Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

anus.baswedanAvatar border
TS
anus.baswedan
Yusril Beberkan 3 Jalan Tunda Pemilu 2024 dan Perpanjang Masa Jabatan Presiden


Jakarta, Beritasatu.com - Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahandra menyebutkan tiga cara atau jalan absah dan legitimate untuk menunda Pemilu 2024. Jalan pertama dengan perubahaan atau amendemen UUD 1945. Menurut Yusril, jalan pertama ini merupakan dasar paling kuat untuk memberikan legitimasi pada penundaan Pemilu 2024 dan konsekuensinya perpanjangan sementara masa jabatan presiden dan wakil Presiden, MPR, DPR, DPD dan DPRD.

“Prosedur perubahan atau amendemen konstitusi sudah diatur dalam Pasal 37 UUD 1945, Pasal 24 sampai Pasal 32 UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD sebagaimana telah diubah, terakhir dengan UU Nomor 13 Tahun 2019, serta Peraturan Tata Tertib MPR,” ujar Yusril dalam keterangannya, Minggu (27/2/2022).

Dalam amendemen UUD 1945, kata Yusril, bukan hanya mengubah pasal-pasal UUD 1945 yang ada sekarang secara harfiah. Namun, kata Yusril, harus menambahkan pasal baru dalam UUD 1945 terkait dengan pemilihan umum khususnya Pasal 22E UUD 1945. Setidaknya, terdapat dua ketentuan yang ditambahkan dalam Pasal 22E UUD 1945.

Pertama, Pasal 22 E ayat (7) UUD 1945 yang berisi norma, "Dalam hal pelaksanaan pemilihan umum sekali dalam lima tahun sebagaimana dimaksud oleh Pasal 22E ayat (1) tidak dapat dilaksanakan karena terjadinya perang, pemberontakan, gangguan keamanan yang berdampak luas, bencana alam dan wabah penyakit yang sulit diatasi, maka Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang untuk menunda pelaksanaan Pemilu sampai batas waktu tertentu."

Kedua, Pasal 22E ayat (8) UUD 1945 yang menyebutkan, "Semua jabatan-jabatan kenegaraan yang pengisiannya dilakukan melalui pemilihan umum sebagaimana diatur dalam undang-undang dasar ini, untuk sementara waktu tetap menduduki jabatannya sebagai pejabat sementara sampai dengan dilaksanakannya pemilihan umum."

Yusril Beberkan 3 Jalan Tunda Pemilu 2024 dan Perpanjang Masa Jabatan Presiden

“Dengan penambahan dua ayat dalam Pasal 22E UUD 1945 itu, maka tidak ada istilah perpanjangan masa jabatan presiden, MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Para anggota dari lembaga negara seperti MPR, DPR, DPD tersebut berubah status menjadi anggota sementara, sebelum diganti dengan anggota-anggota hasil pemilu. Status mereka sama dengan anggota KNIP di masa awal kemerdekaan, anggota DPRS di masa Demokrasi Liberal dan anggota MPRS di masa Orde Lama dan awal Orde Baru. Kedudukan Presiden Joko Widodo dan KH Ma’ruf Amin juga menjadi Pejabat Presiden dan Pejabat Wakil Presiden, sebagaimana Pejabat Presiden Suharto di awal Orde Baru,” jelas Yusril.



Jalan kedua untuk menunda Pemilu 2024, kata Yusril, adalah Presiden Jokowi mengeluarkan dekret menunda pelaksanaan pemilu dan sekaligus memperpanjang masa jabatan semua pejabat yang menurut UUD 1945 harus diisi dengan pemilu. Dekret, kata Yusril, adalah sebuah revolusi hukum, yang keabsahannya harus dilihat secara post-factum.

Dijelaskan, revolusi yang berhasil dan mendapat dukungan mayoritas rakyat, kata Professor Ivor Jennings, menciptakan hukum yang sah. Namun, sebaliknya revolusi yang gagal, menyebabkan tindakan revolusi hukum sebagai tindakan ilegal dan melawan hukum. Pelaku revolusi yang gagal bisa diadili oleh pengadilan dengan dakwaan makar (kudeta) atau pengkhianatan terhadap bangsa dan negara, atau dipecat dari jabatannya oleh lembaga yang berwenang.

“Masalahnya apakah Presiden Jokowi punya nyali untuk mengeluarkan dekrit, sebagaimana Bung Karno keluarkan dekrit membubarkan Konstituante dan memberlakukan kembali UUD 1945? Dekrit Presiden 5 Juli 1959 itu bukanlah tindakan yang didasarkan kepada dalil staatsnoodrechts (keadaan darurat negara) atau noodstaatsrechts (hukum tata negara dalam keadaan darurat) sebagaimana didalilkan oleh Prof Mr Djokosutono dan Prof Mr Notonegoro karena tidak cukup alasan untuk menyatakan adanya faktor itu,” ungkap dia.

Menurut Yusril, dekret 5 Juli 1959 adalah sebuah revolusi hukum yang berhasil berkat politik cipta kondisi yang kala itu diorganisir oleh Kepala Staf Angkatan Perang Jenderal AH Nasution yang lebih dulu menyatakan SOB (Staat van Oorlog en Beleg) atau negara dalam keadaan bahaya, serta dukungan partai-partai politik terutama PNI dan PKI. Saat itu, kata dia, revolusi hukum tidak mungkin akan berhasil tanpa dukungan militer.

Yusril menceritakan, Presiden Gus Dur juga pernah mencoba melakukan revolusi hukum dengan mengeluarkan dekret membubarkan DPR dan MPR hasil Pemilu 1999. Sebelum niat itu dilaksanakan, Yusril yang saat itu menjabat Menteri Kehakiman dan HAM mengaku sudah memberikan tausiyah kepada Presiden Gus Dur resmi dalam sidang kabinet tanggal 6 Februari 2001.

BACA JUGA

Cak Imin Klaim Wacana Penundaan Pemilu 2024 hingga 1-2 Tahun Mendominasi Dunia Maya

Inti tausiyah Yusril tersebut adalah dekrit membubarkan DPR dan MPR itu adalah tindakan inkonstitusional yang sangat berisiko landasan sosiologis, politis dan konstitusional sebagaimana situasi saat Bung Karno terbitkan dekret 5 Juli 1959. Untuk itu, Yusril menyarankan Gus Dur mengundurkan diri karena pada waktu itu DPR sudah mengeluarkan memorandum I kepada Presiden. Sayangnya, kata Yusril, tausiyahnya disambut Gus Dur dengan kemarahan sehingga tanggal 7 Februari 2001, dirinya diberhentikan sebagai Menteri Kehakiman dan HAM dan digantikan oleh Baharudin Lopa.

“Lopa bersedia mewakili Presiden menjawab memorandum I dan II di MPR, suatu tugas yang sebelumnya saya tolak untuk melaksanakannya. Dekrit akhirnya diteken oleh Presiden Gus Dur tanggal 23 Juli 2001 yang mendapat dukungan begitu banyak dari kalangan aktivis, akademisi dan tokoh-tokoh LSM yang berbondong-bondong datang ke Istana. Namun karena sebagai sebuah tindakan revolusi hukum yang tidak matang, MPR segera bersidang dan menjawab dekrit Presiden sebagai pelanggaran terhadap konstitusi dan haluan negara. Maka, Presiden Gus Dur diberhentikan dari jabatannya,” papar Yusril.

Yusril menduga Presiden Jokowi tidak akan memilih cara mengeluarkan dekret menunda pemilu dan memperpanjang masa jabatan semua penyelenggara negara termasuk dirinya, yang menurut UUD 1945 harus diisi melalui pemilu. Menurut Yusril, risiko politiknya terlalu besar dan akan menjadi bumerang bagi Presiden Jokowi karena tindakan revolusioner itu jauh daripada matang serta TNI dan Polri juga belum tentu akan mendukungnya.

“Presiden Joko Widodo sendiri mengatakan kepada saya bahwa beliau tidak berkeinginan memegang jabatan tiga periode karena tidak punya landasan konstitusional dan bertentangan dengan cita-cita reformasi. Apakah apa yang dikatakan Presiden Joko Widodo itu adalah sesuatu yang keluar dari hati nuraninya atau kah hanya sekedar ucapan basa-basi saja, saya tidak tahu. Sebagai manusia, saya hanya memahami yang zahir, dalam makna, itulah kata-kata yang beliau ucapkan dan saya pahami. Sesuatu yang batin di balik yang zahir itu, semuanya berada di luar jangkauan saya untuk memastikannya,” kata Yusril.

Jalan ketiga untuk menunda pemilu dan memperpanjang masa jabatan para penyelenggara negara, lanjut Yusril adalah dengan menciptakan konvensi ketatanegaraan atau constitutional convention. Dalam konteks ini, kata Yusril, pasal-pasal dalam UUD 1945 yang mengatakan pemilu dan masa jabatan DPR, DPD, presiden dan wakil presiden serta DPRD tidak diubah sama sekali, tetapi dalam praktiknya pemilu dilaksanakan misalnya tujuh tahun sekali sehingga sehingga masa jabatan presiden dan wakil presiden, anggota DPR, DPD dan DPRD dan dengan sendirinya MPR, dalam praktiknya juga dilaksanakan selama tujuh tahun.

“Praktik penyelenggaraan negara yang beda dengan apa yang diatur dalam konstitusi itu dalam sejarah ketatanegaraan kita, hanya dilakukan dengan pengumuman pemerintah, yakni Maklumat Wakil Presiden Nomor X tanggal 16 Oktober 45. Arsitek perubahan itu adalah Sutan Sjahrir. Pertimbangannya adalah, menurut Sjahrir, Sukarno-Hatta adalah ‘kolaborator Jepang’ yang sulit untuk diterima kehadirannya oleh Sekutu, dan juga Belanda. Kita harus berunding dan berdiplomasi dalam mempertahankan kemerdekaan, karena perlawanan bersenjata, menurut perhitungan Sjahrir, tidak cukup kuat untuk mengalahkan Belanda,” ungkap Yusril.

BACA JUGA
Setelah Cak Imin, Ketum PAN dan Ketum Golkar Juga Minta Pemilu Ditunda

Dijelaskan, dengan Maklumat Nomor X itu banyak hal yang berubah, di antaranya sistem presidensial berubah menjadi parlementer; Sukarno Hatta hanya berkedudukan sebagai Kepala Negara dan Wakilnya, sementara kekuasaan pemerintahan ada di tangan Perdana Menteri yang dijabat Sjahrir; serta KNIP yang semula hanya lembaga yang membantu presiden, berubah menjadi parlemen tempat Perdana Menteri bertanggung jawab. Mengutip pendapat Prof Dr Ismail Suny, kata Yusril, perubahan dalam praktik tersebut terjadi karena konvensi ketatanegaraan yang dalam praktik diterima, tanpa ada yang menentang.

“Akibat situasi perang kemerdekaan, pemilu pertama yang direncanakan akan dilaksanakan tanggal 1 Februari 1946 untuk membentuk DPR dan MPR, menetapkan UUD tetap dan memilih presiden dan wakil presiden tidak dapat dilaksanakan. UUD 1945 yang menurut ketentuan dua ayat dalam Aturan Tambahan hanya akan berlaku selama dua kali enam bulan, akhirnya berlaku terus sampai digantikan dengan Konstitusi RIS pada tanggal 27 Desember 1949. Semua itu terjadi melalui konvensi ketatanegaraan. Teks UUD 1945-nya sepatah kata pun tidak diubah, tetapi praktik penyelenggaraan negaranya sudah berbeda jauh dengan apa yang secara normatif diatur di dalam UUD tersebut. Namun praktik itu diterima tanpa banyak masalah. Seperti telah saya telah saya katakan, tidak ada pihak yang membawa masalah itu ke pengadilan untuk menilai apakah tindakan yang menyimpang dari UUD 1945 itu sah atau tidak,” terang dia.

BACA JUGA

Golkar Kaji Serius Perpanjangan Masa Jabatan Presiden Jokowi

Yusril menegaskan, sekarang zaman sudah berubah dan rakyat sudah lebih paham bagaimana penyelenggaraan negara dibanding zaman revolusi tahun 1945-1949. Selain itu, kata dia, ahli-ahli tambah banyak, media sosial membuka peluang bagi siapa saja untuk mengkritik, dan ada Mahkamah Konstitusi yang bisa menguji undang-undang dan mengadili sengketa kewenangan antar lembaga negara.

“Jadi, konvensi ketatanegaraan tentang penundaan Pemilu sulit diciptakan, apalagi orang awam dengan mudah akan menganggap ada ‘penyelewengan’ terhadap UUD 1945. Presiden Jokowi tentu tidak dalam posisi untuk dapat menciptakan konvensi ketatanegaraan sebagaimana digagas Sjahrir dan dilaksanakan Wapres Mohammad Hatta tahun 1945 itu,” kata Yusril.

https://www.beritasatu.com/amp/polit...batan-presiden
pilotugal2an541
newsketanggunga
muhamad.hanif.2
muhamad.hanif.2 dan 3 lainnya memberi reputasi
2
1.7K
11
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
671.9KThread41.7KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.