(Gebyok, Jl. Raya Patemon, Kecamatan Gunungpati, Kota Semarang - Kedai Kopi Kang Putu)

Etnik, karismatik, tenteram ciri khas suatu pedesaan yang membuat hati dan pikiran menyatu akan suasana kedamaian. Hidangan hamparan sawah dan kokohnya pohon mengelilingi rumah warga yang bermukim di area pedesaan sungguh terkesan dan menghipnotis mata memandang. Aku pun lahir dan dibesarkan oleh kedamaian suasana desa. Begitupun saat ini, aku terlalu betah di Kota Semarang, tepatnya di Kecamatan Gunungpati, Kelurahan Sekaran. Terhipnotis saat aku pijakkan kaki ini di Sekaran. Memang tahun 2014 lalu aku pernah menapaki jalan di Kelurahan Sekaran. Aku, Wiwit, Adit, Sufi, Dika, Fitri, Yustika, dan tentunya guru sekaligus ayah kami di sekolah pak Harnoto Aji serta kawan-kawan team untuk mengikuti event Drama Bahasa Jawa yang diselenggarakan oleh Fakultas Bahasa dan Seni Jurusan Bahasa Jawa. Puji syukur kami mendapatkan anugrah terindah dari Tuhan YME juara 2. Proses perjalanan itu, kuyakini begitu lihai, lugas, dan yakin sebagai bekal hidup di Ibu Bumi, kelak khasanah keilmuan yang kudapat senantiasa mampu memantik inisiatif Puan dan Tuan Muda untuk berkarya, berbakti, bermanfaat untuk alam dan sesama nyawa (insan manusia).

Dua ribu lima belas, menjadi tahun sakral dan penuh keyakinan dalam hidupku ini. Belajar dari dan dengan orang-orang ciamik, lugas, kreatif, nyentrik, serta dengan ragam keunikan yang dimiliki, berilmu, beradab, orang yang peduli akan bagaimana strategi meruwat alam agar kelak alam kita tak sekedar cerita. Tak sebentar aku tinggal di Kota Lumpia. Asyik betul balada yang kujalani.

Menjadi seorang laki-laki merdeka sungguh enak betul, aku belajar bagaimana berpuisi, peduli dengan alam, tanah, air, dan bertutur kata secara elok tanpa menghilangkan budi pekerti yang selalu diajari mamah dan ayah.

Aku jumpa dengan seorang yang aku sebut guru, Gunawan Budi Susanto acap kali dipanggil kawan-kawan, teman sejawat Kang Putu. Ya dalam media Facebooknya ia tuliskan sebagai tukang penjual kopi di Kedai Kopi Kang Putu dan sebagai penata sandal di Kedai Kopi Kang Putu. Ia tinggal di kampung Gebyok yang amat syahdu, terkhusus untukku tatkala bersemedi mengasah rasa, mencipta karya untuk sebuah kebermanfaatan pada pangkuan Ibu Bumi. Bukan sesederhana itu simbol yang ia tuliskan di media dimana ia berkarya, namun ada hal menarik yang perlu dibangun secara komprehensif dalam berprinsip dan hidup merdeka tanpa melukai alam (Ibu Bumi). Sore tadi sekitar pukul 15.45 WIB sampai menjelang magrib aku sowan ke beliau. Oh asyik nian aktivitas yang beliau lakukan, nyentrik betul meski umur tak lagi muda. Ya Kang Putu sudah berusia 60 tahun, namun aku yakin dan meyakini dia sungguh berjiwa muda. Nyatanya, saat aku nyawang(melihat) beliau, Kang Putu sedang asyik menghadap layar laptop dan tak luput ditemani dengan buku serta rokok kesukaannya itu.

Ku tanya sembari nyruput kopi dan menikmati kudapan kacang rebus pemberiannya. "Pripun kabare kang?", Alhamdulillah sae, jawabnya padaku. Soreku dengan Kang Putu terasa syahdu, kami bincang-bincang bab tontonan dalam YouTube yang ia putar dan dinikmati bareng dengan ku. Bagaimana tak indah? Gerimis syahdu mengiringi kebersamaan kami saat kami asyik nonton YouTube di laptopnya (Kang Putu). Matur nuwun engast kang, sore ku, terselamatkan olehmu. Tak lagi sepi, tapi gembira hati yang aku dapat denganmu.