rirandaraAvatar border
TS
rirandara
Tunas yang Tak Sepenuhnya Mati




Setelah berhasil meredakan kegelisahannya, Darta mengusap dahi dengan punggung tangan. Bibirnya bergerak-gerak sambil ia terus melangkah, mendekati rumah berpekarangan luas yang ada di hadapan matanya. Bangunan yang berdiri pohon Bacang di sisi kanannya itu selalu menimbulkan getaran aneh dalam aliran darahnya setiap kali ia melintas. Darta memejamkan mata, sesaat.

Satu buah Bacang jatuh tepat sewaktu Darta mencapai teras rumah. Tak pelak hal tersebut menarik perhatian lelaki jangkung itu. Dipandanginya pohon yang lebih tua darinya itu dengan penuh minat, sementara ingatannya mulai merangkak pada masa belasan tahun silam.

"Emakmu kan nggak lagi hamil, Dar. Jadi ini buat aku aja. Kasian Emakku, kepingin sekali makan buah ini." Seno, anak berbadan gempal itu memeluk satu buah bacang matang dengan sayangnya, seolah-olah itu adalah benda yang amat berharga. Wajah bulatnya yang serupa telur memberengut.

"Tapi aku yang lihat duluan, No." Darta tak terima. Ia yakin Seno hanya tengah mengada-ngada saja. Seperti yang sering dilakukan teman sekolahnya itu.

"Aku juga melihatnya tadi." Mata Seno terbuka lebar

"Tapi aku dulu yang memegangnya!" 

"Cuma beda sedetik aja!" 

"Tetep saja aku yang pertama!" Darta maju, merebut buah di tangan Seno. Sehingga terjadilah tarik menarik pada kedua anak lelaki itu. 

Keduanya bersitegang. Saling memelotot dan melontarkan ejekan. Mereka tidak menyadari ada sepasang mata yang tengah memerhatikan keributan yang keduanya timbulkan. Anak si pemilik pohon Bacang. 

"Heiii, kalian sedang apa?" seru gadis bermata jernih dari muka pintu rumahnya. Dahinya berkerut dalam dan ia berjalan mendekati sumber kegaduhan. "Apa yang kalian lakukan, heh?"

Darta menyentakkan kepalanya, terbangun dari lamunan. Seruan itu terasa nyata di telinganya. Seakan-akan pemilik mata jernih itu tengah berada di belakangnya sambil melemparkan senyuman kecil yang menikam. Meski demikian, Darta menyenanginya sejak semula.

"Kang, sedang liatin apa?" 

Astaga, apa ini? Batin pria dua puluh delapan tahun itu dan langsung berbalik. 

Ah…, lenguh Darta sembari memalingkan muka kemudian. Menyembunyikan letup-letup kebahagiaan dalam kedua matanya. Tunas-tunas cintanya yang nyaris sekarat, kembali menggeliat.

"Kang Darta?"

Sambil menekan bungah yang makin bergolak, Darta melangkah maju. 
"Bapak … bapakmu memintaku datang, Sih," ucapnya agak tertahan ketika keduanya berdepan.

Kesih mengangguk dan tersenyum. Ia tahu. Bapaknya memang menyuruh Darta untuk ke rumah, karena hendak meminta bantuan lelaki itu. Beberapa batang kelapa di pekarangan belakang, buahnya siap dipanen. Tetapi orang yang biasa membantu bapak berhalangan datang. Bapak Kesih tahu Darta bisa dimintai tenaganya untuk hal itu. 

"Ah, iya, Kang. Bapak sudah menunggumu sejak tadi," wanita itu menepikan diri dan menyilakan tamunya untuk masuk terlebih dahulu. "Bapak pikir … kamu menolak datang, hehehe."

"Hmh? Kenapa bapakmu bisa berpikir begitu?"

Bapak Kesih orang yang jernih pikirannya. Baik tutur kata serta sikapnya pada sesama. Jadi Darta rasa mustahil pria tujuh puluh tahun itu memiliki prasangka buruk terhadapnya.

"Karena ada aku." 

"Haaah?" Darta mengerutkan kening. Mustahil Bapak tua itu dapat menembus pikiranku, gerutunya dalam hati. Apa mungkin selama ini dia?

"Bercanda, Kang. Akang serius amat, ih."

Maka lenyap seketika ketegangan pada wajah Darta dan berganti oleh senyuman ringan. 

"Emak gimana kabarnya, Kang?" 

"Baik." 

Kesih meminta Darta duduk sementara ia memanggil bapaknya. Sebelum berlalu, wanita itu berkata meski Darta tidak bertanya. Katanya, tadi bapaknya sedang di belakang mengurusi ayam-ayam yang sudah bolak-balik dilirik bandar. Berharap bapak menjualnya segera. Tetapi, Bapak terlalu berat hati melepas peliharaannya itu. Karena tahu anak perempuan satu-satunya akan kembali pulang beserta cucu kesayangannya. Darta mengulas senyum di belakang punggung Kesih.

Tidak sampai lima menit, Kesih kembali lagi ke depan seorang diri.

"Bapak nggak ada."

"Apa?" Darta memandang wanita yang menguasai relung hatinya belasan tahun itu dengan rapuh. 

"Bapak nggak ada di belakang, Kang." 

Kecemasan mencengkeram ulu hati Darta seketika. Bapak Kesih tidak pernah berlaku buruk padanya, malah ia dikasihi dengan tulus. Maka sebab itu Darta tidak perlu berpikir dua kali. Ia mesti segera mencarinya sebelum terjadi apa-apa pada pria tua itu. Yang suatu waktu pernah mengeluhkan perihal kakinya. Sering tiba-tiba sakit, begitu kata-kata yang Darta ingat.

"Kita mesti mencarinya segera," usul Darta seraya bangkit dari duduk. 

Kesih terbengong di tempatnya. Mendadak tenggorokannya sulit mengelurakan suara. Kata-kata Seno kemarin lusa secara tiba-tiba mengentak-ngentak ruang kepalanya. 

"Masa kamu nggak nyadar, Sih. Si Darta kan suka sama kamu sudah lama." Seno yang sudah menjadi juragan kain di pasar berkata sambil geleng-geleng. "Coba … dulu kamu pilih dia daripada orang kota yang nggak jelas juntrungannya itu, pasti bahagia hidupmu sekarang. Walau si Darta nggak pernah pakai kemeja, dasi dan celana kain seperti mantan suamimu, tapi dia pekerja keras, tulus. Yakin deh, bapakmu juga lebih senang kalau kamu kavvin sama di Darta. Buktinya kalau ada apa-apa, pasti si Darta yang bapakmu kabari lebih dulu ketimbang aku yang sudah jadi suami keponakannya."

"Sih?"

Wajah Kesih terangkat dengan rentetan pertanyaan menggelayut di bibirnya.

"Jangan bengong. Bapakmu nggak ada di rumah. Ini bukan waktunya kamu…."

"Mengapa Kang Darta enggak pernah ngomong?"

"Ngomong apa?" 

Darta mengitari meja sebab Kesih malah menghalangi jalannya. Dia berjalan tanpa suara. Saat itu perasaannya tidak keruan. Antara memikirkan orang yang memintanya datang dan menahan gelombang kerinduannya pada wanita dengan sepasang mata jernih. 

"Apa Kang Darta tidak ingin mengatakannya sekarang?" Kesih bertahan di tempatnya, menatap punggung lelaki penuh rahasia.

Di mulut pintu, langkah Darta terhenti dan ia membalikkan tubuhnya. Didapatinya mata jernih itu sudah basah dan sangat merawankan hati.

"Aku mesti ngomong apa? Sekarang, Bapakmu yang lebih penting."

"Ah, kamu, Kang. Selalu begitu. Tidak pernah berterus terang. Selalu menyembunyikan semuanya. Entah suka atau tidak, kamu selalu menyimpannya sendiri. Kenapa?"

"Sih, Bapakmu nggak ada di rumah. Kamu jangan malah ngomong yang enggak-enggak. Lebih baik kita cari bapakmu sekarang juga." Darta mulai digerogoti sesak. Lelaki itu paham kemana arah yang Kesih hendak tuju.

"Bapak lagi ngobrol sama tetangga di belakang," cetus Kesih tanpa rasa bersalah kemudian. Wanita itu tidak tahu lagi mesti bagaimana memancing Darta supaya berkata jujur kepadanya.

"Jadi … kamu … bohong?"

"Itu juga yang kamu lakukan, bukan?"

"Apa maksudmu?"

"Kang Darta membohongi diri sendiri tentang perasaan Akang padaku."

Kesih mengarahkan anak panahnya tepat pada sasaran. Karena pada saat bersamaan, lolos sudah keberanian Darta untuk bertentang mata dengan wanita yang dikasihinya selama ini.

Andai Kesih menyebutnya pengecut, ia tidak akan menyalahkan wanita itu. Ia pun akan terima bilamana Kesih menertawakannya karena telah mengetahui rahasia terbesarnya. Rahasia yang Darta simpan rapat-rapat. Bahkan semut pun tak ia biarkan mencuri secuil kisah mengenai perasaannya. 

"Aku tahu, Kang. Ya… walaupun sedikit terlambat." Kesih bergerak maju sambil mengurai senyum getir. "Kamu hebat. Sungguh. Sanggup menanggung semuanya sendirian. Kamu pun mampu menyimpan dengan baik perasaanmu itu. Tapi sayangnya … teman duelmu terlalu peka untuk hal yang kedua." Kegetiran itu berganti cengiran jail.

"Seno?" Pada akhirnya Darta mampu berkata, setelah mampu menguasai emosi.

"Memang siapa lagi?"

Kesih tertawa lepas seraya meninju lengan kekar Darta pelan. Rongga dadanya terasa lowong sebab beban itu telah ia luahkan. 

"Seharusnya dulu, aku saja yang utarain perasaan duluan kalau tahu ceritanya begini." Kesih menatap Darta. Penyesalan sekaligus harapan menyesakki dadanya.

"Kasih?" 

Dua pasang mata itu akhirnya bertemu. Saling mengunci. Saling meluapkan rasa lewat tatap penuh damba.

"Namaku Kesih Nur Atmaja. Bukan Kasih, Kang. Kamu selalu keliru memanggil namaku. Panggil Nur saja mulai detik ini."

"Tidak. Bagiku kamu Kasih. Kekasihku. Selamanya akan tetap begitu."

Quote:




-Tamat-

Ilustrasi: canva
Diubah oleh rirandara 03-07-2022 12:04
bukhorigan
bukhorigan memberi reputasi
4
898
9
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.5KThread41.6KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.