Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

dragonroarAvatar border
TS
dragonroar
Misi Damai Jokowi di Ukraina dan Rusia, Mungkinkah Terwujud?
Misi Damai Jokowi di Ukraina dan Rusia, Mungkinkah Terwujud?

Rabu, 29 Jun 2022 06:30 WIB

Misi Damai Jokowi di Ukraina dan Rusia, Mungkinkah Terwujud?
Presiden Indonesia Joko Widodo membawa misi dama saat berkunjung ke Ukraina dan Rusia, mungkinkah terwujud? Jokowi akan bertemu Volodymyr Zelensky dan Vladimir Putin bawa misi damai. (AFP Photo)

Jakarta, CNN Indonesia -- Presiden Indonesia Joko Widodo menyempatkan berkunjung ke Ukraina dan Rusia usai menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi di Jerman.

Di Kiev, Jokowi menemui Presiden Volodymyr Zelensky. Orang nomor satu RI itu bakal bertemu Presiden Vladimir Putin di Moskow yang dikabarkan berlangsung pada 30 Juni.

Pengamat memprediksi pertemuan akan membahas pasokan pangan, G20 hingga misi damai.

Kementerian Luar Negeri RI, sebelumnya, menyatakan kunjungan Jokowi ke kedua negara itu untuk membawa misi damai. Namun, sejumlah pihak meragukannya menyusul posisi RI yang lemah.

Beberapa pihak lain bahkan menilai misi Jokowi ke negara Eropa Timur itu untuk menyukseskan konferensi tingkat tinggi G20.

Sebelum bertolak ke Ukraina dan Rusia, Jokowi menghadiri KTT G7 di Jerman pada 26-28 Juni. Dalam pertemuan ini, ia menegaskan isu energi, perubahan iklim, pasokan pangan global dan dampak perang terhadap negara berkembang.

Pengamat hubungan internasional dari Universitas Indonesia, Suzie Sudarman, memprediksi pertemuan Jokowi dan Putin kemungkinan membahas pasokan pangan dan G20.

"Dua-duanya [ketahanan pangan dan G20]. [Jokowi] membangun komunikasi dengan Presiden Putin agar bisa membantu Presiden [Ukraina Volodymyr] Zelenski mengatasi permasalahan Ukraina sekaligus mengimbau untuk membuka blokade agar dunia tidak mengalami krisis pangan," jelas Suzie saat dihubungi CNNIndonesia.com, Selasa (28/6).

Suzie lebih lanjut menerangkan, dengan membuka komunikasi untuk mengatasi konflik dengan sendirinya G20 bisa berjalan lancar.

Dunia sempat ramai usai Indonesia memutuskan mengundang Rusia di G20. Sejumlah negara Barat seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Kanada, mengancam akan memboikot forum ini.

Beberapa bulan kemudian, RI disebut mengundang Ukraina untuk hadir di G20.

Suzie tak membeberkan lebih jauh soal pertemuan itu. Menurutnya, yang bisa diukur adalah suhu konflik akan semakin jelas terbaca saat Jokowi bertatap muka secara langsung dengan Putin.

"Dengan bertemu muka kita bisa kan membaca intonasi suara dan bahasa tubuh lawan bicara. Ini bukan pertemuan antara orang Solo ini pertemuan dengan negeri adikuasa. Kalau menolak kan ketahuan," jelas dia lagi.

Melalui pertemuan itu, katanya, publik akan lebih memahami pandangan Putin. Jika sudah terbaca kemauan orang nomor satu di Rusia tampak jelas arah masa depan Ukraina dan Eropa.

"Kalau blokade pangan tidak juga teratasi maka mungkin bisa disimpulkan bahwa yang dilakukan Presiden Putin adalah ingin menggantikan hegemoni dunia dengan hegemoni aliansi baru antara Rusia dan China," jelas dia lagi.

Akademisi Universitas Indonesia itu tak bisa menjamin kunjungan Jokowi ke Rusia akan membuahkan dialog damai di G20.

"Sulit dibayangkan. Kalau kunjungan Pak Joko Widodo tak membuahkan pelepasan blokade, maka pertemuan G20 akan minim gaung," jelas dia saat ditanya apakah pertemuan tersebut setidaknya bisa membawa dialog damai.

Ia kemudian berujar, "Tidak bisa saya bayangkan negara adidaya yang sedang naik (rising state) mau mendengarkan imbauan atau ajakan."

Secara terpisah, Suzie pernah mengatakan daya tawar Indonesia sangat lemah dan tak ada posisi tukar yang nyata.

"[Jokowi] hanya menunjukkan sesuai permintaan, Zelensky juga diundang sebagai iktikad baik Indonesia. Kalau negara adidaya akan tak akan datang ya sedikitnya Jokowi menunjukkan good will," jelas dia.

Ia juga menegaskan misi penting Jokowi melawat untuk menyelamatkan muka Indonesia yang akan menjadi tuan rumah G20.

Setelah kunjungan itu pun, Suzie menilai Indonesia tak punya nilai tawar.

"Tidak ada [dampak nilai tawar] karena berlaku diktum: The strong will do what they can. The weak suffer what they must," tegas Suzie.

Ia menilai jika perang di Ukraina sengaja berlangsung lama, maka negara eks Uni Soviet itu akan hancur lebur kemudian sirna. Dengan demikian, muncul risiko perang Eropa yang dahsyat dan berujung pada Perang Dunia.

"Akan terjadi Perang Eropa karena Ukraina itu dekat dengan Eropa. Kekosongan kekuasaan dari hegemoni, karena AS kurang merawat tatanan dunia, akan diisi oleh sebuah kekuatan lain,"ujarnya.

Misi Damai Jokowi di Ukraina dan Rusia, Mungkinkah Terwujud?
Jokowi saat menghadiri KTT G7. (AP/Susan Walsh)

Sementara itu, pengamat hubungan internasional lain dari Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, menilai Rusia membutuhkan Indonesia sebagai alasan untuk menghentikan perang.

"Ada indikasi bahwa Rusia hendak menghentikan [perang] ini. Ini karena Rusia bersedia menerima kunjungan Presiden Jokowi," jelas Hikmahanto.

Bila Rusia tidak memiliki keinginan untuk menghentikan perang tentu mereka akan menolak kehadiran Jokowi, yang menganggap Indonesia telah berpihak pada AS dan sekutunya.

Menurutnya, Rusia menyadari Indonesia mendukung ko-sponsor Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang digagas Amerika Serikat. Resolusi tersebut mengutuk serangan Moskow di Ukraina sebagai agresi.

Hikmahanto mengatakan kemungkinan Jokowi menghadirkan gencatan senjata dan mengakhiri konflik cukup besar. Ia lalu membeberkan alasan probabilitas itu.

Pertama, Rusia dan Ukraina telah lelah berperang. Kremlin menargetkan invasi di negara tetangganya berlangsung cepat. Namun, hingga sekarang belum berakhir.

Kedua, legitimasi dari pemimpin Rusia dan Ukraina di mata masyarakat semakin tergerus mengingat perang yang tak berpihak pada rakyat.

Ketiga, kini Rusia dan Ukraina mencari jalan mengakhiri perang dengan cara yang bermartabat.

"Mereka tak ingin kehilang muka. Bila Rusia menghentikan serangan sepihak, ini akan berakibat hilangnya muka Presiden Putin dan Rusia," ujar Hikmahanto.

Begitu pula dengan Zelensky. Jika dia menyerah akan kehilangan harga dirinya di mata masyarakat.

Keempat, hingga sekarang tak ada negara yang berinisiatif mengupayakan gencatan senjata. Sebelumnya, Turki dan Israel pernah mengupayakan gencatan senjata namun gagal.

"Karena saat itu kedua negara masih bersemangat berkonflik dengan menggunakan senjata," jelas dia.

https://www.cnnindonesia.com/interna...inkah-terwujud
0
1K
15
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
671.8KThread41.5KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.