Kaskus

Entertainment

Pengaturan

Mode Malambeta
Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

NegaraTerbaruAvatar border
TS
NegaraTerbaru
Khalid dan Amirah, Korban Supremasi Mayoritas di Indonesia
Spoiler for Ustaz Khalid Basalamah:


Spoiler for Video:


“Agama melarang adanya perpecahan, bukan perbedaan” – Gus Dur

Suatu kali di era Rasulullah Muhammad SAW, para sahabat pernah berbeda pendapat tentang makna sabda Nabi: “Janganlah sesseorang melakukan salat asar kecuali di Bani Quraidhah.”

Sebagian sahabat tetap menjalankan salat asar pada waktunya, meski mereka belum sampai tujuan. Kelompok ini memaknai hadis di atas sebagai perintah untuk mempercepat perjalanan menuju Bani Quraidhah dan bukan sebagai keringanan melakukan salat di luar waktu yang telah ditentukan.

Sementara sebagian lain menjalankan salat asar setelah tiba di tujuan sesuai makna harfiah hadis.

Perbedaan pendapat ini lantas tidak dibalas Rasulullah dengan mencaci salah satu dari kedua pendapat. Artinya Rasulullah membenarkan keduanya.

Setelah Rasulullah wafat, bibit-bibit perbedaan pendapat mulai tumbuh dan berkembang. Menurut Taha Jabir al-Alwani dalam kitab Adabul ikhtilaf fil Islam, perbedaan pendapat setelah Rasulullah wafat dimulai dari benar atau tidaknya berita Rasulullah meninggal. Hingga kemudian timbul pula perbedaan tentang siapakah khilafah penggantinya.

Perbedaan pendapat itu semakin melebar pada periode Tabiin dan mencapai puncaknya pada era imam mazhab.

Mungkin saja itulah yang menjadi dasar dari ucapan Presiden RI ke-4 Gus Dur soal perbedaan. Seorang ulama mazhab Syafii bernama Muhammad bin Abdul Rahman al-Dimasyqi menegaskan dalam kitab Rahmatul Ummah fi Ikhtilafil Aimmah bahwa perbedaan pendapat di kalangan ulama merupakan rahmat. Sebab mereka telah melakukan ijtihad dengan mengerahkan seluruh daya intelektual dan spiritual guna mencari kebenaran.

Sumber : Tirto[Beda Pendapat dalam Islam adalah Wajar & Sudah Ada sejak Zaman Nabi]

Akan tetapi, perbedaan pendapat yang seharunya menjadi rahmat tersebut kini berubah menjadi cacian, makian, paksaan, hingga terseret ke persoalan hukum.

Contohnya dapat kita lihat pada persoalan ‘wayang haram’ yang menyeret-nyeret Ustaz Khalid Basalamah ke ranah hukum oleh salah seorang artis yang bernama Sandy Tumiwa. Ceramah Basalamah yang disebut-sebut ‘mengharamkan’ wayang itu awalnya beredar di YouTube sampai akhirnya viral, lalu ramai diberitakan.

Terkait hal itu, Basalamah kemudian mengunggah video guna mengklarifikasi dan meminta maaf pada 14 Februari 2022. Dalam video klarifikasinya, Basalamah menyebut ceramah yang ia sampaikan di salah satu masjid di kawasan Jakarta Selatan itu beredar sepotong-potong.

Basalamah menjelaskan bahwa penjelasannya tentang wayang merupakan jawaban dari pertanyaan jemaah. "Pertama adalah, lingkupnya adalah pengajian kami dan jawaban seorang dai muslim kepada penanya muslim. Itu dulu batasannya," sebutnya.

Basalamah mengaku hanya memberikan saran saat ditanya jemaah soal wayang. Basalamah pun mengaku tak menyatakan wayang itu haram. "Saya, pada ada saat ditanyakan masalah wayang, saya mengatakan alangkah baiknya dan kami sarankan, kami sarankan agar menjadikan Islam sebagai tradisi, jangan menjadikan tradisi sebagai Islam, dan tidak ada kata-kata saya di situ mengharamkan," katanya.

Basalamah juga menjelaskan soal pernyataan ‘jangan menjadikan tradisi sebagai Islam’. Maksud Basalamah, ketika suatu tradisi sejalan dengan Islam tak jadi masalah. Tapi jika sebaliknya, dia menyarankan agar meninggalkan tradisi dimaksud.

Selain itu, Basalamah memaparkan soal potongan video viral soal pernyataan memusnahkan wayang. Menurutnya, pernyataan itu adalah saran untuk dalang yang sudah melakukan tobat. "Jadi, kalau ada orang yang memang tobat, misalnya di sini dia seorang dalang, kalau dia sudah tobat dan tidak mau lagi melakukan itu, maka mau diapakan wayang-wayang ini? Untuk dia secara individu dimusnahkan, sebatas itu," ujar Basalamah.

Basalamah menegaskan tak punya niat menghapus wayang dari seluruh Indonesia. Dia juga menyatakan tak pernah berpikir untuk menyuruh para dalang bertobat. Seandainya dalang itu mau melakukannya, itu haknya.

Basalamah lantas meminta maaf apabila ada suatu perbuatan yang menyinggung orang lain.

Sumber : Detik [Pinta Maaf Khalid Basalamah Usai Ceramah 'Wayang Haram' Jadi Masalah]

Tapi lucunya selain diseret-seret ke ranah hukum oleh Sandy Tumiwa, perbedaan pendapat Khalid Basalamah juga dimaknai kelompok BuzzeRp sebagai upaya untuk memusnahkan budaya lokal. Seperti yang diutarakan Eko Kunthadi yang menyebut penceramah aliran wahabi seperti Khalid kerap mengharamkan sesuatu termasuk budaya lokal.

“Penceramah-penceramah Wahabi ini selalu saja menyudutkan budaya lokal,” kata Eko Kuntadi di Twitter, Sabtu 12 Februari 2022

Sumber : Fajar [Ustad Khalid Basalamah Sebut Wayang Haram, Eko Kuntadhi: Penceramah Wahabi Ini Selalu Saja Menyudutkan Budaya Lokal]

Soal perbedaan pendapat yang dibesar-besarkan seperti ini pun mengingatkan kita kembali pada haramnya permainan catur yang menjadi viral dalam ceramah Ustaz Abdul Somad (UAS) yang diunggah oleh kanal YouTube Teman Ngaji pada 26 Juli 2017.

Dalam video tersebut, UAS menanggapi sebuah pertanyaan tertulis dari salah satu jemaah yang menyebutkan bahwa dadu dan catur haram. Menurutnya Mazhab Hanafi mengharamkan dadu dan catur. Alasannya, pertama karena bisa melalaikan salat. Yang kedua, menghilangkan waktu.

Jika kita mengulik dari pendapat tiga imam, yaitu Abu Hanifah (Mazhab Hanafi), Imam Malik (Mazhab Maliki), dan Imam Ahmad bin Hambal (Mazhab Hambali), maka mereka menyatakan catur itu haram.

Sedangkan Mazhab Syafii menyatakan bahwa permainan catur bersifat mubah (ketika mengerjakan tidak diberi ganjaran). Tetapi, dapat menjadi haram karena unsur lain, seperti melalaikan kewajiban sebagai muslim atau menyertainya dengan hal yang diharamkan seperti judi, taruhan, dan lain-lain.

Sumber : Kumparan [UAS Pernah Sebut Catur Haram, Bagaimana dengan Pandangan Islam?]

Lalu ada pula perbedaan pandangan ulama soal musik. Sejumlah ulama seperti Qadi Abu Tayyib al-Tabari, Syafii, Malik, Abu Hanifah, Sufyan dan lainnya menyatakan bahwa musik hukumnya haram.

Adapun pendapat ulama yang memperbolehkan mendengarkan musik datang dari Abu Thalib al-Makki. Menurut Abu Thalib, para sahabat Nabi SAW, seperti Abdullah bin Ja’far, Abdullah bin Zubair, Mughirah bin Syu’bah, Muawiyah dan sahabat nabi lainnya suka mendengarkan musik. Menurutnya, mendengarkan musik atau nyanyian hampir sudah menjadi tradisi dikalangan ulama salaf ataupun para tabi’in.

Menurut Imam al-Ghazali, baik Alquran maupun Hadis tidak satupun secara vulgar menghukumi musik. Memang, ada sebuah hadis yang menyebutkan larangan menggunakan alat musik tertentu, semisal seruling dan gitar. Namun, larangan tersebut tidak ditujukan pada alat musiknya (seruling atau gitar), melainkan karena sesuatu yang lain. Sebab di awal-awal Islam, kedua alat musik tersebut lebih dekat dimainkan di tempat-tempat maksiat, sebagai musik pengiring pesta minuman keras.

Orang Islam tidak boleh meniru gaya hidup seperti itu. Nabi SAW sudah mewanti-wanti dengan mengatakan: “Man tsyabbaha baiqaumin fahuwa minhum” (barangsiapa meniru gaya hidup suatu kaum maka ia termasuk bagian dari kaum itu). Di samping itu, musik juga dianggap membuat lalai “mengingat Tuhan”, menggoda kita berbuat kemaksiatan, bertolak-belakan dengan prinsip ketakwaan, dan lain-lain.

Penilaian akan haramnya musik seperti itu mayoritas muncul dari ulama-ulama fiqh yang lebih menitik beratkan pada aspek legal-formal. Berbeda dengan ulama tasawuf yang “tidak terlalu terganggu” bahkan banyak menggunakan musik sebagai media untuk “mendekatkan diri kepada Tuhan”. Contohnya musik pengiring tarian mawlawiyyah yang sering dimainkan sufi besar Jalaluddin Rumi.

Sumber : NU [Pandangan Ulama Terhadap Seni Musik]

Berdasarkan contoh-contoh di atas, maka kita dapat membandingkan perbedaan pandangan alias keragaman terhadap tiga kasus yang seharusnya tidak menjadi persoalan. Pertama, soal catur. Kedua, soal musik. Ketiga, soal wayang.

Seandainya ada pihak yang menyatakan pendapat bahwa catur itu tidak diperbolehkan, maka itu sah-sah saja selama dia tidak memaksa orang lain tidak bermain catur.

Seandainya ada ulama yang menyatakan tidak memperbolehkan musik dan ada pula yang memperbolehkannya lalu mereka saling mengutarakan pendapatnya dalam suatu forum itu pun tak jadi masalah. Hal yang tidak boleh adalah seandainya dalam sebuah pesantren seorang kyai memaksakan agar santrinya tidak mendengarkan musik sementara santri tersebut sedang tidak melakukan kegiatan menghafal Alquran atau pun kegiatan lain yang bersangkutan dengan pendidikannya.

Seandainya ada yang memiliki pandangan bahwa wayang dilarang tapi ia tidak memaksakan pandangannya maka itu pun juga seharusnya tidak menjadi masalah.

Inilah yang kita sebut dengan toleransi di Indonesia yang mengutamakan keragaman.

Namun suatu pihak dapat kita sebut sebagai intoleran dan menjadi racun bagi keragaman di negeri ini adalah mereka yang memaksakan kehendak atas pandangannya. Seandainya mereka yang mengharamkan catur memaksa orang lain untuk mengikuti sikapnya yang mengharamkan catur maka inilah yang disebut intoleransi anti keragaman. Begitu pula dengan mereka yang memaksa untuk mengharamkan musik kepada orang lain atau memaksa agar pendapatnya soal tidak bolehnya wayang di Indonesia bersalah secara hukum.

Perbedaan pandangan sah-sah saja. Intoleransi justru terjadi ketika ada satu pihak yang memaksakan pendapatnya ke orang lain.

Apakah UAS memaksa agar orang Indonesia tidak boleh memainkan catur? Tidak. Ia hanya memiliki pandangannya tersendiri soal catur. Diikuti atau tidak, terserah yang mendengarkan.

Apakah ulama memaksa agar musik dilarang? Tidak. Tapi jika ia memaksakan agar santrinya tidak mendengarkan musik padahal saat itu sedang di luar waktu pembelajaran pesantren, maka inilah yang menjadi masalah. Apakah Khalid Basalamah memaksa agar orang Indonesia meninggalkan wayang? Tidak.

Realita yang terjadi justru kebalikannya. UAS dicecar soal catur. Keingingan untuk tidak mendengarkan musik dianggap radikal pro khilafah ataupun keinginan untuk mendengarkan musik dianggap tidak patuh terhadap kyai.

Lalu pendapat berbeda soal wayang malah dipolisikan oleh pihak yang mengaku pro keragaman. Justru yang seperti ini yang melanggar tatanan toleransi keragaman Indonesia. Hal yang dipertontonkan oleh kelompok “pro keragaman” adalah memaksakan keragaman versi mereka alias menginginkan semua pihak berkostum seperti mereka. Di mana letak keragaman jika begitu ceritanya?

Lalu contoh terakhir adalah soal Twitter Amirah Fadhlina yang mendadak ramai diserbu warganet soal cuitannya yang mengomentari pemakaman Dorce Gamalama. Dalam unggahannya, Amirah Fadhlina tampak tak setuju Dorce dimakamkan sebagai seorang laki-laki.

Sebab menurutnya, hal tersebut tidaklah manusiawi, mengingat Dorce sempat mengucapkan keinginannya untuk dimakamakan sebagai perempuan. Dalam unggahannya Amirah Fadhlina mengaku memiliki gelar S2 Islam dari Harvard, yang juga ikut menjadi trending topik.

Netizenpun ramai dan ikut berkomentar tentang isi cuitan dari Amirah. Ada yang setuju dan ada pula yang meminta agar pemilik akun tersebut tidak terlalu mencampuri urusan orang lain. Terutama oleh kelompok NU dan 212.

Sumber : VOI [Tagar S2 Islam Jadi Trending: Dipicu Twit Soal Pemakaman Dorce Gamalama]

Tahukah anda apakah kesamaan antara posisi Khalid Basalamah dan Amirah Fadhlina yang dianggap melakukan penafsiran sendiri terhadap Alquran, yang dituding berlawanan dengan pandangan yang dipahami oleh mayoritas umat Islam Indonesia? Yakni Baik Khalid dan Amirah berposisi sebagai minoritas terhadap pandangan yang dipahami mayoritas.

Coba kita semua bayangkan, di negara yang menjadikan wayang sebagai salah satu kebudayaan penting ternyata ada seorang Khalid yang memiliki pendapat tidak menyetujui adanya wayang. Tapi apakah dia menghancurkan wayang? Tidak. Ia malah dicerca karena pendapatnya semata.

Begitu juga dengan Amirah. Di negara yang mayoritas penduduknya muslim, ia memiliki pandangan tersendiri yang jauh berbeda dari mayoritas muslim kebanyakan soal tata cara penguburan Dorce Gamalama. Dia bahkan tidak memaksa agar Dorce harus dikuburkan secara perempuan. Ia hanya mengutarakan pandangannya dari sisi HAM keinginan mendiang Dorce. Tapi apa yang terjadi? Dicerca hanya karena pemikirannya berbeda oleh kelompok NU dan 212.

Oleh karena itu, jika cara penafsiran Khalid Basalamah salah secara agama maupun hukum, karena ia melakukan penafsiran yang berbeda dengan mayoritas muslim di Indonesia, maka cara penafsiran Amirah Fadhlina pun salah secara agama maupun hukum karena berbeda pandangan pula dengan mayoritas umat muslim di Indonesia.

Seandainya pada akhirnya persoalan Khalid Basalamah masuk ke dalam ranah hukum, maka akan ada pula celah kriminalisasi bagi Amirah Fadhlina bukan?

Seandainya hanya Khalid yang diproses, bukankah ini menunjukkan inkonsistensi sikap terhadap keragaman di Indonesia?

Keragaman dan toleransi di Indonesia menjadi tak hanya sekedar slogan ketika tidak ada proses hukum terhadap keduanya. Perbedaan pandangan seharusnya menjadi khazanah bagi keragaman di Indonesia, bukan memaksakan toleransi atas kaca mata kelompok mayoritas yang sejatinya hanyalah bentuk dari intoleransi.

Agama tidak pernah melarang perbedaan karena perbedaan adalah rahmat.
Diubah oleh NegaraTerbaru 22-02-2022 08:54
hendrixakbar
PapinZ
alanreihan
alanreihan dan 5 lainnya memberi reputasi
6
1.5K
10
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The Lounge
KASKUS Official
924.4KThread88.2KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Ikuti KASKUS di
© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.