indahairaAvatar border
TS
indahaira
Kesekian Kalinya Ramadan Tanpa Ayah


Sejak kecil, aku menyukai hawa Ramadan. Berbondong-bondong ke mesjid sambil menggunakan mukena bersama teman untuk tarawih berjamaah di mesjid komplek, pulang ke rumah dalam keadaan batin yang segar terisi ulang, tidur nyenyak dan dibangunkan Ibu saat waktu sahur tiba. Menyaksikan ceramah di TV sambil menyantap masakan sahur Ibu bersama-sama, terkadang bosan lauk ku ingin mie instan, makan di meja bersama keluarga bersama Ayah.

Ah, Ayah. Terhitung, sudah 19 tahun Ayah meninggalkan dunia ini. Tepat ketika usiaku 9 tahun, Ayah ditakdirkan pergi menghadap-Nya. Aku masih ingat senyumnya dan rasa bangganya ketika aku yang masih sekecil itu dengan senang bilang ke Ayah,

“Ayah, aku puasa dong. Full!” ucapku.

“Wah anak Ayah hebat! Terusin ya sampai akhir Ramadan.” pinta Ayah.

Lalu, saat buka puasa di hari terakhir Ramadan tahun itu, aku segera mengabarkannya di sela-sela makan.

“Ayah, aku puasa satu bulan Full!” seru aku.

“Hebat! Nanti Ayah kasih hadiah ya,” ucap Ayah.

Lalu, tak henti-hentinya Ayah bercerita ke Om, Tante, dan saudara yang bersilaturahmi saat Lebaran. Ia menceritakan keberhasilanku bisa puasa satu bulan, pada Ramadan itu. Saat itu usiaku 7 tahun, sekitar 1 SD.

Ayah selalu tersenyum dan membuat lelucon, meski aku tahu Ia menderita sakit yang sudah cukup parah. Tapi Ia tidak pernah memperlihatkan sakitnya dihadapanku. Namun, aku hanya punya Ramadan bersama Ayah hanya sampai usiaku 9 tahun.

Aku mendapatkan pendidikan agama Islam dari Taman Pendidikan Al-Qur’an di dekat rumah. Aku menyebutnya ‘ngaji’. Kebetulan tempat ngaji aku itu masih satu yayasan dengan TK aku dulu. Sejak masuk SD kelas 1, aku sudah minta ke Ayah dan Ibu untuk memasukkan aku ‘ngaji’ di situ. Aku takjub melihat kakak-kakak kelas bisa membaca Iqra, belajar shalat, dan menghapal surah-surah Juz 30. Yang di pikiranku, aku ingin pergi belajar Al-Qur’an setiap sore bareng teman-teman.

Awalnya Ibuku berpikir aku masih terlalu kecil untuk ikut ngaji. Berbeda dengan Ibu, Ayah tidak menghalangiku untuk ngaji.

                “Lho, orang anaknya pingin ngaji buat Agama kok dilarang?,” kata Ayah.

Berkat ridha Allah, atas seizin Ayah, aku pun sudah mengaji sejak kelas 1 SD. Di sana tidak hanya belajar membaca Al-Qur’an dan hapalan surah-surah, aku juga mendengar kisah-kisah 25 Nabi mulai dari Nabi Adam AS. hingga Nabi Muhammad SAW. Aku sangat menyukai mata pelajaran kisah-kisah nabi itu, yang diceritakan oleh guru ngajiku. Ku dengarkan dengan seksama.

Melalui Kisah 25 Nabi, aku tidak hanya mengenal sosok suri tauladan tersebut beserta mukjizatnya, tetapi juga memahami segala halangan rintangan yang dialami setiap Nabi dalam mencari Tuhan Yang Maha Esa, mencari Allah SWT. Aku tahu bagaimana hukuman yang diberikan Allah SWT kepada Adam dan Hawa karena memakan buah terlarang, padahal mereka sudah hidup enak di taman surga. Aku tahu bagaimana Nabi Musa AS. dan Bani Israil dikejar-kejar Fir’aun, lalu Allah menolong Musa dan Bani Israil dengan memberikan mukjizat kepada Musa untuk membelah lautan. Aku tahu bagaimana kisah Nabi Yusuf AS. yang dibuang kakak-kakaknya karena ketampanan Yusuf dan betapa ayahnya, Yaqub, begitu sayang dengan Yusuf. Bagaimana Yusuf difitnah perempuan hingga harus masuk penjara, namun Yusuf keluar penjara menjadi orang terpandang. Begitu juga kisah Rasulullah SAW, yang sudah menjadi yatim piatu sejak kecil, namun kemudian saat dewasa diutus oleh Allah SWT menjadi Nabi terakhir yang membawakan kabar gembira bagi umat Islam.

Tidak ada yang mudah dalam kehidupan ke-25 nabi-nabi. Berbagai kesulitan, cobaan, berhadapan dengan musuh, dan segala halang rintangan. Namun Allah selalu sayang dan memberi pertolongannya kepada mereka.

Berbekal itulah, aku menjadi kuat saat Ayahku meninggal dunia. Aku memang hanya punya waktu sedikit Ramadan bersama Ayah. Namun aku masih ingat hangatnya buka puasa bersama Ayah, jalan-jalan ke rumah kerabat dan teman-teman Ayah yang banyak, karena Ayahku memiliki banyak teman baik dan selalu baik dengan saudara-saudaraku.

Saat itu usiaku 9 tahun, Ayah digotong dibawa ke rumah sakit pagi-pagi saat ku sudah berangkat sekolah. Siangnya aku datang ke rumah sakit menengok Ayah. Ia tertidur pulas. Ada yang lain dengan raut wajahnya. Dia masih Ayahku, namun raut wajahnya sungguh berbeda. Ada perasaan asing saat melihatnya, Ia begitu kurus dan terlihat lelah. Ah, tidak pernah habis air mataku ini bila menceritakan Ayah. Bahkan saat menulis cerita ini.

3 hari berikutnya, saat Ayah ada di kamar rawat inap, Ayah sekarat. Ia dituntun keluargaku untuk membaca kalimat syahadat. Banyak keluarga besar yang datang. Namun saat itu, Ayah masih ada. Dokter mempersilakan keluarga untuk pulang terlebih dahulu karena itu sudah larut malam.

Namun aku masih sedih dan was-was. Sesampai di rumah, aku langsung mengambil wudhu dan shalat isya. Lalu berdoa dan membuka Al-Qur’an. Ya di usiaku yang masih 9 tahun, aku sudah bisa membaca Al-Qur’an. Aku membacakannya surah Alfatihah dan Yassin untuk Ayah, meski Ayah masih sekarat. Tak lama, telepon rumah berdering. Dari rumah sakit. Aku dan kakak-kakakku yang ada di rumah kecuali Ibu (karena Ibu masih ada di rumah sakit), langsung diminta kembali ke RS. Genting.

Sesampainya di sana, Ayah sudah berada di ruang ICU. Tak bernyawa. Aku menangis sejadi-jadinya. Dengan polosnya aku berkata kepada kakakku,

                “Nanti siapa yang ngajarin aku Matematika?” ujarku sambil menangis.

Jenazah Ayah pun dibawa pulang ke rumah. Tamu berdatangan, makin menuju pagi makin banyak tamu berdatangan. Kupikir sepertinya ada 100 lebih orang yang datang. Betapa banyak yang menangisi kepergian Ayah. Orang baik bagi saudara, sosok yang loyal dan humoris bagi teman-temannya, suami yang baik bagi Ibuku, dan Ayah yang luar biasa bagi aku dan kakak-kakakku.

Lalu, waktu terus berjalan. Ayah sudah tak ada lagi di rumah ini. Tiga hari, empat puluh hari, seratus hari, masih ada temannya yang menelepon ke rumah ingin bicara sama Ayah. Namun sayangnya yang mereka cari sudah tidak ada lagi. Di kala media sosial belum ada saat itu, kabar duka hanya bisa disampaikan lewat telepon atau surat. Tak begitu cepat sampai. Sehingga masih ada yang belum tahu tentang kepergiannya.

Hingga akhirnya Ramadan tiba. Tanpa Ayah. Berbeda tentu saja. Ibu masih suka menangis diam-diam, kupergoki. Ibu tetap memasak lontong sayur dan rendang untuk Lebaran nanti. Saat Lebaran, semakin berbeda suasananya. Tak ada lagi kunjungan ke rumah teman-teman Ayah yang begitu banyaknya. Hanya saudara dari keluarga besar yang berkunjung. Terasa lebih sepi.

Di usiaku yang masih kecil, peristiwa meninggalnya Ayah tidak mematahkan semangatku belajar di sekolah. Setiap tahunnya aku masih langganan rangking 1 dari kelas 1 SD hingga kelas 6 SD. Meski, aku rindu belajar matematika dengan Ayah, review baca Al-Qur’an bareng Ayah, dan shalat bareng Ayah. Meski Ayah, sebagai tulang punggung keluarga sudah pergi, dan Ibuku sampai harus memutar otak membanting tulang mencari nafkah untuk anak-anaknya, untuk menyekolahkanku, Alhamdulillah pertolongan Allah SWT itu dekat dan nyata. Sejak SD hingga SMA aku mendapat beasiswa atas prestasiku di sekolah. Bahkan aku berhasil kuliah di salah satu universitas negeri ternama di Indonesia, dengan keringanan biaya. Kini, aku sudah bisa memetik buahnya, bekerja kantoran, punya penghasilan, dan berbagai kemudahan lainnya dari Allah SWT. Semoga aku tidak lupa untuk selalu bersyukur.

Berbekal kisah 25 Nabi yang aku pelajari saat ngaji, aku tahu bahwa kesulitan, kesedihan, kemalangan adalah ujian dari Allah SWT. Allah ingin menguji seberapa besar iman kita, dan mampukah kita melewati segala ujian dengan tetap yakin kepada Allah SWT, tetap berdoa dan memohon pertolongannya. Karena “Sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan,”(QS. Alam Nasyroh: 6)


Quote:


Aku mampu melewati masa-masa sulit itu, karena aku percaya selalu ada kemudahan dan hikmah dibalik-Nya. Selalu ada pertolongan Allah SWT bagi yang percaya. Guru ngajiku selalu bilang, orang baik akan masuk surga. Aku percaya itu. Doaku mengiringi kepergian Ayah, semoga Ia diterima Allah SWT di surga. Dibangunkan sebuah istana di surga. Terlebih aku percaya dengan menjadi orang baik, rinduku terhadap Ayah terobati. Karena Insha Allah, atas seizin Allah, atas ridha-Nya, semoga hidupku menuntunku untuk berkumpul lagi bersama Ayah dan keluargaku di surga. Semoga juga bertemu dengan Allah SWT dan Rasulullah di surga. Jadi, untuk apa menjadi orang jahat kalau hidup ini hanya sekali bukan?

Dan Ramadan ini, menjadi momentum isi ulang keimanan kita. Semoga dosa-dosa kita diampuni dan semoga kita selalu berada dalam kasih sayang-Nya.

Semoga kita masih bertemu Ramadan di tahun-tahun berikutnya, dan semoga kita masih punya banyak Ramadan bersama orang-orang tersayang kita.
Diubah oleh indahaira 11-05-2018 07:55
Uniwahyuni005
Uniwahyuni005 memberi reputasi
1
4.4K
21
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.5KThread42.2KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.