drakor! Gue doyannya sate kambing …!" Renita menyahut seraya melirik Ardi yang terdiam tapi senyumnya tak lepas tersemat sedari tadi.


"Nah, cocok tuuu! Sate kambing dari shohibul qurban, Mas Ardi Irawan! Yeeezz, makan kenyang kitaa … broo …!" Zulham dan Eko pun saling menepukkan sebelah telapak tangan mereka.



Renita pun terharu. Selaksa haru yang kemarin masih membiru, kini kembali merona indah. Bila menanti tujuh tahun pun rela dilakoninya, apakah itu bukan jawaban terjujur bagi Ardi, lelaki pamungkasnya. 


Sore itu, saat senja menjenguk, sepasang insan akhirnya menyemai cinta yang telah teruji sekian tahun lamanya. Semesta boleh bercanda, bisa juga memberu ujian tiada henti. Namun, bila hati telah tertaut, hanya maut yang sanggup menceraikan selama di dunia. 


Kebun bunga di taman hati Renita telah bermekaran, Ardi sebagai sang petani bunga, bersiap memetik sari madu bebungaan itu di malam pertama mereka dalam mahligai pernikahan. 




🍂🍁🍂S E L E S A I🍂🍁🍂







story written by: @makola
Diubah oleh makola 10-07-2022 05:20
bukhorigan
warungsupra
warungsupra dan bukhorigan memberi reputasi
33
4.1K
104
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.5KThread41.7KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.