Kerusuhan Mei 1998. Kejadian ini tercatat sebagai bentuk kerusuhan rasial terhadap etnis Tionghoa yang terjadi di daerah Ibu Kota Jakarta serta beberapa wilayah lain. Kerusuhan yang diawali dari krisis finansial ini tercatat sebagai salah satu memori gelap dalam sejarah bangsa ini.

Baru-baru ini ada sebuah postingan viral dari seorang netizen Twitter dengan nama Hasansamuda yang mana dia mengharapkan agar kerusuhan 98 terjadi lagi. Dalam cuitannya dia mengaku senang melihat toko-toko orang Tiongkok dibakar dan tak lupa dia berdoa agar kejadian tersebut terulang lagi, kalau bisa seratus kali lebih kejam.



Entahlah apa maksudnya. Atau entah siapa yang menyuruhnya. Yang jelas bagi mereka yang mengalami sendiri kerusuhan 98 tak akan berani mengatakan hal semacam itu. Beberapa orang yang menjadi korban kerusuhan tersebut juga menceritakan apa saja yang mereka alami mulai dari toko-toko yang dibakar, perempuan-perempuan yang dirudapaksa, rumah-rumah yang dijarah serta sorakan-sorakan ‘bunuh Cina’ yang bisa terdengar dari berbagai penjuru.

Masyarakat Tionghoa yang ketakutan banyak melarikan diri ke luar negeri. Sebagian bersembunyi di dalam rumah serta membuat pagar tinggi untuk melindungi diri mereka dari penjarahan. Sementara itu bisnis mereka pun dijadikan sasaran oleh massa yang marah.



Mobil dan motor mereka dibakar, barang-barang mereka dirampas hingga akhirnya kaum Tionghoa dihadapkan pada kerugian yang mencapai ratusan juta dan bahkan milyaran rupiah. Bukan hanya kerugian materi, mereka diberikan trauma mendalam yang mungkin tak akan pernah hilang. Seumur hidup para korban akan terus bertanya-tanya apa kesalahan mereka sampai harus menghadapi itu semua.

Lalu apakah mungkin kerusuhan yang sama terjadi lagi seperti yang diharapkan oleh Hasansamuda? Jika melihat kondisi saat ini yang tengah perang politik dengan isu agama dan ras yang terus bermain maka tak ada yang bisa bilang bahwa itu tidak mungkin terjadi. Terlebih setelah kasus Ahok pada tahun 2017. Jika kasus penjarahan yang sama kembali berulang maka sejumlah dampak ekonomi akan menimpa negara ini.



Bayangkanlah sebuah toko besar milik etnis Tionghoa yang dijarah habis hingga tak bersisa. Toko itu bangkrut dan akhirnya terpaksa tutup. Jika toko besar itu tutup maka toko-toko kecil akan kesulitan untuk mengisi ulang barang belanjaan mereka dan para pengusahan juga akan kesulitan untuk memasok barang-barang buatan mereka. Mungkin terdengar sepele tapi siklus perdagangan yang terganggu sanggup memberikan gejolak pada barang-barang berupa kenaikan harga. Ini hanya satu toko, bagaimana jika ada seratus toko?

Barang-barang yang dijarah pun pasti akan ditimbun agar tidak ketahuan dan kelangkaan barang berujung pada naiknya harga seperti halnya kasus minyak goreng. Barang yang kosong serta toko-toko besar yang berhenti menyuplai barang akan menimbulkan kerusuhan yang lebih besar dari sekedar minyak goreng. Saat ini kita memang sudah mengenal sistem belanja online tapi tetap saja harganya akan lebih mahal dibanding belanja di toko.



Belum lagi jika kita membahas jumlah kematian sekaligus kerusakan infrastruktur yang akan terjadi. Masalah negara yang sudah banyak akan semakin bertambah dengan mengurus setiap akibat dari kerusuhan yang mungkin saja akan terjadi di seluruh negeri.

Tapi efek paling besar yang ditimbulkan adalah hilangnya kepercayaan akan HAM.

Pancasila menjamin keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia tetapi kaum Tionghoa tetap didiskriminasi kendati lahir dan besar di negeri ini. Ketidakpercayaan akan menghasilkan pembangkangan dan pembangkangan akan menjadi akar bagi banyak jenis pelanggaran lainnya. Karena itulah jika kerusuhan sejenis kerusuhan 98 terjadi lagi maka negeri ini akan jatuh ke dalam jurang besar yang tak jelas dasarnya. So, mari berdoa agar kerusuhan itu tak akan pernah terulang.

Sekian dari saya mari bertemu di thread saya yang lainnya.



sumur