Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

RifanNazhifAvatar border
TS
RifanNazhif
Pena Ayah


Ilustrasi



Ibu menjawab---seakan mengeluh---ayah itu seorang penulis. Dia kemudian terdiam, sibuk melipat pakaian, menjejalkan ke dalam bakul rotan yang bolong di beberapa sisi, entah karena dimakan rayap atau digerogoti tikus.

Pakaian itu tak disetrika lagi. Kusut di sana-sini. Bagi ayah mungkin tak mengapa. Dia pekerja kamar---maksudku dia terus-terusan di kamar---bukan pekerja kantoran. Berbeda denganku, anak sekolahan. Jika seragam tak disetrika, aku akan diejek seperti tikus tercebur got oleh teman-teman.

Terlihat keringat berkilauan di pucuk hidung ibu diterpa lindap cahaya teplok. Kau mungkin berpikir di rumah kami mati listrik. Kau benar sekali!

Kutegaskan, di rumah kami tak hanya mati listrik, lebih dari itu arus listrik diputus. Setrikaan dan lampu neon di langit-langit rumah, minus tugas entah sampai kapan. Atau mereka harus pensiun dini. Dua hari lalu petugas PLN sukses melakukan pekerjaannya sebab ibu absen bayar tagihan hampir setengah tahun.

Aku menggaruk-garuk kuping mendengar jawaban ibu. Bingung cara memulai tugas mengarang dari mana. Karangan sudah terbengkalai sejak seminggu lalu. Kelang satu hari lagi tugas mengarang itu harus dikumpulkan.

Aku terbayang, Bu Fit melotot dari balik kacamata tebal berbingkai tua. Dia menahan emosi, mengetahui tugas mengarangku belum kelar. Sementara teman-teman lain tersenyum bangga. Tugas mengarang mereka telah kelar. Para ayah mempunyai pekerjaan memukau ; ada jadi dokter, polisi, tentara, pejabat koruptor---oh, tentu kata koruptor tak ada---dan bla, bla, bla yang berkilau. Sementara apa yang harus kuceritakan agar mereka silau?

Ayah memiliki pena. Tulisannya rapi dan berjalin. Berwarna biru terang. Bukan biru gelap agar kelihatan tegas di atas kertas jerami kusam. Tulisannya mirip tulisan perempuan---Bu Fit maksudku, oh bukan, Bu Bambang mungkin, atau?---kepalaku berdentam-dentam, merasa de javu pada gang buntu berbatas tembok setinggi lebih-kurang tiga meter, dihiasi jalinan kawat berduri di atasnya. Ya, begitu lekas pikiran itu hilang. Bagiku kurang bermakna. Sama tak bermakna ketika ayah mengantar tulisannya ke rental pengetikan Kusen Tembok. Lelaki berjerawat sebesar biji kacang tojin.

Kau mengira wajahnya sama dengan hasil ketikannya? Itu salah besar! Ketikannya rapi. Dia berhasil merombak tulisan pena ayah agar enak dibaca.

Ayah ngudut berbas-bus sambil menunggu ketikan itu kelar. Dia mungkin berpikir suara hingar-bingar mesin tik itu seakan gesekan biola lawas, berasal dari piringan hitam bersuara ngiat-ngiot, dan diputar lewat gramafon.

Aku kemudian sering membaca tulisan ayah di media. Ibu kontan ramah. Dapur berasap mahal. Aku bisa mengicip ikan tenggiri panggang, ayam bumbu kacang atau kecap, lebih mewah lagi udang bakar bumbu lada hitam. Ayah selalu seakan berfilsafat, rasa enak itu sebatas lidah, tidak setelah di perut. Tak beda kenyang roti keju atau roti sumbu.

Ibu menyindir perkataan itu tidak lain agar kami rela makan ala kadarnya. Ayah mesem-mesem, meski aku terka setelah sendirian dia masam-masam.

Namun itu dulu, lebih setahun lalu, sebelum ada kebijakan media bahwa setiap tulisan harus diketik komputer agar bisa diemel---maaf kalau ejaan salah---juga mempermudah pekerjaan, tinggal tempel sana-sini. Tidak harus mengetik ulang. Menutup tugas pak pos agar mereka lebih dini pensiun. Juga penghasilan ayah majal. Ibu lebih sering manyun, ditagih hutang oleh tukang kredit. Wajahnya masam ketika air pam dicabut, menyusul lebih masam ketika aliran listrik diputus. Dunia kembali ke zaman purba, itu yang diocehkannya kepada ayah yang cuek bebek.

Ayah memilih mendekam di kamar, menulis atau apalah, ketimbang meladeni repetan Ibu. Aku tiba-tiba berpikir dia adalah seekor ulat hijau yang baru menetas. Dia tetap menulis---itu tebakanku---hingga berselimut kepompong. Kelak dia akan keluar sebagai kupu-kupu indah, membuat ibu tersenyum seperti perempuan giman alias gigi mancung aka boneng. Terserah! Sayang sekali aku hanya melihat kutu busuk keluar dari kamar.

Dia ke kamar mandi karena ingin berak atau kencing kalau tak ingin dicap pikun. Buang hadas kok di celana! Bisa juga dia mau mengopi, meski akhirnya berhoak-hoek karena toples garam dikasih merk gula oleh ibu. Ayah tobat minum kopi. Dia memilih air tawar saja---maksudku air bak. Ibu takut terlalu sering menjerang air, isi tabung gas melon bolong, kosong-melompong.

***

Apa yang kutakutkan akhirnya terjadi. Tugas mengarang tak kelar. Aku merasakan betapa berat berangkat ke sekolah. Pilihan terbaik adalah bergelung selimut hingga batas senja. Kendati aku harus memilih pilihan buruk dari yang terburuk. Ketimbang mendengar Ibu merepet terus tentang nota-nota hutang, tabung gas melon kosong, listrik, air, dan seterusnya, dan seterusnya. Liang telingaku tak sanggup lagi mencerna, dan aku memilih berangkat ke sekolah berseragam kusut, bau, berwarna agak kekuningan, persis prajurit kalah perang. Ayah tak bersuara, malu serupa kukang. Mungkin wajahnya terpuruk di atas meja kerja seolah di lehernya tergantung bandul sangat berat.

“Apa?” Suara Bu Fit adalah bom. Matanya mendelik seolah kemasukan setan. Pedagang bubur kacang ijo yang sedang melintas di jalan, terdiam.

Barangkali dia merasa suara Bu Fit menggulung dan menendang suaranya. Celanaku becek. Takutku menggunung. “Kau cuma menulis judul ; Ayah Pena. Kau tahu akibatnya?” Aku membayangkan kakus bau pesing dan jorok. Hukuman terberat sepanjang masa.

Bakar menyelamatkanku. Katanya, kakus sekolah sedang diperbaiki ayahnya yang seorang tukang bangunan dadakan. Aku mengembuskan napas lega. Bu Fit kelihatan bingung, kemudian berkata lebih pelan, “Perpustakaan!” Sayup-sayup terdengar suara penjual bubur kacang ijo.

Aku terbayang tumpukan buku centang-prenang. Semua harus dirapikan! Tentunya akan melelahkan sekaligus melaparkan. Aku sadar belum sarapan. Isi tabung gas melon habis. Aku tak ingin mendengar Ibu merepet, “Bisakah memasak di kompor gas dengan kayu bakar?”

“Selesaikan tugas mengarang di perpustakaan! Ibu tunggu sebelum jam pelajaran Bahasa Indonesia habis!” Aku berjalan lesu. Tapi ini lebih baik daripada gendang telingaku pecah mendengar suaranya yang melengking.

Sepuluh menit kemudian Ibal menyusulku ke perpustakaan. Dia dihukum karena berbohong. Tugas mengarangnya harus diperbaiki.

Tanpa kuminta dia bercerita telah mengarang yang keren dan memukau. Judulnya; Ayah Seorang Chief. Dia percaya Bahasa Inggris menaikkan prestise, meskipun tidak prestasi. Chief artinya juru masak, itu aku tahu. Aku juga tahu ayahnya bekerja di warung pecel lele. Tapi bukankah ayahnya itu bertugas sebagai tukang cuci piring?

“Nah, itulah masalahnya. Bu Fit sering makan pecel lele di situ, dan kenal dekat dengan ayahku juga pekerjaannya. Bu Fit tahu aku telah berbohong,” gumamnya. Aku tersenyum. Ternyata Ayah lebih berkelas. Penulis lebih prestise ketimbang tukang cuci piring, meskipun itu belum tentu prestasi.

Tiba-tiba semangatku muncul. Karangan kukebut.
Ibal sedikit protes ketika aku mengarang proses metamorfosis ayah. Si buruk rupa yang kelak menjadi rupawan.

“Apakah kamu yakin ayahmu akan menjadi kupu-kupu rupawan? Bagaimana kalau dia menjelma ngengat?”

Aku tersadar, lalu menepuk jidat. Terbayang rumah centang- prenang. Ibu merepet panjang. Ayah terdiam serupa kukang bukan ngengat. Sekali lagi bukan ngengat!

***

Dunia terasa berwarna. Aku bagai di taman, terpukau kembang pujian yang keluar dari mulutnya. Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Akulah buah yang menitis dari gen ayah.

Bu Fit tidak sedikit pun membincangkan pekerjaan ayah yang terdengar sepele. Bahkan dia tidak menyebut pekerjaan itu tidak layak, melainkan sekadar hobi. Cuma dia begitu bangga membaca karanganku tidak monoton, memikat, begitu manis, jauh dari tema yang hanya mungkin, ya, sampah!

Dia mewujudkan pujian dengan menempelkan karanganku di majalah dinding. Betapa aku bahagia. Lebih bahagia lagi aku beroleh honor pertama berupa telur gulung goreng dari Ibal. Dia bangga bersahabat dengan seorang pujangga. Apakah itu tidak berlebihan?

Apa yang kemudian kulihat di depan mata, tentu sangat berlebihan. Aku mencoba mendustai pandangan, mungkin saja aku keliru. Tapi aku sangat mengenali baju merah jambu itu. Sendal tumit tinggi berwarna hijau, juga parfum sinyongnyong yang menyambar seperti elang. Tak salah lagi itu dia, bagai terbang di boncengan motor. Rambutnya riap-riapan seperti gelombang air. Tangan erat memeluk pinggang gemuk itu. Pinggang lelaki pemilik pena serupa ayah. Mau ke mana mereka di hari panas begini?

“Kenapa kau bengong, Jang?”

Aku memastikan hanya salah lihat. Kataku hanya salah lihat! Ibal memastikan apakah aku sehat dengan memegang keningku. Dia maklum, lalu tertawa menyabarkanku. Dia berharap aku tak risau karena dia akan meneraktirku telur gulung goreng hingga perutku meletus. Hiperbola sekali!

Tapi bayang-bayang itu terus memerangkap dan mengawalku hingga ke rumah. Aku dan Ibal berpisah di pertigaan jalan. Tidak lagi aku cerna apa yang dia bicarakan.

Pintu rumah terbuka. Aku mengintip ayah di kamar---lebih tepat ruang kerjanya---sedang tertidur. Kepalanya terkulai di atas meja. Tangannya terjuntai seakan kayu lapuk. Dia tiba-tiba tersentak seakan menyadari sesuatu. Secepatnya mengambil pena di lantai sambil bertanya apakah aku sudah makan siang. Aku menjawab dengan menggeleng, lalu menutup pintu kamar. Terdengar olehku pintu dikunci sebelum aku mencapai meja makan. Hanya ada sambal dan kecap asin sachet di bawah tudung saji. Juga dua potong roti. Aku bingung apakah sesuai mencampur sambal, kecap asin dan roti. Pilihan terakhir adalah memasukkan sepotong roti ke mulut, menelannya dengan bantuan beberapa teguk air.

Aku tertidur hingga senja. Nging-ngong nyamuklah yang membangunkanku. Jendela-pintu masih terbuka. Aku mendengar suara ibu merepet. Dia menutup pintu dan jendela, kemudian memanjangkan leher, melihatku di meja makan.

Kembali merepet karena aku masih mengenakan seragam sekolah. Lalu ada nyanyi tentang susah air, detergen mahal, listrik, tabung gas melon. Uh, telingaku hampir pecah!

Tapi mendadak suaranya melembut ketika terdengar derit pintu kamar. Wajah kuyu ayah muncul. Matanya membola melihat sesuatu di ruang tamu. Aku baru menyadari ada kotak sedang di situ. Ibu bercerita tentang komputer, Murad Pinjol---si tukang kredit itu.

Kepalaku penuh nota-nota hutang. Tercium olehku bau rokok ketika melintasi ibu. Bau rokok lelaki itu. Aku ingat sepasang insan di atas motor. Aku terpikir komputer. Terpukau melihat ayah tertawa riang. Kotak itu dipeluknya. Tiba-tiba aku mual, lebih tepatnya ingin tidur sebab kepalaku penuh.

***

Ibu bernyanyi dan menari India di depan Murad Pinjol. Bukankah itu hanya dia lakukan khusus untuk ayah, setelah dia memutuskan menikahinya dan meninggalkan panggung hiburan. Setan alas! Tubuhku bersimbah keringat. Aku bermimpi hal yang merisaukan.

Ibu meringkuk di sebelahku minus ayah. Senyumnya mengambang. Jam dinding menunjukkan pukul sepuluh malam.
Aku mencari ayah. Dia sedang menulis di kamarnya tanpa menyadari bencana yang melintang. Komputer itu menghipnotisnya. Aku masih terpikir nanyian dan goyangan ibu di hadapan Murad Pinjol. Tapi bukankah mimpi hanyalah bunga tidur? Suara penjual bakso membunuh sepi. Tiba-tiba perutku berbunyi.

(01/12/2021)

---sekian----

Diubah oleh RifanNazhif 21-02-2022 02:30
bukhorigan
zafranramon
provocator3301
provocator3301 dan 5 lainnya memberi reputasi
6
1K
7
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.5KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.