dragonroarAvatar border
TS
dragonroar
Perang Dzungar-Qing, Jatuhnya Tibet & Xinjiang ke Pangkuan Cina

Pasukan Dinasti Qing semasa perang melawan Dzungar. (ifeng.com)

Cina merupakan salah satu negara terbesar di Asia. Negara yang beribukota di Beijing tersebut memiliki wilayah yang membentang mulai dari pantai timur Benua Asia hingga wilayah Tibet & Xinjiang di sebelah barat. Wilayah Tibet & Xinjiang sendiri bisa menjadi wilayah Cina sebagai dampak dari Perang Dzungar-Qing di masa lampau.

Perang Dzungar-Qing (Dzungar-Qing War) adalah sebutan untuk perang yang terjadi pada tahun 1688 hingga 1750 antara Khanat Dzungar melawan Dinasti Qing (negara kekaisaran yang menjadi cikal bakal negara Cina modern). Saat perang ini terjadi, wilayah Xinjiang sedang dikuasai oleh Dzungar. Sementara wilayah Tibet sedang menjadi arena perebutan pengaruh antara Dzungar & Qing.

Suku Dzungar pada awalnya merupakan suku dengan jumlah terbanyak di Xinjiang. Namun menyusul berakhirnya Perang Dzungar-Qing, sebanyak ratusan ribu warga suku Dzungar beramai-ramai dibantai oleh pasukan Dinasti Qing. Dalam jangka panjang, pembantaian tersebut menjadi penyebab mengapa suku Uighur & Han sekarang menjadi suku yang jumlahnya paling banyak di Xinjiang.


LATAR BELAKANG

1. Hubungan Buruk Dzungar & Qing

Di masa lampau, bangsa Mongol pernah memiliki wilayah kekuasaan yang membentang mulai dari Cina hingga Eropa Timur & Asia Barat. Saat Kekaisaran Mongol akhirnya mengalami keruntuhan, negara-negara kecil yang didirikan oleh para panglima Mongol kemudian bermunculan di bekas wilayah kekaisaran.

Satu dari sekian banyak negara tersebut adalah Khanat Dzungar / Zunghar ("khanat" adalah sebutan untuk negara yang dipimpin oleh khan / panglima perang tertinggi). Negara tersebut pertama kali berdiri pada abad ke-17 di wilayah Xinjiang dengan Galdan Boshugtu Khan sebagai pemimpin pertamanya.


Peta lokasi Dzungar, Qing, & Tibet.

Kemunculan Dzungar dengan cepat menarik perhatian negara-negara sekitarnya karena Dzungar memiliki politik luar negeri yang agresif & kerap menginvasi wilayah negara-negara tetangganya untuk mengumpulkan harta jarahan perang. Pada tahun 1688 misalnya, pasukan Dzungar menginvasi wilayah Cina utara yang dihuni oleh orang-orang Mongol Khalkha.

Invasi yang dilakukan Dzungar tersebut ganti mengundang rasa tidak suka dari Dinasti Qing, negara kekaisaran yang sedang menguasai sebagian besar wilayah Cina. Pasalnya jika wilayah Dzungar bertambah luas, pasukan Dzungar akan semakin leluasa melakukan invasi & penjarahan ke wilayah Qing. Supaya hal tersebut tidak sampai terjadi, Dinasti Qing pun menyatakan perang kepada Dzungar.


2. Lokasi Geografis Xinjiang & Tibet yang Strategis

Xinjiang & Tibet merupakan 2 wilayah luas yang sama-sama terletak jauh dari laut. Meskipun kedua wilayah tersebut secara geografis nampak terisolasi, kedua wilayah tadi sebenarnya memiliki nilai strategis yang amat penting bagi negara-negara sekitarnya.

Xinjiang secara geografis termasuk dalam Jalur Sutra, jalur dagang yang menghubungkan wilayah Cina di sebelah timur dengan Eropa & Asia Barat di sebelah barat. Untuk menjamin keamanan para pedagang yang melintasi Jalur Sutra, menguasai wilayah Xinjiang pun menjadi semacam keharusan.

Kalau bagi Cina alias Dinasti Qing sendiri, ada alasan lain kenapa wilayah Xinjiang penting untuk dikuasai. Wilayah Xinjiang berbatasan dengan kawasan Asia Tengah yang banyak dihuni oleh suku-suku pengembara yang kerap melakukan penjarahan. Supaya wilayah inti Qing aman dari gangguan mereka, Qing lantas membutuhkan wilayah Xinjiang sebagai garis depan.

Di sebelah selatan wilayah Xinjiang, terdapat wilayah Tibet yang kondisi geografisnya bergunung-gunung. Pasalnya di wilayah Tibet terdapat Pegunungan Himalaya, barisan pegunungan tertinggi di dunia.

Meskipun wilayah Tibet nampaknya kurang ideal untuk ditinggali, Tibet memiliki lokasi geografis yang sangat strategis. Pasalnya Tibet berbatasan dengan Cina di sebelah timur, India di sebelah barat, & Asia Tenggara di sebelah selatan. Oleh karena itulah, baik Dzungar maupun Qing sama-sama berharap bisa memanfaatkan Tibet sebagai garis depan & batu loncatan untuk menyebarkan pengaruhnya lebih jauh.

Tibet juga memiliki peran penting bagi kelangsungan hidup penduduk Dinasti Qing di sebelah timur. Pasalnya sungai-sungai besar di Cina (salah satunya Sungai Yangtze) memiliki hulu yang terletak di Tibet. Jadi untuk menjamin lancarnya pasokan air di sungai-sungai tersebut, Dinasti Qing pun merasa perlu menjadikan Tibet berada di bawah kendalinya.


Sungai-sungai besar di Cina memiliki hulu yang berlokasi di Tibet. (wegslttisnl.com)

PERANG DZUNGAR-QING PERTAMA DI CINA UTARA

Tahun 1688, pasukan Dzungar menginvasi Khalkha, negara di sebelah utara Dinasti Qing yang dihuni oleh suku Mongol Khalkha. Akibat invasi tersebut, sejumlah penduduk Khalkha beramai-ramai mengungsi ke selatan & meminta perlindungan kepada Dinasti Qing. Permintaan mereka disetujui oleh Kaisar Qing, Kangxi, yang tidak ingin melihat Dzungar tumbuh terlampau kuat.

Pada tahun 1690, pasukan Dzungar & Qing akhirnya terlibat pertempuran di Ulan Butung yang terletak di sebelah utara kota Beijing. Di atas kertas, pasukan Qing nampaknya bakal menang mudah karena mereka unggul jauh dalam hal jumlah personil. Jika pasukan Qing diperkuat oleh 100.000 prajurit, maka pasukan Dzungar hanya berkekuatan 20.000 prajurit.

Kendati begitu, pasukan Qing juga memiliki masalahnya sendiri. Pasukan Qing pergi ke medan tempur hanya dengan membawa perbekalan dalam jumlah yang terbatas. Padahal lokasi pertempuran ini berada di tengah-tengah kawasan gurun. Pasukan Dzungar yang menjadi lawan mereka juga sudah dilengkapi dengan meriam.

Pertempuran antara pasukan Dzungar & Qing akhirnya benar-benar pecah pada tanggal 3 September. Awalnya, pasukan Qing menghujani formasi pasukan Dzungar dengan meriam. Saat sisi kiri pasukan Dzungar sedang tercerai berai, pasukan Qing kemudian mengerahkan pasukan berkuda miliknya untuk menghabisi pasukan Dzungar di sisi tersebut.

Pasukan Dzungar yang masih tersisa kemudian membuat tembok barikade dengan cara mengikat unta-unta mereka hingga membentuk pagar betis. Sesudah itu, pasukan Dzungar menembaki pasukan Qing dengan memakai meriam yang dipasang di atas & di sela-sela unta.


Ilustrasi meriam yang dipasang di atas punggung unta.

Keberadaan meriam tersebut menyebabkan pasukan Qing tidak bisa menembakkan meriamnya tanpa tertembak balik. Dalam situasi macam ini, normalnya pasukan berkuda bakal menjadi pemecah kebuntuan karena pasukan berkuda memiliki gerakan yang cepat & bisa mendekat sambil menghindari tembakan meriam musuh dengan mudah.

Namun karena unta memiliki bau menyengat yang tidak disukai oleh kuda, Qing jadi tidak bisa mengerahkan pasukan berkuda miliknya untuk menghancurkan meriam Dzungar yang dilindungi oleh barikade unta.


Pasukan Qing lantas mencoba menyerang pasukan Dzungar dari sisi sebaliknya. Namun karena tanah di lokasi tersebut sedang berada dalam kondisi becek, laju pasukan berkuda Qing menjadi terhambat. Pasukan Dzungar lantas memanfaatkan situasi tersebut dengan cara menarik mundur pasukannya dari garis depan secara bertahap, sebelum kemudian melarikan diri ke arah bukit.

Pemimpin Dzungar sendiri sadar bahwa jika konflik antara Dzungar & Qing kembali berlanjut, maka pihaknya mungkin bakal mengalami kekalahan akibat kalah jauh dalam jumlah prajurit. Maka, pemimpin Dzungar pun sesudah itu menyatakan tunduk kepada Qing & bersedia membayar upeti secara berkala.


Berubahnya sikap pemimpin Dzungar secara drastis sebenarnya hanyalah siasat supaya Dzungar memiliki cukup waktu untuk membangun kembali kekuatannya. Tahun 1696, pasukan Dzungar & Qing akhirnya kembali pertempuran di Jao Modo (sekarang terletak di Cina utara).

Untuk menyongsong pertempuran di Jao Modo, Qing memecah pasukannya menjadi 2. Pasukan pertama terdiri dari 80.000 prajurit & dilengkapi dengan lebih dari 200 ekor unta yang mengangkut meriam. Pasukan kedua diperkuat oleh 30.000 prajurit & dimaksudkan untuk mencegat pasukan Dzungar supaya tidak bisa melarikan diri.

Konten Sensitif

Pasukan Qing yang dilengkapi dengan meriam & senapan. (reed.edu)

Pertempuran antara pasukan Dzungar & Qing akhirnya benar-benar pecah pada tanggal 12 Juni. Berada dalam posisi terjepit karena dikepung oleh 2 pasukan Qing & terhalang oleh Sungai Terelj, pasukan Dzungar pun dihajar habis-habisan oleh pasukan Qing. Seusai pertempuran, Galdan selaku pemimpin Dzungar sempat berhasil melarikan diri, namun ia meninggal dunia setahun kemudian di tempat persembunyiannya.

Pasca tewasnya Galdan, seluruh wilayah Khalhka kini menjadi wilayah kekuasaan Qing. Sementara itu di pihak Dzungar, posisi khan / pemimpin Dzungar kini ditempati oleh Tsewang Rabtan. Naiknya Tsewang pada awalnya ditanggapi dengan hangat oleh Qing karena saat Galdan masih berkuasa, Tsewang kerap membocorkan informasi rahasia kepada Qing supaya Galdan cepat lengser.


PERANG DZUNGAR-QING KEDUA  DI TIBET

Di abad ke-17, Tibet merupakan negara yang dipimpin oleh pemimpin spiritual yang menyandang gelar Dalai Lama. Terhitung sejak tahun 1642, Tibet dipimpin oleh Gushi Khan yang menyandang gelar sebagai Dalai Lama ke-5. Saat Guushi meninggal dunia pada tahun 1682, Desi Sangye Gyatso kemudian naik menjadi Dalai Lama ke-6.

Masalah muncul karena sebagai sosok yang diharapkan memiliki ketaatan tinggi akan ajaran agama Buddha, Desi / Dalai Lama ke-6 justru menunjukkan gaya hidup hedonis. Ia lebih suka menghabiskan waktunya untuk menulis puisi & bercengkerama dengan wanita.


Masalah makin runyam karena saat Dalai Lama ke-5 meninggal pada tahun 1682, kabar mengenai wafatnya Dalai Lama ke-5 baru disampaikan kepada Dinasti Qing pada tahun 1696. Hal tersebut lantas menimbulkan kecurigaan dari Dinasti Qing kalau pemimpin Tibet yang sekarang sedang mencoba menjalin hubungan yang lebih dekat dengan negara-negara rival Qing.

Tahun 1703, tokoh Tibet sekaligus sekutu Dinasti Qing yang bernama Lha Bzang / Lhazang Khan membunuh Dalai Lama ke-6 dengan alasan Dalai Lama yang sekarang tidak cukup religius. Yeshe Gyatso kemudian naik menjadi Dalai Lama berikutnya atas izin Lhazang. Namun naiknya Yeshe menuai penolakan luas dari rakyat Tibet karena ia dianggap tidak memenuhi syarat untuk menjadi Dalai Lama yang baru.

Orang-orang Tibet yang menolak kepemimpinan Yeshe kemudian meminta bantuan kepada Khanat Dzungar supaya Yeshe & Lhazang segera diusir. Mendengar permintaan tersebut, Tsewang Rabtan selaku khan Dzungar memerintahkan pasukannya untuk menginvasi Tibet pada tahun 1717. Namun diam-diam, Tsewang juga berencana memanfaatkan momen ini untuk sekalian menguasai Tibet.


Prajurit Dzungar dengan jenis-jenis persenjataan yang beragam. (dark-lore.ru)

Invasi yang dilakukan oleh pasukan Dzungar berjalan tanpa halangan. Namun saat pasukan Dzungar sudah tiba di Tibet, mereka malah melakukan penjarahan & pembunuhan secara membabi buta, termasuk ke bangunan keagamaan. Akibatnya, rakyat Tibet yang tadinya melihat Dzungar sebagai pembebas kini melihat mereka tidak lebih sebagai pembuat onar.

Saat kaisar Dinasti Qing mendengar kabar invasi pasukan Dzungar ke Tibet, ia langsung memerintahkan pasukannya untuk pergi ke Tibet. Namun karena pengiriman pasukan tersebut dilakukan secara tergesa-gesa, upaya Qing untuk segera mengalahkan pasukan Dzungar di Tibet malah berakhir naas.

Tahun 1718, pasukan Qing akhirnya tiba di dekat Lhasa, ibukota Tibet. Mereka kemudian mendirikan benteng di dekat Sunga Salween dengan maksud mengisi ulang perbekalan sebelum menghadapi pasukan Dzungar. Begitu mendengar kabar kalau pasukan Qing sudah memasuki Tibet, pasukan Dzungar langsung menyerang pasukan Qing & melakukan pengepungan ke sekeliling benteng.

Dikepung dari segala arah dengan perbekalan yang sudah terkuras habis, pasukan Qing terpaksa menyerah & meminta supaya mereka diperbolehkan kembali ke wilayah Qing. Komandan pasukan Dzungar menyetujui permintaan tersebut. Namun saat pasukan Qing sudah pergi meninggalkan bentengnya, mereka malah dibantai oleh pasukan Dzungar.

Peristiwa tersebut tidak membuat Dinasti Qing merasa jera. Pada tahun 1720, mereka kembali mengirimkan pasukan berjumlah jauh lebih besar ke wilayah Tibet. Hasilnya, pasukan Dzungar berhasil dipaksa keluar dari Tibet.


Pasukan kavaleri Dinasti Qing.

Mundurnya pasukan Dzungar dari Tibet sedikit banyak dipengaruhi oleh terpecahnya konsentrasi Dzungar pada waktu itu. Di saat pasukan Qing mengirimkan pasukannya ke Tibet, pasukan Dzungar sedang terlibat konflik melawan pasukan suku Kazakh yang bermukim di sebelah barat wilayah Khanat Dzungar.

Pasca mundurnya pasukan Dzungar dari Tibet, Kelzang Gyatso dilantik menjadi Dalai Lama ke-7. Qing juga tetap menempatkan sebagian kecil pasukannya di Tibet supaya pasukan Dzungar tidak kembali menginvasi Tibet. Periode ini sekaligus menandai dimulainya kekuasaan Dinasti Qing atas Tibet hingga keruntuhan dinasti tersebut pada abad ke-20.


PERANG DZUNGAR-QING TERAKHIR DI XINJIANG

Tahun 1727, Tsewang Rabtan selaku khan Dzungar meninggal dunia. Galdan Tseren kemudian menjadi khan Dzungar yang baru. Pada awalnya, konflik antara Dzungar dengan Qing masih tetap berlanjut di masa pemerintahan Galden. Namun sejak tahun 1734, konflik antara keduanya sempat terhenti menyusul dicapainya kesepakatan damai.

Tahun 1745, Galdan meninggal dunia sehingga Dzungar kemudian terjerumus ke dalam perang saudara & konflik perebutan tahta. Konflik tersebut berhasil dimenangkan oleh Dawachi yang sejak tahun 1752 menjadi khan Dzungar yang baru.

Naiknya Dawachi menjadi pemimpin Dzungar ternyata tidak bisa diterima oleh rivalnya yang bernama Amursana. Maka, Amursana kemudian melarikan diri ke wilayah Dinasti Qing dengan maksud mencari bala bantuan. Di hadapan kaisar, Amursana membeberkan semua informasi yang ia ketahui mengenai kondisi internal Dzungar.


Begitu mendengar informasi tersebut, Qianlong selaku kaisar Dinasti Qing menyimpulkan kalau sekarang adalah waktu yang tepat untuk menginvasi Khanat Dzungar & menamatkan riwayat negara tersebut untuk selamanya. Maka, pada tahun 1755 pasukan Qing yang berkekuatan lebih dari 150.000 personil kemudian diberangkatkan menuju Ghulja / Ili, ibukota Dzungar.


Orang-orang Dzungar yang sedang ditawan oleh pasukan Qing. (Бмхүн / wikipedia.org)

Suku Dzungar / Oirat bukanlah satu-satunya suku asli setempat yang mendiami Xinjiang. Selain suku Dzungar yang mayoritasnya beragama Buddha, ada pula suku Uighur yang mayoritasnya beragama Islam. Saat pasukan Qing memasuki wilayah Dzungar, banyak orang Uighur yang bersedia membantu Qing karena mereka selama ini kerap ditindas & dipaksa membayar pajak tinggi kepada pemerintah Dzungar.

Meskipun begitu, tidak semua orang Uighur bersedia membantu Qing. Sejumlah orang Uighur yang dipimpin oleh Hojijan & Burhan Al-Din nekat melakukan pemberontakan pada tahun 1757 karena mereka tidak ingin berada di bawah bayang-bayang bangsa asing. Namun memasuki tahun 1759, pemberontakan mereka pada akhirnya berhasil ditumpas. Usai gagalnya pemberontakan tersebut, seluruh wilayah Xinjiang kini berada di bawah kendali Dinasti Qing.


KONDISI PASCA PERANG

Perang Dzungar-Qing merupakan salah satu periode terpenting dalam perjalanan sejarah Dinasti Qing. Pasalnya seusai perang, wilayah Dinasti Qing bertambah luas hingga mencakup wilayah Xinjiang, Tibet, & Mongolia. Saat Dinasti Qing mengalami keruntuhan pada tahun 1911, bekas wilayahnya kemudian menjadi pondasi wilayah republik Cina penerusnya.

Sebelum dikuasai oleh Dinasti Qing, wilayah Xinjiang pada awalnya dikenal dengan sebutan "Dzungaria". Namun setelah wilayah tersebut dikuasai oleh Qing, nama "Dzungaria" kemudian diganti menjadi "Xinjiang" (Perbatasan Baru). Nama tersebut dipilih untuk menunjukkan status Xinjiang sebagai wilayah yang letaknya paling ujung.

Sudah disinggung sebelumnya kalau Perang Dzungar-Qing diikuti dengan pembantaian ratusan ribu orang Dzungar. Untuk mengisi kekosongan populasi usai pembantaian tersebut, orang-orang dari suku Han, Hui, Manchu, hingga Uighur berduyun-duyun menempati wilayah Xinjiang yang masih lowong.

Untuk mencegah timbulnya konflik antara suku Uighur dengan suku-suku lain yang datang dari luar Xinjiang, pemerintah Qing menetapkan kalau orang-orang dari suku non-Uighur (khususnya suku Han) tidak boleh menempati wilayah khusus Uighur. Kebijakan ini sedikit banyak juga dilakukan karena Dinasti Qing merupakan negara yang dipimpin oleh suku minoritas Manchu, sementara suku dengan jumlah terbanyak di Cina adalah suku Han.

Wilayah khusus suku Uighur pada gilirannya juga dilarang untuk menjalin kontak secara leluasa dengan wilayah lain. Pasalnya di tahun-tahun terakhir Perang Dzungar-Qing, sejumlah orang Uighur sempat melakukan pemberontakan. Namun untuk menghindari kesan kalau orang-orang Uighur sedang ditindas, wilayah khusus suku Uighur diberikan otonomi khusus. Orang-orang Uighur diperbolehkan menggunakan aksaranya sendiri & diberikan jabatan dalam pemerintahan lokal.


Wilayah Dinasti Qing pada puncak kejayaannya di abad ke-18. (Samhanin / wikimedia.org)

Tahun 1911, terjadi peristiwa Revolusi Xinhai yang mengakhiri riwayat Dinasti Qing & menandai berubahnya Cina menjadi negara republik. Namun revolusi tersebut kemudian juga diikuti dengan timbulnya konflik di lingkungan pemerintahan. Dalam situasi kacau itulah, wilayah Tibet, Xinjiang, & Mongolia sempat memerdekakan diri dari Cina.


Saat kelompok komunis pada akhirnya berhasil memenangkan perang saudara & memantapkan kedudukannya di seantero Cina, wilayah Tibet & Xinjiang berhasil diserap kembali ke dalam wilayah Republik Rakyat Cina. Namun wilayah Mongolia tetap dibiarkan menjadi negara merdeka hingga sekarang karena Mongolia pada waktu itu memiliki kesamaan ideologi dengan rezim komunis Cina.

https://www.re-tawon.com/2022/01/per...nya-tibet.html
Diubah oleh dragonroar 10-01-2022 00:45
rasrobek
miftah9898
rachmansdk
rachmansdk dan 23 lainnya memberi reputasi
24
4.6K
40
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Sejarah & Xenology
Sejarah & XenologyKASKUS Official
6.5KThread10.4KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.