ih.sulAvatar border
TS
ih.sul
Korban dan Pelaku Pemerkosaan Dipaksa Menikah, Logiskah?


Alkisah ada seorang bernama Jono. Sudah sepuluh tahun lamanya Jono memendam rasa pada Juminten tetapi Juminten tak sekalipun membalas perasaannya. Suatu hari tersiar kabar bahwa Juminten akan menikah dengan orang kaya dari desa seberang. Karena tak ingin kehilangan Juminten, Jono pun merudapaksa Juminten hingga hamil.

Kabar itu pun membuat tunangan Juminten membatalkan rencana pernikahan mereka dan pihak keluarga Juminten memaksa Jono bertanggung jawab dan menikahi Juminten. Akhirnya Jono pun berhasil menjadi suami dari wanita yang selalu menjadi idaman hatinya itu.


Cerita di atas hanyalah satu dari sekian banyak cerita klasik yang mengambil tema rudapaksa lalu menikah. Kisah yang banyak kita lihat adaptasinya di kehidupan nyata ini ternyata sungguh populer dan masih bertahan hingga sekarang. Dalam cerita-cerita fiksi, tema ini biasanya memiliki ending yang bahagia di mana kedua belah pihak belajar untuk mencintai satu sama lain. Namun, kehidupan nyata terkadang terlalu kejam untuk diangkat menjadi cerita dongeng.



Jika melihat dari sisi psikologi, menikahkan korban dan pelaku pemerkosaan adalah sebuah tragedi besar yang berujung pada siksaan mental bagi si korban pemerkosaan. Bayangkan, dipaksa menghabiskan hidup berdua bersama dengan orang yang telah menghancurkan hidupmu, di mana kebahagiaan dalam hal itu?

Opini semacam ini sempat menjadi perbincangan dulu, tetapi (sama seperti kasus-kasus viral lain) opini ini memudar dan hilang begitu saja. Hasilnya, praktik aborsi dan kekerasan rumah tangga terus merajalela.

Dua orang yang tidak ingin menikah tapi dipaksa menikah demi satu alasan yakni keberadaan bayi yang sama sekali tidak diharapkan oleh keduanya. Beberapa orang yang memiliki akal memilih menempuh jalur hukum atau aborsi, beberapa yang memiliki hati nurani memilih menikah dan melanjutkan hidup yang penuh ketidakpastian.

Konten Sensitif


Dan anehnya, dengan begitu banyak kasus pernikahan semacam ini yang berakhir gagal, praktik ini masih saja terus terjadi. Mungkin beberapa keluarga tak ingin menanggung malu sehingga mengorbankan kebahagiaan anak mereka. Mungkin juga masyarakat yang memaksa keduanya bertanggungjawab. Yang jelas, pernikahan bukanlah sesuatu yang harusnya dilakukan karena terpaksa. Banyak orang merencanakan pernikahan matang-matang dan tetap berujung gagal. Lalu, bagaimana dengan yang menikah hanya karena ingin menghindari malu?

Sekian dari saya mari bertemu di thread saya yang lainnya.
Diubah oleh ih.sul 20-03-2022 00:43
rahmajnj
scorpionz
pakisal212
pakisal212 dan 7 lainnya memberi reputasi
8
3.8K
46
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The LoungeKASKUS Official
922.8KThread82.3KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.