Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

diyan96Avatar border
TS
diyan96
10 Meter
Quote:


10 Meter

>>Part1Perjanjian Masa Kecil

Senin pagi di tahun 2004, gue tengah duduk menyantap sarapan nasi goreng telur mata sapi buatan nyokap, sambil nonton TV di ruang tengah.

"Indra! Berangkat bareng yuk!" Teriakan seorang bocah cewek menghentikan sesaat aktivitas makan pagi gue.

"Yak bentar!" ujar gue membalas teriakan tadi, dan buru-buru menyelesaikan sarapan gue saat itu. Bahkan sarapan gue masih sisa separuh karena tidak ingin teman baik gue menunggu lama.

"Buruan ayok!" tegur bocah cewek yang sedang berdiri di depan rumah gue ketika melihat gue nongol di pintu depan. Cewek yang tengah menunggu itu adalah Retta, dia seorang cewek tomboy tetangga gue. Dia sudah jadi teman main gue sejak gue masih balita. Wajar saja karena memang rumah kami hanya berjarak sepuluh meter.

"Kamu nggak sama ibu kamu?" tanya gue sambil memakai sepatu nike warna hitam yang sudah di sediakan di dekat pintu oleh nyokap.

"Bapak sama ibu aku harus kerja, jadi nggak bisa nganter," jawab Retta, alasan yang sama yang dikatakan nyokap bokap gue saat gue meminta diantar oleh mereka. Kedua orang tua gue seorang guru SMP. Nyokap mengajar di SMP1 bokap di SMP3, bagaimana mereka bisa bertemu? Gue juga nggak tau. Yang jelas arah sekolah SMP dan SD itu berlawanan. Itulah mengapa mereka nggak bisa antar gue di hari pertama gue masuk sekolah.

Retta duduk di teras beranda menunggu gue selesai pakai sepatu.

"Mah! Aku berangkat!" ujar gue usai sepatu terpasang dengan rapih, nggak berapa lama nyokap keluar rumah dengan seragam coklatnya, lalu gue mencium punggung telapak tangan nyokap gue.

"Hati-hati kalau mau nyebrang tengok kanan kiri dulu!" ucap nyokap gue yang gue balas dengan anggukan.

"Ayok!" ajak gue semangat, dan kami pun berangkat bersama.

Hari itu, hari pertama gue dan Retta masuk SD. Dan gue jalani itu, seperti kebanyakan bocah lainnya. Mungkin yang berbeda adanya Retta di samping gue. Apapun yang gue lakukan, selalu ada dia di dekat gue. Rasanya memang hari-hari gue selalu dekat dengan dia, aneh aja kalau nggak ada dia. Bukan hanya di sekolah, sebelum sekolah pun kami selalu main bersama.

Hal unik dari Retta adalah, meskipun dia cewek, dia bisa diajak main apa aja, main bola, main kelereng, pokoknya apa aja kalau gue yang ngajak pasti dia mau. Selain itu, bukan cuma gayanya saja yang tomboy, tapi kepribadiannya pun membuat gue kadang merasa dia teman cowok. Bayangin aja, Retta nggak segan-segan ngajak berantem saat ada yang bully gue, meskipun yang bully bocah laki-laki.

Nggak bisa di pungkiri kenyataan nya gue memang nggak seberani dia. Di masa itu bisa dibilang gue seorang bocah cupu (dulu gue sering diejek anak mama), yang cuma bisa bersembunyi di belakang seorang cewek.


*****


Lima tahun berlalu, kelas 1, 2, 3, 4, dan 5, bisa dibilang gue jalani dengan normal seperti kebanyakan bocah SD. Tidak ada hal menarik yang bisa gue ceritakan di saat-saat itu, selain gue yang selalu di lindungi Retta. Sampailah di tahun 2009 di masa-masa gue dan Retta sebentar lagi akan lulus SD. Ketika itu hanya tinggal sebulan lagi untuk merayakan kelulusan.

Suatu waktu, murid kelas enam di beri tugas rumah, untuk mengisi sebuah kertas yang di berikan oleh wali kelas. Dalam kertas itu berisi pertanyaan-pertanyaan tentang rencana ke depan dan cita-cita.

"Dra, punya kamu udah di isi?" tanya Retta melirik gue. Saat itu gue dan Retta sedang selonjoran di ruang tengah rumah gue, sambil memikirkan apa yang akan kita tulis untuk mengisi kertas yang di berikan Bu Ima (nama wali kelas gue saat kelas enam) di sekolah tadi.

Gue menatap selembar kertas itu sambil menggelengkan kepala, menandakan gue pun masih bingung, apa yang akan gue tulis di kertas itu.

Retta bangkit lalu mengeluarkan buku gambar dan krayon dari tas sekolah yang ia bawa.

"Kita gambar aja apa yang kita mau kalau udah dewasa nanti," kata Retta, tangannya yang memegang pensil mulai menari di atas selembar buku gambar.

"Emang kamu mau gambar apa?" Gue mendekatkan kepala ke arah Retta. Dengan cepat Retta menutupi buku gambarnya.

"Kamu gambar sendiri cita-cita kamu, kalau udah selesai, nanti kita tunjukin bareng-bareng!" hardik Retta.

Gue menjauh dari Retta mencoba menggambar cita-cita seperti apa yang Retta katakan. Sejujurnya saat itu gue nggak kepikiran ingin jadi apa gue nanti. Gue punya oranga tua yang sayang ama gue, punya teman seperti Retta yang selalu lindungi gue, lantas apalagi yang gue inginkan? Pikir gue saat itu.

Beberapa menit gue berpikir, terbesitlah untuk menggambar seorang pembalap. Meskipun gambar gue emang nggak ada bagusnya, tapi bisa dipastikan saat ada yang melihatnya mereka pasti akan langsung berpikir kalau gambar yang gue buat adalah seorang pembalap motogp terkenal.

"Itu gambar apa?" tanya Retta, melirik buku gambar gue.

"Rossi," ucap gue yang masih berkutat dengan gambar yang gue buat.

"Kamu pengen jadi pembalap?" Retta kembali bertanya.

Gue berhenti menggambar dan menempelkan pensil di dagu sambil melihat ke atas, seolah sedang berpikir. "Nggak juga sih, cuma keliatan keren aja kalau liat Rossi di TV." Gue melirik Retta yang sedang memperhatikan gambar yang gue buat. "Kamu gambar apa?" Kali ini gue yang bertanya.

Retta menunjukan apa yang dia gambar tadi.

"Power Ranger?" tanya gue dengan polosnya.

"Ini dokter," jelas Retta.

Gue mengangguk sambil menilik-nilik gambar punya Retta. Yang sebenarnya nggak lebih bagus dari punya gue.

"Mulai sekarang kita harus belajar sungguh-sungguh biar bisa seperti yang kita gambar," ucap Retta.

Sejujurnya saat itu gue nggak begitu memikirkan masa depan, namanya juga masih bocah. Tapi gue tetap mengangguki perkataan Retta.

Ruang tengah di rumah gue terdapat lemari kaca yang biasanya untuk menaruh piala, berhubung di rumah ini nggak ada yang berprestasi, lemari itu di pakai nyokap untuk menyimpan koleksi keramiknya. Di pintu lemari itulah gambar yang gue dan Retta buat, ditempel menggunakan slotip bening.

"Nanti kita harus jadi seperti di gambar ini!" ujar Retta meyakinkan.

Gue mengangguk.

"Janji!" Retta mengacungkan jari kelingkingnya.

"Ya." Kami mengaitkan jari kelingking seperti kebanyakan bocah ketika membuat janji.

Dan akhirnya yang di gambar itulah yang kami tulis untuk mengisi tugas sekolah yang di berikan Bu guru.

Esok paginya Bu Ima menyuruh semua murid, untuk menempelkan tugas rumah yang ia berikan di dinding belakang kelas, sekedar penyemangat untuk mengejar impian kami. Dan setelah satu bulan berlalu, hari kelulusan pun tiba. Semua murid dari kelas satu sampai enam berkumpul di lapangan depan sekolah. Sebuah panggung sudah berdiri di sana, satu persatu acara kenaikan sekaligus kelulusan, digelar. Puncaknya acara perpisahan murid kelas enam dengan semua guru, yang berjalan cukup mengharukan.

Bersambung ....
Diubah oleh diyan96 27-01-2022 11:21
joeycape
tupay2170522
bukhorigan
bukhorigan dan 2 lainnya memberi reputasi
3
706
4
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread43KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.