Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

albyabby91Avatar border
TS
albyabby91
CINTA DI AKHIR JALAN (Kisah Nyata)
CINTA DI AKHIR JALAN
(Kisah Nyata)
CINTA DI AKHIR JALAN (Kisah Nyata)
Aku mendapati diriku berbaring di ranjang, di sebuah rumah sakit yang jauh dari kampungku.
Aku menatap wajah sanak saudaraku dan suamiku bergantian ada rasa cemas tergambar dengan jelas.

'"Aku sakit apa?"

Suamiku menyeka air matanya dan menatapku dalam. Tatapan yang belum pernah aku lihat selama enam belas tahun pernikahan kami.
"Leukimia, kamu akan baik-baik saja, ini bahkan baru gejala, baru stadium pertama. kita akan tinggal di sini untuk beberapa hari sampai kamu pulih." Aku tau lelaki itu sedang berbohong.

Aku tersenyum bahagia saat ada rasa khawatir pada nada suara lelaki itu. Ini adalah hal yang langka, dia bahkan tidak pernah tau aku sakit. Atau tepatnya tidak mau tau?

"Sejak kapan Kamu sakit?"

Aku terdiam, sepintas terbayang lagi hari-hari yang telah berlalu. Hari di mana penyakit mematikan ini begitu menyiksaku. Beberapa kali saudara jauh suamiku menegurku karena duduk berjam-jam di samping rumahnya yang bersebelahan dengan Lapo (Kedai) tempat suamiku minum dan main judi.

Aku duduk terdiam di sana sambil bertanya-tanya, Tuhan bagai mana nasib empat anakku yang masih kecil-kecil jika aku sudah tiada?

Aku mendengar gelak tawa suamiku mungkin dia menang judi hari itu. Dia seperti kebanyakan lelaki lainnya di kampungku, suka main judi dan minum. Walau begitu dia masih mau dan rajin mencari nafkah untuk kelurga kecilku. Jadi aku masih menganggap itu hal biasa.

Aku sadar aku sakit, bahkan para tetangga menyadari hal itu. Tubuhku menunjukkan perubahan dari hari ke hari. Aku merasa lemas dan pusing, berat tubuhku berangsur-angsur menurun.

Kadang kalau malam aku meringkuk di tempat tidurku karena tiba-tiba menggigil dan tubuhku di penuhi memar-memar serta bengkak-bengkak. Walau begitu aku mencoba membohongi diriku demi anak-anakku.

Pagi-pagi aku mendatangi rumah saudara dan bertanya apakah aku bisa ikut menyiangi sawah mereka dan menjadi buruh harian. Aku berencana mengumpulkan uang tabungan untuk anak-anak kelak. Walau aku tidak tau pastinya penyakit apa yang ku derita, tetapi aku tau aku tidak akan bertahan lama.

Hari-hari begitu cepat berlalu. Suamiku tidak pernah menanyakan apa aku baik-baik saja. Sudah berapa bulan terakhir ini kami bahkan tidak pernah saling bicara satu sama lain. Bermula dari hilangnya uang yang aku simpan di lemari, pertengkaran hebat tak bisa dihindari.

"Kenapa kamu buta? Haruskah kamu mengambil uang itu?" Aku berteriak penuh amarah. Aku sakit. Tidakkah dia melihat perubahan pada tubuhku? Tetapi aku mengurungkan niatku.

Percuma. Jika dia benar-benar tak peduli bahkan setelah tau aku sakit hatiku akan semakin rapuh. Ya, mungkin itu akan semakin mempercepat kematiannku.

Tiga anakku berlari keluar dan membebaskan diri dari pertengkaran hari itu. Mereka telah terbiasa dengan pertengkaran kami. Sementara anak bungsungku yang cewek duduk menangis di sudut ruang tamu.

Umurnya belum genap tiga tahun. Tubuh mungil itu meringkuk ketakutan, aku mendekatinya dan membawanya dalam pelukanku yang hangat. "Maaf sayang," air mata penyesalanku membasahi tubuh gadis kecil itu.

"Bang, aku ingin ke Taman." Suaraku hampir tidak terdengar.

"Tapi dek kamu sakit, ke Taman Rumah Sakit maksudnya? Nggak usah, istirahatlah di sini. Ingat anak-anakmu menunggu di rumah, kamu harus segera sembuh dan pulang. Apa kamu tidak rindu mereka?" Aku menangis mendengar kata-kata suamiku, saudara yang ikut mengantarku menyeka air matanya dan bergegas keluar.

"Aku rindu, tetapi aku sudah mencium aroma kematian itu begitu dekat. Jangan menghambur-hamburkan uang kita di tempat ini, Bang. Tolong penuhilah permintaanku. Aku ingin ke Taman Kota." Wajah suamiku tampak pucat dan kebingungan.

Dia berjalan gontai menuju ruang administrasi untuk mengurus kepulangan kami dan menemui Dokter. Dokter itu datang menemuiku sekali lagi dengan wajah tersenyum ramah, " Kemana ibu ingin pergi?" Dia bertanya sambil memeriksa tubuhku.

"Taman Kota, Dok." Aku menatap lekat wajah Dokter itu, berharap dia akan melarangku.

"Baiklah Bu, pergilah kemanapun ibu mau, makan apa pun yang ingin ibu makan, dan beli barang yang sangat kamu inginkan selama ini. Hidup harus dipenuhi kebahagiaan, Bu." Dokter itu sama sekali tidak mempersulit proses pemulangan itu.

Aku dan suamiku duduk di bangku Taman, sementara saudaraku memutuskan untuk menunggu di dalam mobil. Mungkin dia tidak ingin menonton drama menyedihkan.

"Kenapa kita ke tempat ini,dek?" Dia duduk dengan cemas, bertanya tanpa melirik ke arahku.

"Aku selalu ingin pergi ke Taman denganmu dan anak-anak, sayangnya di Kampung kita nggak ada Taman." Aku membendung air mataku tatkala menatap beberapa keluarga yang sedang bersenda gurau dan anak-anak mereka berlari dengan riang di Taman itu.

"Lihat mereka," aku menunjuk pasangan yang duduk di sudut taman dengan dua anak kembar mereka yang seusia putriku. "Betapa mereka tampak bahagia, andai anak-anak kita bisa merasakan hal seperti itu." Air mataku jatuh, tumpah ruah, bak bendungan yang telah jebol karna kuatnya arus air.

Aku mendengar suara perut suamiku berbunyi bersahut-sahutan, mungkin bahkan dari kemarin dia tak makan sesuap nasi.

Dia meneguk air minum yang sengaja dia bawa dalam tas rangselnya yang kusut. Semalam dia menggunakan rangsel itu sebagai pengganti bantal. Betapa kini dia tampak sangat mencintai istrinya. Ini adalah saat paling bahagia dalam hidupku, aku merasa benar-benar dicintai.

"Bang, ayo kita makan.

"Hmmm, bukankah kamu masih ingin di sini? Tak apa, aku nggak lapar, kok." Kata-kata itu menyembuhkan setengah luka hatiku karna sifatnya selama ini. Kini aku mulai menyesali satu hal, andai aku beritahu dia sejak awal kalau aku sakit. Mungkinkah masih ada harapan untukku?

"Aku yang lapar, mari kita cari makanan yang enak dan mahal. Selama ini bahkan kita tidak pernah makan di luar." kini aku tau bagaimana rasanya berbohong untuk kebaikan seseorang yang aku cintai. Oh, betapa rasanya manis.

Kami mencari rumah makan terdekat dengan bangunan yang paling bagus. Aku memesan makanan yang paling mahal di tempat itu, walaupun itu sama sekali tidak mewah. Kami hanya mendatangi rumah makan padang dengan harga merakyat.

"Makanlah yang banyak, alangkah baiknya jika setelah pulang dari sini kita slalu makan bersama." Dia hanya mengangguk seolah ucapanku terasa mustahil baginya.

"Bang, kamu lihat orang-orang di Taman itu? Kedekatan dengan anak itu sangat penting, mereka sangat bahagia untuk hal-hal sederhana. Anak-anak itu tidak berharap kamu belikan mainan yang mahal, mereka hanya ingin menghabiskan waktu denganmu. Jangan hanya sibuk main judi dan minum-minum. Makanlah secara teratur tiap hari, makan bersama anak-anak kita. Sepertinya waktunya telah dekat, kamu harus menjadi Ayah dan Ibu buat mereka." Dia bungkam, untuk pertama kalinya setelah menikah sekian lama dia tidak membantah perkataanku. Kenapa sekarang justru rasanya hatiku semakin pilu melihatnya mengiyakan setiap perkataanku?

Kami pulang hari itu menuju desa kami yang jauh, duduk bersebelahan dengannya dan menggenggam tangannya entah kenapa menjadi hal istimewa bagiku.

Dia tidak banyak bicara sepanjang jalan, air mukanya tampak keruh. Ada rasa bersalah di wajah itu, rasa menyesal, rasa bingung dan bimbang. Untuk waktu yang lama aku tidak pernah lagi menatapnya dengan kekaguman, wajah itu terlihat lebih tampan di mataku sekarang.

Kini aku bisa meninggalkan anak-anakku dengan damai, ada suamiku yang akan menjaga mereka dengan baik. Semoga.

Ketika kami sampai di Desa tercinta itu, hari sudah malam. Aku mendekap anak-anakku bergantian. Kami tidur berlima di ruang tamu depan, aku mendekap anak bungsuku. Hatiku perih bukan main.
"Tuhan, tolong jagalah malaikat kecilku ini..."
*********************************************

Ini adalah kisah nyata yang dialami saudaraku.

Sengaja saya posting, untuk menjadi pelajaran buat kita semua. Agar kita lebih mampu menghargai waktu yang kita punya bersama orang-orang tercinta kita.
Lima tahun telah berlalu, sang suami masih berjuang menjadi Ayah sekaligus Ibu yang baik buat empat anaknya.
bukhorigan
spay21
herry8900
herry8900 dan 4 lainnya memberi reputasi
5
812
2
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.7KThread43.1KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.