m60e38Avatar border
TS
m60e38
Sebait Senyum di Tanah Celebes | [COC] Cinta Lama Bersemi Kembali

SEBAIT SENYUM DI TANAH CELEBES


Quote:


Tentang Rasa

Mamuju, September 2019

Desingan CFM56-7 yang menempel di sayap selebar 35,79 meter ini terdengar terus berkurang; disaat flapsyang menempel di ujung-ujungnya terus turun untuk mencapai posisi terendah yaitu tiga-puluh-derajat. Suara dentuman dari landing gear seolah menegaskan bahwa maskapai pelat merah ini mulai mencapai final approach di arah 03 pada standar navigasi berbasiskan kompas.

WAAA, kode ICAO untuk Bandara Sultan Hasanuddin yang berada di Kota Makassar.

Kedatangan ke Kota Makassar sejatinya hanya untuk persinggahan sementara, karena tujuan akhirnya adalah Ibu Kota Provinsi Sulawesi Barat, Mamuju. Sungguh, itulah sebabnya mengapa harus menunggu beberapa saat di Makassar sebelum pesawat besutan Bombardier membawa ke tujuan akhir yang seharusnya.

Sebuah penantian dua-jam yang terasa agak membosankan sebenarnya.

Rika, wanita cantik bertubuh indah, saat ini usianya 24 tahun; sosok yang secara sadar diminta istriku, untuk menemani perjalanan dinas kali ini. Entah bagaimana menceritakan bagaimana awalnya, tetapi ia adalah asisten pribadi yang biasanya menemaniku, menggantikan Cauthelia yang saat ini sudah sibuk dengan kedua anak kami.

“Mas, ini kita nunggu kah?” tanyannya seraya menatap dengan pandangan penuh cemas.

“Dua jam lah kira-kira,” ujarku seraya menghela napas, “kita duduk-duduk aja dulu di Starbucks.”

“Eh, i-ini udah mau landing ya?” tanyanya lagi.

Kuanggukkan kepala pelan, “palingan gak sampe lima menit, tuh daratan aja udah keliatan.”

Sontak, wanita itu menggenggam tangan ini dengan begitu erat seraya memejamkan matanya saat ia menyadari bahwa daratan yang barusan diceritakan terlihat jelas dari kaca jendela. Tubuhnya terlihat sedikit gemetar bersama dengan deru napas terburu.

Saat pesawat ini terasa nose up untuk mengurangi kecepatan, genggamannya semakin erat; terlebih saat roda belakang pesawat menyentuh landasan yang sontak memberikan guncangan yang cukup kuat seraya deselerasi tajam yang dihasilkan dari thrust reverser mesin ini.

“Masih takut aja Ka,” ujarku seraya tersenyum memandang wanita yang masih memejamkan matanya itu, “padahal ini udah yang kesekian kalinya.”

“Ta-takut Mas,” ujarnya lirih, dengan wajah yang merengut, “engga tau, pokoknya Rika takut aja.”

Aku tersenyum seraya melepaskan pagutan tangannya, “udah, abis ini kita minum kopi dulu.”

“Gak mau Starbucks ah Mas,” ujarnya manja, “maunya kopi bikinan Mas aja.”

Aku menggelengkan kepala seraya tersenyum kepadanya, “mana bisa bikin kopi sendiri di sini Ka.”

Ia tertawa kecil, “seneng deh diajak lagi sama Mas Tama.”

Aku menghela napas seraya pesawat ini melakukan taxi merapat ke gedung bandara, “kan ini Elya yang minta, aku sendirian juga gak masalah.”

Ia lalu mengerucutkan bibirnya, mengerutu lagi, “loh kan Mas juga yang mau aku ada di sini, gimana sih?”

Kupandang dirinya dengan mengerutkan dahi, “emang kapan aku ngajak kamu Ka?

“Aku mah gak ditemenin juga gak masalah,” sambungku kepada wanita yang dadanya saat itu masih bergerak naik turun.

“Mas mah gitu,” ujarnya seraya memukul kecil pundakku, “sok gak butuh deh.”

Aku menggeleng, “sekali lagi, kalo bukan karena permintaan Elya, aku gak akan ajak kamu Ka.”

Senyumannya yang begitu khas langsung mengembang di atas bibir merah mudanya yang tidak terlalu tipis.

Sungguh tiada ada sorot kecewa yang terlontar, meski bagi sebagian perempuan frasa barusan sangatlah menyakitkan.

Bahkan wajahnya masih saja memerah, bersama dengan ekor matanya yang masih melekat begitu ketat ke arahku.

Kuhela napas begitu panjang tatkala kendaraan ini akhirnya berhenti dan menunggu garbarata untuk menempel di pintu kirinya.


*****


Alih-alih mengajaknya ke kedai kopi waralaba besutan Amerika Serikat, aku justru memimpin langkah untuk menuju Loungeyang berada di lantai dua sebagai fasilitas cuma-cuma yang diberikan oleh maskapai pelat merah yang ditumpangi barusan.

Sungguh wajah bahagia terlihat begitu kentara tatkala ia disuguhkan dengan deretan makanan yang tersaji secara prasmanan sesaat setelah resepsionis melihat tiket kami dan mempersilakan masuk.

“Dua jam ya Mas?” tanyanya seraya tertawa kecil.

“Kayaknya tadi di pesawat udah makan Ka,” ujarku seraya menghela napas, “masa iya laper lagi?”

Wanita itu menjulurkan lidahnya, meninggalkan barang bawaannya bersamaku di salah satu sudut ruangan ini. Ia sibuk berkelana sendiri dengan piring yang bertumpu di telapak tangan kirinya, sesekali melempar pandangnya ke arahku seraya tersenyum.

Deg!

Tubuhku sedikit terhentak tatkala ujung pandangku terhenti pada sesosok wanita yang duduk di sudut lain ruangan ini. Sekejap lalu, ia mengambangkan tangannya di antara keraguan yang begitu terlihat dari bahasa tubuhnya.

Seorang wanita yang begitu kukenal dan pernah singgah cukup lama di hati ini.

Wanita dengan gamis biru muda, masih begitu menawan dengan kacamata Lexington yang saat itu masih dikenakan. Senyuman khasnya bahkan masih membekas begitu lekat di dalam sanubari, sejurus langsung menyeruakkan segenap kisah bersama dengan imaji yang terputar begitu cepat, berhikayat tentang kisah semara tiada pernah usai di antara kami.

Ia beranjak dari tempat duduknya, masih dengan senyumannya, ia lalu berjalan ke arahku dengan begitu pasti.

Sungguh segala kisah itu langsung membahana di dalam dada seraya tubuh itu mendekati perimeter ini.

“Tama,” ujarnya, saat tubuh wanita itu hanya berada satu meter di depanku, “ngapain kamu ke sini?”

“Nadine,” ujarku datar, “justru aku yang tanya, ngapain kamu di sini juga.”

Ia tersenyum, “aku ada tugas di Mamuju Tam.”

Deg!

Satu kebetulan yang begitu direstui semesta, Sang Malik pasti sudah merencanakan ini, menyiapkan ujian yang begitu berat bagi kisah semara yang sengaja kuakhiri tentangnya.

“Sama,” ujarku singkat, “lagi nungguin pesawat ke Mamuju juga.”

“Eh, kok bisa ya?”

Wajahnya sontak memerah seraya lisan ini menyebut Ibukota Sulawesi Barat; kota tujuanku yang sebenarnya. Senyuman yang sedari tadi merekah, kini semakin mengembang seraya pupil matanya membesar, seolah tidak dapat menyembunyikan kegirangan dari sorot itu.

Ia tampak antusias, bahkan duduk di sebelahku, seolah melupakan bahwa ini adalah hal terlarang bagi kami.

“Sendirian Tam?” pelan, menyorot dengan penuh tanya.

Kugelengkan kepala pelan, “sama Rika.”

“Rika?” tanyanya seraya mengernyitkan dahinya, “pembantu kamu?”

Kuanggukkan kepala pelan, “tahu dari mana namanya Rika?”

Ia menghela napas panjang seraya memandang ke arahku, “Panda yang cerita,” nada bicaranya mendadak berubah seraya pandangan nanarnya yang begitu khas melekat ke arahku, “aku pikir kamu sendirian ke Mamuju Tam.”

Aku tersenyum seraya menggelengkan kepalaku, “Elya yang maksa aku buat ngajak Rika, entah kenapa.”

Wanita itu lalu tersenyum, masih terlihat pahit, “mungkin dia tahu kalo aku ada di sini Tam.

“Soalnya aku sempet hubungin Panda beberapa pekan lalu, dia cerita kamu lagi ada kerjaan di Polewali Mandar.”

Kugelengkan kepala lagi, “gak mungkin Nad.”

“Aku kenal Elya, siapa dia, dan gak mungkin dia nyegah aku buat ketemu kamu, pasti ini cuma kebetulan aja.”

Ia menghela napas panjang, mendekatkan tubuhnya ke arahku, seraya ia menghempaskannya ke sofa panjang ini. Ada perasaan canggung yang teralun bersama presensi wanita ini, namun aku tidak pernah menampik bahwa segenap rasa itu masih selalu ada.

Aku menemuinya sudah lebih dari setahun yang lalu. Masih terkenang betapa ia terlalu menuntut lelakinya untuk bersikap sempurna, bukan sempurna, namun setidaknya seperti diriku yang memperlakukannya bak maharani pada masa telah lampau.

Segalanya tentang wanita itu tiada pernah lekang oleh waktu.

Harum tubuhnya masih sama, Nadine Helvelina yang selalu kukenal.

Ia tampak terus menyembunyikan rasa di balik senyuman pahit di atas bibir merah mudanya tampak sedikit terbuka.

Ada frasa yang tertahan di sana, namun ia tidak melontarkan dari lisannya.

Hanya hela napas pendek berkali-kali, seolah ingin membangkitkan lagi imaji telah lampau bersamaan dengan hening yang akhirnya mendera.

“Gimana kabar Harfi, Nad?” tanyaku memecah keheningan.

Ia menganggukkan kepalanya, “dia udah banyak berubah semenjak peristiwa taun kemaren Tam.”

“Dia banyak ngurusin Irina, anak kita. Dia berusaha buat jadi suami yang baik, setelah dia tahu kalo aku masih cinta sama kamu,” ujar wanita ini pelan.

“Bahkan sampai saat ini Tam. Rasa buat kamu gak pernah ilang walau sedikit.”

Kupejamkan mata ini, sejalan semua memori yang telah lalu langsung terputar begitu cepat di kepala, membawa semua momentum terlewati bersama wanita ini. Kuhela napas begitu panjang tatkala teringat betapa indah senyumannya yang terus terngiang di kepalaku hingga saat ini.

Senyum yang akhirnya bisa kulihat lagi setelah sekian lama.

Sebuah keputusan yang tampaknya baru kusesali belakangan, mencampakkan segenap upayanya tempo itu, membiarkannya bahagia dengan lelaki lain.

Entahlah, tiada yang bisa kuutarakan kepadanya.

Kusadari, saat ini pun ia bukanlah milikku, namun masih selalu ada ruang yang tersisa untuk diisi oleh nama Nadine Helvelina. Seberat dan sebesar apapun kesalahannya pada masa yang telah lalu, ia tetaplah nama yang indah di pelabuhan hati ini.

“Seneng dengernya Nad,” ujarku tersenyum kepadanya, “berarti sekarang kamu udah bisa raih kebahagiaan yang taun kemaren kamu masih raguin kan?”

Ia mengangguk pelan, “aku bahagia jadi istrinya Harfi, Tam. Meski mungkin bukan ini yang sebenernya aku mau. Tapi dia paham, kalo rasa cinta itu ke kamu gak akan pernah ilang. Apalagi inget semua kesalahan aku ke kamu, jujur itu malah ngebuat aku pengenin kamu lagi dan lagi.

“Dibalik itu semua, Harfi udah semakin bisa ngeliat dan nerima itu. Sekarang masak di rumah, ngurusin anak, kalo aja aku gak ada kewajiban Negara buat ke Mamuju, aku gak akan ke sini sekarang.”

“Itu sumpah kamu ke Negara Nad,” ujarku pelan, “aku bangga ketemu kamu lagi jalanin tugas mulia.”

“Sesuai Permenkes Nomor 69 Tahun 2016 Tam, tentang wajib kerja dokter spesialis. Apalagi kan aku baru lulus belum lama.”

“Aku bangga sama kamu, Nad.”

Wajah wanita itu langsung memerah seraya senyuman manis merekah di bibir merah mudanya. Ia sudah banyak berubah, bukan lagi menjadi sosok dengan segala egosentris, menjebaknya di dalam tempurung keniscayaan yang ia buat sendiri atas dasar kebahagiaan semu.

Sungguh, obrolan ringan dan wajar ini telah membawa perasaan nyaman yang belum lama terasa canggung.

Semuanya seolah mengantarkanku kembali ke masa sepuluh tahun ke belakang.

Ketika jemari ini bisa dengan bebas menyentuhnya.

Ketika raga ini masih dapat mendekapnya.

Ketika semara ini saling berpagut satu sama lainnya.

Kupejamkan mata seraya indah itu terus mengalun, menciptakan semesta itu lagi di dalam hati.

Ia semakin mendekatkan tubuhnya, tampak rasa nyaman itu terlihat dari sorot mata yang begitu teduh. Sesekali bahkan jemarinya tampak ingin memagut tanganku, namun ragu itu tampaknya menghinggapinya. Jelas ada batasan di antara kami yang tiada bisa dilanggar.

Deg!

Tubuhku terhentak, seraya berpacunya denyut jantung yang tereskalasi bersama dengan hangat pagutan jemarinya. Hampir-hampir sulit rasanya bagi alveoli ini mentranslasikan zat dengan nomor atom delapan untuk bertukar dengan hemoglobin.

Disandarkannya kepalanya di bahu ini, seketika konstelasi rasa itu semakin mendekap begitu hangat, membuncahkan miliaran, tidak, triliunan rasa yang mengendap. Ia adalah Nadine Helvelina, sebesar apapun kesalahannya, namanya tetap selalu indah di hati ini.

“Loh, ini yang namanya Kak Nadine, bener?” ujar Rika yang saat ini datang dengan membawa sepiring penuh makanan, sejenak mengagetkan kami.

Nadine bahkan langsung terhentak, melepas pagutannya jemarinya, berusaha menghindar dengan tidak menatap mata Rika yang saat itu keheranan melihat kami.


*****


Waktu menunjukkan pukul 10.20, sudah saatnya kami untuk boardingpenerbangan dengan maskapai pelat merah yang akan membawa kami menuju Mamuju. Wajah Rika bahkan terlihat pucat setelah Nadine menceritakan bahwa Bombardier CRJ-1000 yang akan kami tumpangi tidak lebih nyaman ketimbang pesawat dari Jakarta tadi.

“Sini Nad, tiket sama koper kamu,” ujarku seraya pengeras suara sudah mulai memanggil penumpang tujuan Mamuju.

Wanita itu tersenyum, “masih aja gak berubah Tam. Gimana aku bisa move on kalo kamu masih perhatiin hal-hal kecil begini?” ia lalu menyerahkan tiketnya keapadaku.

“Kamu udah move on Nad,” ujarku pasti, “buktinya ekspresi kamu beda banget sekarang ketimbang dulu.”

Ia tertawa kecil, “yang bikin aku bahagia itu juga gara-gara ketemu kamu, Pap.”

Deg!

Sesak rasanya dadaku ketika mendengar frasa itu teruntai begitu manja dari lisan Nadine.

Sungguh sesal itu kembali merundung, betapa bodoh diriku dahulu melakukan hal buruk kepadanya.

Ia masih saja berceloteh dengan Rika, menceritakan segenap sikap canggungku akibat frasa yang dilontarkannya barusan.

Ah, mengapa aku menjadi salah tingkah begini di depan Nadine?

Apakah memang rasa itu masih selalu terpatri begitu dalam di dalam hati?

Entahlah.

Aku hanya bisa mencoba untuk melupakan semua momentum itu seraya melihat jauh ke depan.

Sungguh tiada ada hal yang dapat diraih dengan mempertahankan perasaan ini, karena pada akhirnya akan selalu ada kata sesal dalam wujud pengandaian tiada pernah ada habisnya.

Namun aku percaya, bahwa hukum kekekalan cinta itu ada.

Ia tidak dapat hilang ataupun diciptakan, hanya berubah suatu bentuk ke bentuk yang lainnya.

Serupa dengan bentuk cinta yang selalu mengalunkan indah namanya di dalam hati bersama segenap imaji yang telah lalu.

Sekali lagi, seberat apapun dan sebesar apapun kesalahannya, aku selalu mencintainya.


*****


Setelah hampir tiga puluh menit mengudara, pesawat berkapasitas 90 orang ini pun menurunkan ketinggian jelajahnya, memutari Kota Mamuju untuk menyesuaikan [i[final approach[/i] pada bandara dengan kode ICAO WAFJ di arah 23 navigasi berbasis kompas.

Sekali lagi, tiada frasa yang terlontar dari lisan Rika selain wajahnya yang begitu pucat, seketika langsung menghilang tatkala pesawat ini sudah terparkir.

Sejurus, setelah kedua wanita itu turun, barulah kupimpin langkah untuk meninggalkan kendaraan ini.

Setelah aku mengambil bagasi, aku langsung menuju titik penjemputan di mana staf yang seharusnya menjemput kami sudah berada di posisi. Ia pun langsung menyambut kami seraya memandang ke arah Rika dan Nadine secara bergantian.

“Aku nungguin jemputan dulu Tam,” ujar Nadine, “kamu sama Rika duluan aja.”

Aku menggelengkan kepala, “kamu bareng sama aku Nad.”

“Tapi Tam, kamu kan ketemu orang gede di Sulawesi Barat, gak ada hubungannya sama aku,” ujarnya seraya memandang seragam yang dikenakan oleh staf yang menjemput kami.

“Pak Said,” panggilku kepada staf tersebut.

“Iya Pak Tama,” sahutnya begitu ramah.

“Dinas Kesehatan satu kompleks kan sama tujuan kita?”

Ia menggangguk pasti, “iya Pak, semua instansi pemerintah kan satu kompleks sama kantornya Bapak.”

“Kenalin Pak,” ujarku lalu memandang ke arah Nadine, “beliau dokter yang ada wajib dinas di Provinsi ini, kalo emang bisa Pak Kepala Dinas ditemuin, saya mau ngobrol sebentar.”

“Jangan ah Tam, gak enak aku,” tolak Nadine seraya menggelengkan kepalanya cepat.

“Enggak apa, sekalian aja ketemuan kalo beliau ada di tempat Nad.”


*****


Jam sudah menujukkan pukul 15.30, sepertinya sudah saatnya raga ini untuk beristirahat di salah satu properti berbintang empat yang sudah dipesankan oleh rekan kerjaku; sebuah bangunan megah yang terletak di bibir pantai, dan selalu ramai meskipun bukan di masa high season.

Aku meminta Nadine semalam saja berada di hotel tersebut sebelum ia menuju ke rumah dinas yang sudah ditunjuk untuknya selama tiga bulan masa dinasnya sebagai dokter di salah satu wilayah pada Provinsi Sulawesi Barat ini.

“Kamu serius Tam?” tanya wanita itu, nadanya mengambang meskipun aku tahu ada banyak harapan yang ia letakkan ketika ia bertemu denganku tadi di Makassar.

Aku mengangguk, “aku bukain satu kamar buat kamu, besok aku minta staf kantor buat anterin kamu ke tempat dinas kamu Nad.”

Kuserahkan kunci kamar kepada wanita itu, wajahnya sangat merah ketika aku berusaha untuk tidak menyentuh tangannya, “seenggaknya, aku bisa dengerin cerita kamu, kebahagiaan kamu, dan semua yang kamu coba raih saat ini.”

Namun jemarinya tetap memagut tangan ini, menyibak miliaran asa yang sesungguhnya masih terendap begitu dahsyat dari sorot matanya. Napasnya bahkan begitu terburu tatkala kami saling berpandangan, seolah mentranslasikan segenap semara yang masih teruntai seiring berjalannya waktu.

“Banyak hal Tam,” ujarnya pelan, “banyak yang mau aku ceritain ke kamu, dan mungkin kalo malem itu kamu anterin aku pulang, semuanya gak akan begini sekarang.”

“Makasih udah ngertiin aku,” ujarnya, memandangku dengan tatapan yang penuh dengan kebahagiaan, hal yang sudah lama sekali tidak terlihat semenjak terakhir bertemu dengannya.

Kusunggingkan senyum simpul, “makanya aku maksa kamu pulang naek taksi online, aku tahu Harfi jealous, dia pikir aku akan rebut kamu lagi.”

“Aku tahu dia langsung pulang pas aku ambilin makan buat kamu waktu itu,” ujarku pelan, “jujur di situ aku ngerasa salah masih memperlakukan kamu layaknya kamu orang yang aku sayangin.”

“Bayangin kalo malem itu aku yang anterin kamu pulang, pasti semuanya gak akan ngebahagiain buat kamu Nad.”

“Satu hal lagi,” ujarku sebelum memagut jemari Rika, “tolong bilang sama Harfi, kalo aku ketemuan sama kamu di sini, biar kepercayaan dia ke kamu tetep kayak dulu.”

Nadine menganggukkan kepalanya pasti, ada senyum bahagia yang merekah begitu indah saat aku meninggalkan wanita itu di lobbyhotel yang ramai ini. Ada sebongkah kebahagiaan di balik cerahnya sorot pandang Nadine yang sudah lama tidak kulihat lagi.

Senyuman bahagia yang sering kulihat saat aku masih bersamanya, bersama menyusuri waktu dengan momentum indah, mengukir miliaran asa yang tidak pernah putus dengan segenap bahagia yang semakin sirna seiring berjalannya kehidupan kami masing-masing.

Senyuman bahagia itu yang terus membekas, menyisakan dinamika yang begitu kuat di kepalaku, memutar segala keindahan yang masih saja berlarian di sudut hatiku untuk seorang wanita bernama Nadine Helvelina.

Sekali lagi, seberat apapun dan sebesar apapun kesalahan Nadine di waktu yang telah terlewati.
bukhorigan
bukhorigan memberi reputasi
6
979
8
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.5KThread41.6KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.