pilotugal2an541Avatar border
TS
pilotugal2an541
Nasib Normalisasi Sungai di Era Anies yang Mandek, Berubah Jadi Gerebek Lumpur
Nasib Normalisasi Sungai di Era Anies yang Mandek, Berubah Jadi Gerebek Lumpur

Kompas.com, 2 Februari 2022, 10:38 WIB

KRISTIANTO PURNOMO

JAKARTA, KOMPAS.com - Normalisasi sungai bukan proyek baru dikerjakan rembuk antara pemerintah pusat dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta.

Namun, program penanganan banjir itu juga masih belum rampung di era Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Tidak jelas apakah akan dikerjakan atau diganti dengan program lainnya.

Proyek normalisasi, khususnya Sungai Ciliwung, memiliki latar belakang dari peristiwa Jakarta terendam banjir pada 2012.

Saat itu, Gubernur DKI yang masih dipimpin Fauzi Bowo menilai perlunya penambahan kapasitas angkut aliran sungai agar air tak meluber ke tempat lain

Program normalisasi Ciliwung dikerjakan oleh Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (BBWSCC) Kementerian PUPR dan Pemprov DKI Jakarta.

Setelah ide datang dari Fauzi Bowo, normalisasi Sungai Ciliwung mulai dikerjakan di era kepemimpinan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo dan dilanjutkan oleh wakilnya Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang diangkat menjadi Gubernur DKI sejak 2014.

Target normalisasi Sungai Ciliwung mencapai 33 kilometer yang terbentang dari Jembatan Jalan TB Simatupang hingga Pintu Air Manggarai. Proyek ini sudah dikerjakan sepanjang 16 kilometer sampai era Ahok.

Proyek tersebut kini mandek, tak dikerjakan, terbengkalai, dan digantikan program-program penanganan banjir lainnya oleh Anies Baswedan.

Mandeknya pengerjaan proyek normalisasi tersebut sempat dikatakan Kepala BBWSCC pada November 2019 yang saat itu dijabat oleh Bambang Hidayat.

Dia menyebukan, proyek normalisasi Ciliwung mulai terhenti pada 2018 karena minimnya pembebasan lahan yang jadi tugas Pemprov DKI Jakarta.

"Kalau (pembebasan lahan) masih sedikit kan tanggung. Jadi, biar nanti saja kalau sudah banyak," kata dia.

Mandek hingga kini

Program yang digadang-gadang mampu menuntaskan banjir Jakarta itu tak kunjung berlanjut. Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta Ida Mahmudah yang membidangi pembangunan Jakarta pun mempertanyakan keseriusan Pemprov DKI Jakarta.

Bukan tanpa alasan, Komisi D berkali-kali meloloskan anggaran untuk pembebasan lahan normalisasi. Hanya saja, eksekutif tak berhasil mengerjakan.

Anggaran APBD 2021 senilai Rp 1 triliun untuk pembebasan lahan akhirnya harus dikembalikan karena proyek tidak terlaksana.

"Pemprov yang dulu bisa kok di tempat yang rawan yang kata orang enggak bisa dibongkar," ucap Ida, Desember 2021.

Salahkan curah hujan, tapi enggan kerjakan normalisasi

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sering kali melontarkan pernyataan bahwa peristiwa banjir Jakarta disebabkan oleh curah hujan yang tinggi dan kapasitas drainase yang kecil.

Terakhir, pada 19 Januari 2022, Anies menyebut banjir Jakarta disebabkan oleh curah hujan tinggi di atas 150 milimeter.

Dia mengatakan, wajar terjadi banjir karena kapasitas drainase Jakarta berkisar antara 50-100 milimeter.

"Curah hujan di atas 150 mm adalah kondisi ekstrem, kapasitas drainase di Jakarta berkisar antara 50-100 mm. Bila terjadi hujan di atas 100 mm per hari, pasti akan terjadi genangan banjir di Jakarta," ucap Anies.

Pernyataan Anies seringkali jadi sorotan pengamat tata kota Universitas Trisakti Yayat Supriyatna. Dia menilai, cara Anies yang menargetkan banjir Jakarta tetap terjadi jika hujan ekstrem adalah salah.

Jakarta memiliki peluang untuk menghindari banjir tersebut bila drainase di tengah-tengah Ibu Kota bisa diperluas kapasitasnya.

"Tinggal hitung saja, sekarang kita ketahui curah hujannya curah hujan ekstrem, (sedangkan) kita tahu bahwa kapasitas tata air dan drainase kita (hanya menampung curah hujan normal). Ya jelaslah air itu akan melimpas ke mana-mana," ucap Yayat.

Dia menginginkan Anies serius menangani banjir Jakarta dan tidak lagi menyalahkan hujan ekstrem.

Saat ini yang harus dilakukan Jakarta, ucap Yayat, bukan menyalahkan air hujan turun terlalu banyak, melainkan mengerjakan antisipasi agar air hujan yang terlalu banyak itu bisa tidak melimpas.

"Contoh di pemukiman yang hampir sepertiga kawasan kumuh padat. Lihat struktur rumah dan drainasenya, begitu hujan air melimpas ke jalanan dan di gang-gangnya, akhirnya jalan-jalan (berubah) jadi sungai," kata Yayat.

Sekretaris Dinas SDA DKI Jakarta Dudi Gardesi mengatakan,upaya yang saat ini dijalankan Pemprov DKI seperti gerebek lumpur hingga pembuatan waduk memiliki esensi yang sama dengan normalisasi.

Dia tak ingin ada pembeda dari istilah gerebek lumpur, normalisasi, hingga naturalisasi.


sumber

kagak usah baca semuanya, baca yg gw tebelin aj🤭
cor7
sorken
aldonistic
aldonistic dan 18 lainnya memberi reputasi
19
2.1K
47
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
670.2KThread40.4KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.