matt.gaperAvatar border
TS
matt.gaper
Baru Sehari Diumumkan, Jokowi Ralat Aturan Larangan Ekspor CPO


KOMPAS.com - Belum genap sehari setelah pengumuman larangan ekspor bahan baku minyak goreng dan minyak goreng, kini pemerintah sudah meralatnya.

Dalam konferensi pers pertama, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan bahwa minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) tidak termasuk dalam komoditas yang masuk dalam larangan ekspor.

Airlangga pada awalnya mengungkapkan, larangan ekspor hanya berlaku untuk bahan baku minyak goreng atau Refined, Bleached, Deodorized Palm Olein (RBD Palm Olein). Sementara CPO dan produk turunannya seperti Red Palm Oil (RPO) masih diperbolehkan ekspor.

Belakangan, pemerintah meralat aturannya, di mana dalam konferensi pers terbaru esok harinya, Airlangga menegaskan bahwa CPO juga termasuk juga ikut dilarang.

Seluruhnya sudah tercakup dalam Peraturan Menteri Perdagangan dan akan dilakukan malam hari ini pukul 00.00 WIB tanggal 28 April karena ini sesuai dengan apa yang sudah disampaikan oleh Bapak Presiden," kata Airlangga dikutip dari Antara, Kamis (28/4/2022).

Ia menjelaskan seluruh kebijakan ini dilakukan untuk memperhatikan kepentingan masyarakat karena rakyat Indonesia adalah prioritas utama dari seluruh kebijakan pemerintah.

Dengan demikian, keputusan ini memastikan bahwa produk CPO dapat didedikasikan seluruhnya untuk ketersediaan minyak goreng curah agar bisa mencapai harga Rp 14 ribu per liter.

Terutama di pasar-pasar tradisional dan untuk kebutuhan Usaha Menengah Kecil (UMK). Pelaksanaan dan implementasi kebijakan tersebut akan diawasi oleh Bea dan Cukai.


"Untuk pelaksanaan distribusi hasil CPO dan produk turunannya tentu kalau ada pelanggaran akan ditindak tegas," ucap dia.

Hujan kritik
Banyak kalangan menilai, kebijakan pemerintah melarang total ekspor CPO dan turunannnya untuk mengatasi problem minyak goreng di dalam negeri menuai kritik. Kebijakan itu dinilai keliru dan destruktif.

Kebijakan itu dinilai tidak menyelesaikan akar masalah kelangkaan dan tingginya harga minyak goreng dalam negeri.

Sebaliknya, berpotensi memunculkan komplikasi dampak berantai ke ekonomi, industri sawit dan turunan domestik, serta posisi Indonesia sebagai produsen CPO atau minyak sawit terbesar secara global.

Dikutip dari Kompas TV, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai kebijakan itu tidak akan bertahan lama.

Pasalnya, ia mengatakan, Indonesia akan diprotes negara-negara yang membutuhkan komoditas CPO dari Indonesia.

"India, China, Pakistan yang akan memberikan respon karena mereka importir CPO terbesar dan merasa dirugikan dengan kebijakan ini," sebut Bhima.

Biaya produksi manufaktur maupun harga barang konsumsi di tiga negara tersebut akan naik signifikan dan Indonesia yang disalahkan.

Dalam kondisi terburuk, bisa menimbulkan retaliasi atau pembalasan yakni negara yang merasa dirugikan akan menghentikan mengirim bahan baku yang dibutuhkan Indonesia.

"Seperti ekspor kedelai atau gandum yang ditahan misalnya oleh India, kan repot itu," ujarnya.

Bhima menyatakan, kalau hanya untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri, pemerintah tidak perlu stop ekspor. Pasalnya kebijakan itu hanya mengulang kesalahan larangan ekspor batubara pada Januari 2022 lalu.

Kebijakan itu hanya bertahan selama sekitar 2 pekan. Di pekan pertama, pemerintah bahkan sudah menggelar rapat untuk membahas protes dari sejumlah negara seperti Jepang dannKorea Selatan.

"Apakah masalah selesai? Kan tidak. Justru diprotes oleh calon pembeli di luar negeri. Cara-cara seperti itu harus dihentikan," ucap Bhima.

Yang harusnya dilakukan, lanjut Bhima, adalah cukup mengembalikan kebijakan DMO CPO 20 persen. Jumlah itu sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Pemerintah juga perlu memperketat pengawasan pada sisi produsen dan distributor.

Apalagi, minyak goreng dan CPO memberikan pemasukan yang cukup besar untuk negara. Selama bulan Maret 2022 saja, ekspor CPO nilainya 3 miliar dollar AS.

Sehingga, jika larangan ekspor berlaku selama 1 bulan, pemerintah akan kehilangan pendapatan sebesar itu atau sekitar Rp 42,9 triliun (asumsi kurs Rp 14.300).

Di sisi lain, pelarangan ekspor juga akan untungkan Malaysia sebagai pesaing CPO Indonesia. Negara lain yang memproduksi minyak nabati alternatif juga akan diuntungkan. Seperti soybean oil, rapseed oil dan sunflower oil yang diproduksi AS dan negara di Eropa.

"Estimasi produksi CPO setahun 50 juta ton, sementara penggunaan untuk minyak goreng hanya 5-6 juta ton alias 10 persennya. Sisanya mau disalurkan ke mana kalau stop ekspor? Kapasitas industri di dalam negeri tidak sanggup menyerap kelebihan pasokan CPO," jelas Bhima.

"Tolong pak Jokowi pikirkan kembali kebijakan yang tidak solutif ini. Pembisik Pak Jokowi juga jangan asal kasih saran kebijakan yang merugikan ekonomi," sambungnya.

https://money.kompas.com/read/2022/0...an-ekspor-cpo?

Oke deh

mas.yoo
GoKiEeLaBieEzZ
sorken
sorken dan 2 lainnya memberi reputasi
3
5.5K
56
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
670KThread40.3KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.