Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

NegaraTerbaruAvatar border
TS
NegaraTerbaru
Revisi UU ITE Dobrak Penistaan Agama Militer di Peradilan Sipil
Spoiler for ilustrasi:


Spoiler for Video:



“The world as we have created it is a process of our thinking. It cannot be changed without changing our thinking.” – Albert Einstein

Hidup yang kita rasakan saat ini tentu sangat berbeda dengan kehidupan yang dirasakan kakek-nenek maupun orang-orang tua yang mendahului kita. Begitu juga kehidupan yang dirasakan kakek-nenek kita jauh berbeda dengan kehidupan yang kakek-nenek mereka rasakan. Dinamisme kehidupan tersebut terjadi karena pola pikir yang berbeda tiap generasi.

Dahulu ketika manusia inginkan kesetaraan hidup, maka dihapuskanlah perbudakan. Ketika manusia inginkan kesetaraan hak, maka lahirlah demokrasi. Ketika manusia inginkan punahnya imperialisme, maka lahirlah negara-negara eks kolonial. Ketika perempuan ingin berkiprah lebih dalam kehidupan, maka lahirlah kesetaraan gender.

Perubahan itu tentu menghasilkan pertentangan dari mereka yang tak inginkan perubahan. Contoh penghapusan perbudakan ditentang oleh pihak Konfederasi, sehingga menyebabkan perang saudara di Amerika Serikat. Ingin kembalinya Belanda menguasai Hindia-Belanda menyebabkan perang kemerdekaan Indonesia. Perang demi meraih kesetaraan gender, menghasilkan pejuang seperti Kartini dan Dewi Sartika.

Intinya, setiap perubahan ada yang menentang. Begitu pula kini yang tengah diperjuangkan, yakni soal kebebasan berpendapat dan kesetaraan di mata hukum.

Pada Jumat, 24 Desember 2021, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengaku pihaknya sudah menerima surat presiden (surpres) terkait revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Surat tersebut sudah diterima sejak 16 Desember lalu.

Kemudian pada Minggu, 26 Desember 2021, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) menjelaskan soal Surpres tersebut. Menurutnya, Presiden Jokowi sudah mengevaluasi UU ITE dan menilai adanya pilih kasih dalam penerapan undang-undang tersebut.

"Presiden merasa penggunaan UU ITE menurut sumber-sumber yang masuk ke Presiden pilih kasih, seperti menjadi pasal-pasal karet. Kalau si A melapor ditindaklanjuti, kalo si B melapor dibiarkan," ujar Mahfud.

Mahfud menjelaskan, saat ini ada tumpang tindih antara UU ITE dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Contohnya pada kasus pencemaran nama baik, yang dalam UU ITE dihukum paling berat adalah pidana 6 tahun. Namun dalam KUHP, pelaku hanya mendapat hukuman maksimal 1 tahun.

"Kalau di KUHP cuma setahun, sebulan, dan sebagainya. Di situ (KUHP) ditegaskan bahwa kalau memang fitnah biasa dan menyangkut orang-perorang yang delik aduan meskipun itu disebar luaskan ITE supaya tidak menggunakan UU ITE," ujar Mahfud.

Jokowi mengingkan adanya keadilan restoratif dalam menangani kasus-kasus ringan yang berbasis informasi dan transaksi elektronik atau menggunakan KUHP yang mengatur lebih ringannya hukuman.

"Restorative justice, pakai KUHP saja yang ancamannya hukumannya sangat ringan dan dibebaskan oleh hakim dua bulan, tapi masa percobaan yang begitu, jangan terlalu berat. Nah Sehingga Presiden memerintahkan itu dan itu menyebabkan kita terlalu tenang dan tidak terlalu gaduh," ujar Mahfud.

Sumber : Republika[Mahfud: Jokowi Nilai Ada Pilih Kasih dalam UU ITE]

Perubahan terhadap UU ITE yang dilayangkan presiden sejatinya berdasar dari pernyataan Voltaire: “Saya tidak setuju perkataanmu, tapi akan kubela sampai mati hakmu untuk mengatakan itu”. Maka konsekuensi logis jika sudut pandang ini disahkan dalam Revisi UU ITE adalah:

1. Pernyataan Ahok dalam penistaan agama adalah tidak bersalah.
2. Pernyataan Bahar bin Smith, Rizieq Shihab, dll yang dianggap NU sebagai kontra keragaman harus dibela karena ia bagian dari kebebasan berbicara.
3. Pernyataan KSAD Dudung yang dianggap NU sebagai pro keragaman pun harus dibela sebagai bagian dari kebebasan berbicara.

Sehingga dalam kerangka berpikir baru berdemokrasi di Indonesia, khususnya dalam aspek kebebasan berbicara, golongan yang akan disebut intoleran adalah golongan yang hobi melaporkan hak berpendapat seseorang dalam kriminalisasi UU ITE lama.

Contohnya pada pelaporan NU atas Aktivis 98 Faizal Assegaf terkait kritikannya terhadap ormas tersebut yang ia anggap ormas proposal. Seperti pula pelaporan Yahya Waloni, Kace, dan Paul Zhang oleh tokoh-tokoh PSI-NU.

Menarik untuk disimak, momen evaluasi UU ITE tersebut dipaparkan pasca Muktamar NU yang berlangsung pada 22 -24 Desember 2021 lalu. Momen pengungkapan evaluasi UU ITE dipaparkan setelah terpilihnya Ketum PBNU baru Yahya Cholil Staquf.

Di bawah kepimpinan Yahya Cholil Staquf diharapkan PBNU tidak lagi menjadi ormas intoleran yang kerap kali melaporkan pihak yang bertentangan dengan dirinya. Kepemimpinan Yahya diharapkan membawa NU kembali ke NU yang penuh dialog dan bebas dari kepentingan politik.

Tidak percaya? perlu diketahui saat mencalonkan diri sebagai Ketum PBNU, Yahya siap membuka ruang dialog dengan siapapun untuk menjaga keharmonisan kehidupan berbangsa, termasuk dengan mantan Imam Besar FPI, Rizieq Shihab. Sebab, meski belum pernah bertemu langsung dengan Rizieq, namun Yahya sendiri bisa ketemu dengan Yahudi. Tidak mungkin bertemu dengan habib tidak bisa.

"Saya selama ini belum pernah kenal secara pribadi dengan beliau, belum pernah ketemu, belum pernah engage secara langsung, tapi ya saya ketemu Yahudi saja bisa kok ketemu habib enggak bisa," kata Gus Yahya.

Sumber : Viva [Gus Yahya: Ketemu Yahudi Saja Bisa, Masa Habib Rizieq Tidak]

Sehingga nantinya diharapkan tidak ada lagi peristiwa ucapan seseorang dibawa ke ranah hukum. Tidak ada lagi ucapan seseorang di bawa ke ranah UU ITE. Tidak ada lagi upaya dari NU mengkriminalisasi seseorang hanya karena pendapatnya yang berbeda dengan kelompoknya.

Seperti yang terjadi belakangan ini. saat Bahar bin Smith menyinggung KSAD Dudung Abdurrachman terkait ucapannya tentang Arab. Diketahui, sebuah video ceramah Bahar bin Smith yang menyebut jika ulama Arab tidak datang ke Indonesia maka Jenderal Dudung masih menyembah pohon viral di media sosial.

Tokoh NU, sekaligus politikus PSI Guntur Romli menyebut penjara tidak membuat Bahar Smith jera. Tak berhenti di situ, Guntur Romli juga menuliskan tentang kelakuan Bahar Smith di masa lalu.

Sumber : Tribunnews Makassar [Bahar Smith Dulu Sebut Jokowi Banci Kini Hina Jenderal Dudung, MGR: Penjara Tidak Membuat Bahar Jera]

Akibat sepak terjang Bahar Smith dapat kita tebak apa yang terjadi selanjutnya, PSI lewat Husin Shihab akhirnya melaporkan Bahar bin Smith terkait ujaran kebencian yang menyeret nama KSAD TNI.  Husin melaporkan Bahar lantaran telah memlintir pernyataan KSAD yang menyebut ‘Tuhan bukan orang Arab’.

Bahar sendiri merasa bahwa apa yang ia sampaikan itu adalah kritik sebagai Warga Negara Indonesia yang baik terhadap pimpinannya. Kuasa hukum Bahar Smith, Ichwan Tuankotta menilai laporan terhadap Bahar menunjukkan bahwa rezim saat ini tak jauh beda dengan Orde Baru. Di mana setiap pengkritik dibungkam dengan menggunakan UU ITE.

Sumber : Suara [Husin Shihab Minta Habib Bahar dan Eggi Sudjana Segera Ditangkap]

Bahar bin Smith mengungkapkan alasannya berani mengkritik Presiden Jokowi dan KSAD Dudung adalah karena cinta tanah air. "Kalau bagi saya NKRI harga mati. Saya tidak melawan penguasa. Yang saya lawan kezalimannya, ketidakadilannya, kebijak-kebijakannya yang merugikan rakyat dan mementingkan asing. Itu yang selama ini saya lawan,” jelas Bahar.

Ia menyadari selama ini kritik yang ia lontarkan bisa merugikan dirinya sendiri. Baginya, risiko paling kecil adalah dipenjara, sedangkan risiko terbesar adalah dibunuh.

Sumber : Warta Ekonomi [Ngeri! Rajin Kritik Penguasa, Bahar Smith Sadar Resikonya: Paling Dipenjara, Dibunuh]

Dibunuh? Mungkin benar apa yang diucapkan Bahar Smith, risiko terbesar melawan Dudung adalah dibunuh dan dibuang. Ya, seperti halnya kasus Tabrakan Nagrek (Handi – Salsa), yang mana korban ditabrak oknum TNI dan dibuang hidup-hidup ke sungai.

Hal ini bisa terjadi ketika pihak militer yang melanggar pidana sipil tidak diadili oleh peradilan sipil, melainkan peradilan militer.

Itulah mengapa, Panglima TNI menjawab tantangan ini dengan mendorong profesionalisme TNI dimana militer pelanggar pidana sipil akan diadili oleh peradilan sipil. Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa mengatakan bahwa tiga prajurit TNI yang terlibat dalam kematian sejoli Handi Harisaputra dan Salsabila terancam hukuman penjara seumur hidup.

Hal ini merujuk pada pasal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terkait peraturan perundang-undangan yang mereka langgar. "Ada Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana dengan ancaman pidana penjara seumur hidup," kata Andika melalui pesan singkat, Sabtu, 25 Desember 2021.

Sumber : Kompas [3 Prajurit TNI AD Terlibat Kematian Handi-Salsabila, Panglima Andika: Penjara Seumur Hidup!]

Namun, berbeda dengan Panglima TNI, KSAD Dudung akan menyesuaikan kasus tiga oknum anggota TNI dengan putusan peradilan militer. Dudung hanya menyatakan apabila putusan pengadilan militer menyertakan pidana tambahan pemecatan, maka ia selaku KSAD akan menyesuaikan dan mengurus administrasinya.

Dudung memastikan, TNI AD akan tunduk kepada supremasi hukum dan menyerahkan penyelesaian perkara ini berdasarkan mekanisme Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer.

Sumber : Kompas [Soal Pemecatan Anggota TNI Penabrak Sejoli di Nagreg, Jenderal Dudung Tunggu Putusan Peradilan Militer]

Panglima memastikan penanganan dengan KUHP (Peradilan Umum), namun KSAD mendorong pengananan dengan KUHPM (Peradilan Militer).

Perlu diketahui, KUHPM hanya terdiri dari 2 buku, yaitu ketentuan umum dan kejahatan. Artinya tindak pidana yang ada di KUHPM, seluruhnya dikualifikasikan sebagai kejahatan, dan tidak ada yang dikualifikasikan sebagai pelanggaran.

Berbeda dengan tindak pidana dalam KUHP yang membedakan kualifikasi kejahatan dengan pelanggaran. Hal ini disebabkan karena tindak pidana yang dikualifikasikan sebagai pelanggaran diatur dalam kitab UU tersendiri yang disebut sebagai Wetboek van Militaire Krisjstucht (WvMK) (Kitab UU Hukum Disiplin Militer). Sedangkan di KUHPM tidak diatur mengenai pelanggaran.

Jadi, ketika membicarkan tentang tindak pidana di dalam KUHPM, maka maksudnya tindak pidana kejahatan yang hanya dirumuskan dalam buku 2 KUHPM, atau sering disebut dengan istilah tindak pidana militer. tidak didasarkan kepada pelakunya, melainkan kepada pengaturannya.

Apabila tindak pidana itu pengaturannya ada di buku 2 KUHPM, maka tindak pidana itulah yang disebut sebagai tindak pidana militer, tetapi kalau tindak pidana itu tidak diatur dalam buku 2 KUHPM, meskipun yang melakukan adalah anggota militer maka tindak pidana itu tidak bisa dikatakan sebagai tindak pidana militer.

Misalnya ada oknum anggota militer melakukan KDRT terhadap istrinya, atau oknum anggota militer melakukan penipuan terhadap tetangganya, apakah tindak pidana itu dapat dikatakan sebagai tindak pidana militer?

Sehubungan tindak pidana KDRT atau penipuan tidak diatur dalam buku 2 KUHPM, maka anggota militer yang bersangkutan tidak bisa dikatakan telah melakukan tindak pidana militer. Jadi ukurannya, tindak pidana militer itu ada pada dilarang atau tidak, diatur atau tidak oleh KUHPM.

Sumber : Kompasiana [Hukum Pidana Militer - Bagian II]

Seandainya tindakan 3 Personel TNI AD menabrak dan membuang hidup-hidup korbannya ke sungai, tidak diatur dalam KUHPM, maka ketiga Pelaku tidak melakukan tindak pidana militer.

Sebab dalam sistem Peradilan Militer, seorang personel TNI dapat dikenakan sanksi disiplin meski tidak melakukan pidana militer. Sistem Peradilan Militer juga memungkinkan seorang personel TNI pelaku Tindak Pidana Militer, namun tidak dikenakan Sanksi Disiplin.

Oleh karenanya, arahan Panglima TNI agar penanganan kasus ini memakai KUHP (Peradilan Sipil), yang kemudian digeser KSAD menjadi KUHPM (Peradilan Militer), membuat kita tidak bisa berharap banyak seandainya KUHPM tidak menafsirkan tindakan 3 Personel TNI itu sebagai Tindak Pidana Militer. Akibatnya, perkara selesai begitu saja di meja hijau militer.

Itulah mengapa Bahar Smith menyadari bahwa risiko terbesanya mengkritik KSAD adalah dibunuh seperti kasus Handi – Salsa. Hal yang seharusnya dilakukan agar kasus seperti Handi – Salsa tidak terjadi lagi adalah mengadili militer pelanggar pidana sipil dengan menggunakan peradilan sipil.

Tidak percaya pengadilan militer tidak akan menyelesaikan kasus seperti Handi – Salsa? Coba kita tengok saja pernyataan KSAD Dudung soal ‘Tuhan Kita Bukan Orang Arab’. Mengapa KSAD sangat percaya diri takkan terjerat penistaan agama selayaknya diatur dalam hukum pidana sipil?

Padahal agama yang tuhannya bukan manusia yang mencapai makrifat itu hanya Islam, Yahudi, dan Hindu. Tuhan bagi umat Kristiani, Budda, Konfusianisme, Mesir, Babilonia, dsb, semuanya adalah manusia yang mencapai makrifat hingga menjadi Tuhan.

Salah besar jika beranggapan pernyataan Dudung tidak melukai banyak sekali penganut agama di luar Islam, Yahudi, dan Hindu. Tuhannya Konfusianisme adalah orang Han. Tuhannya Kristiani adalah orang Yahudi Arab. Tuhannya Buddha adalah orang India Nepal.

Maka dalam kaca mata sipil, sebenarnya KSAD Dudung telah menistakan agama di luar agama Islam, Yahudi, dan Hindu melalui provokasi terhadap dunia Islam. Status militer dimanfaatkan agar terbebas dari pidana sipil sekaligus mengesankan Pemerintahan Jokowi terus didera tudingan Islamophobia.

Pertanyaannya apa tujuan dari KSAD Dudung terus memprovokasi agama berasama orang-orang NU politisi PSI yang acap kali mengkriminalisasi suara minoritas? Padahal yang mereka lakukan hanya akan merugikan pemerintahan Jokowi.

Provokasi antara NU dan KSAD Dudung yang merugikan pemerintahan Jokowi tersebut justru menunjukkan ada aliansi antara keduanya. Aliansi yang memunkinkan blok agama mengusung Capres Kyai dan Cawapres Tentara di 2024. Aliansi Ulama dan Umara, NU-Tentara.

Sumber : INEws [KSAD Jenderal Dudung : Ulama dan Umara Harus Sangat Dekat agar RI Semakin Kuat]

Aliansi inilah yang menentang perubahan. Menentang kebebasan berbicara dalam demokrasi. Menentang kesetaraan hukum. Menentang hak-hak sipil demi mendapatkan kekuasaan.



Diubah oleh NegaraTerbaru 28-12-2021 17:05
hendrixakbar
ayuritmalina
gagal.jadi.nabi
gagal.jadi.nabi dan 7 lainnya memberi reputasi
8
1.8K
10
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The LoungeKASKUS Official
923.3KThread84.2KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.